-

Senin, 28 Desember 2009

oksidentalisme

Oksidentalisme
Oleh Cholid Abdullah

Sejatinya wacana Oksidentalisme, menurut Hassan Hanafi, adalah implikasi dari penjelasan teoritis dari salah satu agenda proyek “Tradisi dan Pembaharuan” (al-Turats wa al-Tajdid). Proyek ini memiliki tiga agenda yang harus duhadapi yakni: “sikap kita terhadap tradisi lama”, “sikap kita terhadap tradisi Barat” dan “sikap kita terhadap realitas” (teori interpretasi). Penjelasan teoritis agenda kedua inilah yang nantinya akan membangun apa yang dinamakan oksidentalisme.
Oksidentalisme bukanlah sikap penolakan secara pasif total terhadap Barat dan pembaratan, bukan juga penerimaan dari Barat dengan alasan bahwa tidak setiap yang dating dari Barat adalah jelek dan bahwa setiap saat kita selalu menikmati produk Barat. Meskipun secara de jure sikap menolak dapat dibenarkan, tetapi secara de facto salah karena ia meninggalkan Barat sebagai obyek kajian. Begitu juga sebaliknya, meskipun secara de jure sikap menerima adalah salah, karena hubungan antara Islam dan barat adalah antagonistis, bukan hubungan persamaan, tetapi secara de facto dapat dibenarkan, karena ia memandang pentingnya empelajari dan mengenal peradaban barat tanpa melihat sumber, represantasi, implikasi dan kematangan dari peradaban tersebut.
Oksidentalisme, menurut Hassan Hanafi, bukan termasuk dari bagian dari literature Timur ataupun Barat, baik ditinjau dari kacamata konflik dan perlawanan atau dari kacamata kerjasama, dialog dan persamaan. Oksidentalisme merupakan ilmu baru yang bertujuan mengubah materi lama menjadi kerangka teoritis dan logika peradaban yang akurat.
Materi oksidentalisme ialah memandang Barat dari kacamata non Barat, dan memandang the other (pihak lain, dalam hal ini Barat) dari kacamata ego (dalam hal ini umat Islam). Oksidentalisme bukanlah deskripsi Barat terhadap dirinya yang kemudian ditransformasikan oleh umat Islam. Oksidentalisme dihasilkan dari upaya dan kreasi ego, bukan oleh keringat barat.

Sekilas tentang Hermeneutik

Hermeneutika
Oleh Cholid Abdullah

Hermeneutika sejatinya lahir dari pandangan hidup suatu masyarakat. Pandangan hidup suatu masyarakat adalah cara pandang masyarakat terhadap Tuhan, manusia, alam, kehidupan, ilmu, etika dan lain sebagainya. Oleh sebab itu, hermeneutika tidaklah bebas nilai alias sarat dengan asumsi-asumsi yang diwarnai oleh kondisi sosial budaya di mana hermeneutika itu lahir.
Sejatinya hermeneutika adalah ilmu penafsiran yang berasal dari warisan mitologi Yunani. Ia pada mulanya masuk dan berkembang dalam teologi Kristen tanpa ada hambatan, karena dalam tradisi intelektual Kristen sendiri tidak terdapat ilmu interpretasi yang lahir dari konsep teologinya. Hermeneutika sendiri justru menimbulkan perpecahan di kalangan teolog sehingga memunculkan dua kelompok besar. Kelompok pertama, pendukung metode alegoris dan lebih terpengaruh oleh hermenutikanya Plato yang berpusat di Alexandria. Kelompok kedua, pendukung metode literal (grammatical) dan lebih terpengaruh oleh hermeneutikanya Aristoteles yang berpusat di Antioch. Hal ini mengakibatkan lagi timbulnya dua kelompok Protestan Liberal dan Kristen Ortodoks.
Lebih lanjut, dalam perkembangannya banyak terjadi problem pada teks Bible. Mulai dari autentisitas teks, bahasa teks dan bahkan kandungan teks Bible itu sendiri. Justru dengan hermeneutika masalah gap antara bahasa modern dengan bahasa teks Bible dipersoalkan. Bahkan, mulai timbul pandangan-pandangan bahwa interpretasi teks Bible tidak bisa dibedakan dengan interpretasi teks-teks yang lain. Hal ini mengakibatkan kajian hermeneutika yang asalnya berdasarkan kajian teologis berubah menjadi kajian filsafat.
Perkembangan hermeneutika dari diskursus teologi menjadi pembahasan filsafat bersamaan dengan perubahan pandangan hidup masyarakat Barat Modern dan Post-modern. Pergeseran yang terjadi di seputar makna hermeneutika dalam konteks filsafat sejatinya melibatkan pergeseran obyek materi pemahaman, cara dan sikap mental subyek yang memahami dan lingkungan yang mempengaruhi obyek dan juga subyek. Terlepas dari itu semua, dampak yang timbul akibat pengadopsian hermenutika di kalangan Kristen merupakan bukti bahwa hermeneutika bersifat tidak netral. Wallahu a’lam.

Sabtu, 26 Desember 2009

"Allah" dalam persepektif Izutsu

“Allah” (T. Izutsu)
Oleh Cholid Abdullah

Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa kata “Allah” tidak hanya digunakan oleh orang-orang Islam saja. Tetapi, menurut Izutsu, kata ini sudah dipakai oleh masyarakat Arab jahiliyah, bahkan kelompok Yahudi dan Kristen pra-Islam pun juga menggunakan kata “Allah” ketika menunjukkan Tuhan mereka dalam kitab suci mereka. Hal ini tidak hanya dibuktikan sendiri dengan fakta sejarah, melalui syair-syair dan kitab suci, tetapi al-Qur’an juga mengakuinya.
Selanjutnya, mungkin akan timbul suatu pertanyaan. Apakah konsep Allah merupakan konsep yang sama di semua kalangan ataukah konsep yang sama sekali terputus dengan konsep sebelumnya? Melalui pendekatan makna dasar dan makna relasional, Izutsu berusaha untuk menjelaskan. Menurutnya, memang ada dasar pemahaman yang sama antara Arab pra-Islam dengan al-Qur’an tentang konsep dasar Allah. Akan tetapi, kata “Allah” pada zaman jahiliyah banyak mengandung makna dasar dan mungkin makna ini juga digunakan dalam Islam ketika al-Qur’an mulai menggunakannya.
Faktanya, konsep Allah dalam Islam masuk melalui sistem yang berbeda,yakni konsep Allah pra-Islam. Karena jauh sebelum Islam datang masyarakat Arab pra-Islam sudah menggunakannya. Implikasinya, menurut Izutsu, adalah adanya makna relasional dari makna dasar tersebut, di mana unsur-unsur dari makna relasional ini tidak semua dibenarkan oleh al-Qur’an.
Menurutnya, perkembangan makna relasional tidak boleh dilihat dari satu sudut pandang saja. Untuk itu ia menggunakan empat sudur pandang yang berbeda untuk menelaah empat kasus yang berbeda pula. Pertama, konsep orang-orang Arab murni pra-Islam tentang Allah; kedua, konsep orang Yahudi dan orang Kristen pra-Islam tentang Allah; ketiga, konsep orang-orang pagan Arab yang non-Yahudi dan non-Kristen tentang konsep Allah; dan keempat, konsep orang-orang hanif (kelompok khusus orang-orang jahiliyah) tentang Allah.
Dari keempat sudut pandang tersebut, memang ditemukan adanya kesamaan tentang konsep Allah dengan al-Qur’an. Buktinya, ketika al-Qur’an menggunakan kata “Allah”, orang-orang Arab pra-Islam tidak merasa asing dengan kata tersebut, meskipun terjadi perdebatan serius tentang hakikat Allah itu sendiri. Tetapi, menurut Izutsu, orang-orang Arab pra-Islam gagal merepresentasikan konsep Allah secara logika, sehingga mereka terjebak dalam dualisme maupun politeisme, meskipun faktanya mereka juga telah memahami hakihat Allah, sebagaimana tersirat dalam surat al-Mukminun ayat 84-85. Wallahu a’lam.

al-Qur'an dan kesarjanaan Barat

Al-Qur’an dan Kesarjanaan Barat
Oleh Cholid Abdullah

Menurut Montgomery Watt, perhatian ilmiah, orang-orang Eropa terhadap al-Qur’an dapat dikatakan bermula dengan berkunjumgnya Peter yang Agung (Peter the Venerable)-kepala biara Cluny- ke Toledo pada perempatan abad ke-12. Ia membentuk suatu tim dan menugaskannya membuat serangkaian karya yang secara keseluruhan kan merupakan basis ilmiah bagi para intelektual yang akan berurusan dengan Islam. Setelah itu, kajian Barat tentang Islam masih terus eksis sampai sekarang.
Ada dua masalah yang akan dihadapi oleh Sarjana Barat ketika akan melakukan kajian terhadap al-Qur’an, masalah kebenaran dan masalah sumber. Para Sarjana Barat banyak yang meragukan kebenaran al-Qur’an. Untuk itu, masih menurut Montgomery, sebelum dapat menyatakan bahwa al-Qur’an itu benar atau tidak, hendaknya para sarjana Barat menjernihkan fikirannya tentang keseluruhan masalah yang berkaitan dengan bahasa dan pengalaman. Serta –lebih khusus lagi- dengan pengalaman keagamaan atau, sebaliknya, dengan pengalaman hidup manusia yang secara menyeluruh.
Dianalogikan dengan contoh hubungan seksual. Seseorang yang tidak memiliki pengalaman aktual tidak dapat membentuk suatu gagasan yang memadai tentang “cita rasa” pengalaman seksual dari sekedar membaca novel-novel atau buku-buku daras ilmiah. Pengalaman keagamaan menjadi penting sekali, karena tidak mudah begi seseorang yang dibesarkan dalam lingkungan Kristen mengapresiasi gagasan-gagasan keagamaan Islam, apalagi menjadikan pijakan hidup yang memuaskan. Hal yang sama juga dialami kaum Muslimin sehubungan dengan gagasan-gagasan Kristen. Di sinilah letak objektif atau tidaknya suatu kajian.
Para sarjana Eropa abad ke-19 terlalu memusatkan perhatian untuk menemukan “sumber-sumber” pernyataan-pernytaan al-Qur’an dan terjadi peperangan antara sarjana-sarjana yang memandang agama Yahudi sebagai sumber utama al-Qur’an dan sarjana-sarjana yang menganggap agama Kristenlah yang merupakan sumber utamanya. Dan ini yang menjadi kecaman kaum Muslimin, karena menurut mereka al-Qur’an adalah Kalamullah, jadi tidak bersumber dari Yahudi maupun Kristen.
Al-Qur’an telah dikaji dan direnungkan sekitar 14 abad, dan banyak capaian yang telah diperoleh. Namun dalam dunia baru abad yang sekarang ini, ketika hubungan kaum Muslimin dengan non-Muslim yang taat dan penuh percaya diri semakin erat dibandingkan masa-masa sebelumnya sejak abad pertama Islam, tetapi terdapat kebutuhan akan kajian lebih lanjut terhadap al-Qur’an dan kajian lebih lanjut terhadap tema-tema baru; dan hal ini harus dilakukan oleh kaum Muslimin maupun non-Muslim.

semantika al-Qur'an

Semantik al-Qur’an (Toshihiko Izutsu)
Oleh Cholid Abdullah

Kajian yang dilakukan olah T. Izutsu ini merupakan salah satu bentuk kajian terhadap al-Qur’an, di mana selain dengan menggunakan semantik al-Qur’an juga bisa didekati dari berbagai sudut pandang seperti teologi, psikologi, sosiologi dan lain sebagainya. Semantik dalam hal ini, menurut Izutsu, adalah suatu kajian analitik terhadap istilah kunci suatu bahasa dengan suatu pandangan yang bersifat metodologis sehingga dapat digali sebuah pengertian konseptual Weltanschaung atau pandangan dunia mengenai bahasa tersebut.
Salah satu kajiannya yang terkait dengan semantik al-Qur’an adalah makna “dasar” dan makna “relasional”. Makna “dasar” menurutnya adalah sesuatu yang melekat pada kata itu sendiri, yang selalu terbawa di manapun kata itu diletakkan. Sedangkan makna “relasional” adalah sesuatu yang bersifat konotatif yang ditambahkan pada makna yang sudah ada dengan meletakkan kata tersebut pada posisi khusus dalam bidang khusus, berada pada relasi yang berbeda dengan semua kata-kata penting lainnya dalam sistem tersebut.
Labih lanjut ia menggunakan contoh dengan, salah satunya, kata “yaum”. Menurutnya, kata “yaum” itu mempunyai makana dasar “hari”. Kata “yaum” ini dalam posisi netralnya, berperan sebagai atmosfir yang menyelubungi medan-medan semantik khusus. Pendek kata, “yaum” yang secara makna dasarnya adalah hari, tetapi dalam kaitannya dengan medan-medan khusus tersebut bisa bermakna hari kiamat, hari kebangkitan, hari pengadilan dan lain-lain. Tetapi yang perlu diingat bahwa makna dasar selalu terbawa di manapun kata itu berada dan selalu merupakan inti konseptual tersebut.
Menurut saya, wacana makna “dasar” dan makna “relasional” juga terjadi pada bahasa selain al-Qur’an, bahkan bahasa Indonesia. Sebagai contohnya adalah kata “rumah”. Kata “rumah” mempunyai makna dasar suatu tempat tinggal. Tetapi, makna tersebut juga mempunyai medan-medan khusus, yang dapat mengakibatkan adanya relasionalisasi makna. Rumah sakit, misalnya, mempunyai makna khusus sebuah tempat bagi orang-orang yang sakit, tetapi makna dasarnya tidak hilang.
Selain itu, kajian ini hendaknya juga diperhitungkan sehubungan dengan penafsiran dalam al-Qur’an. Karena, menurut saya, cara seperti ini merupakan salah satu cara untuk menghindarkan diri dari kesalahan penafsiran, meskipun tidak ada kebenaran mutlak dalam penafsiran. Wallahu a’lam.

Al-Qur’an dan Tradisi Yahudi-Kristen

Al-Qur’an dan Tradisi Yahudi-Kristen (J. Wansbrough)
Oleh Cholid Abdullah

Banyak orientalis abad ke-19 yang terlalu memusatkan perhatiannya pada upaya untuk menemukan sumber-sumber al-Qur’an. Kebanyakan hasil akhir yang dicapai oleh mereka adalah memandang bahwa tradisi-tradisi Yahudi (bagi orientalis Yahudi) maupun tradisi-tradisi Kristen (bagi orientalis Kristen) adalah sumber-sumber dari al-Qur’an. Kebanyakan metode yang digunakan oleh mereka adalah metode analisis sastra.
Demikian halnya metode yang digunakan oleh Wansbrough. Bahkan, hasil penelitian yang ia kemukakan melangkah lebih jauh lagi, yang berbeda dengan kecenderungan karya-karya Barat sebelumnya. Menurutnya, al-Qur’an yang ada ditangan umat Islam sekarang ini tidak hanya terpengaruh dari tradisi Yahudi-Kristen, tetapi merupakan hasil konspirasi kaum muslimin yang awal, yang sepenuhnya dalam tradisi Yahudi-Kristen.
Menurut saya hal ini tidaklah tepat. Memang tidak dapat dipungkiri adanya kesamaan antara al-Qur’an dengan tradisi-tradisi Yahudi maupun Kristen (yang tertuang dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru). Tetapi persamaan ini tidak mutlak mengakibatkan bahwa yang datang kemudian (al-Qur’an) menjiplak atau terpengaruh dari yang datang sebelumnya (Taurat maupun Injil). Dua orang yang berbeda bisa saja memaparkan gambar satu objek tertentu dan menampilkannya dalam bentuk yang sama walaupun mereka tidak pernah saling bertemu. Persamaan itu lahir karena keduanya mengunjungi objek tersebut dan memaparkan sebagaimana adanya.
Demikian halnya apa yang terjadi dengan Nabi Muhammad, Nabi Musa maupun Nabi Isa. Apa yang disampaikan olah Nabi Muhammad yang sama dengan apa yang disampaikan olah Nabi Musa atau Isa, bukanlah karena Nabi Muhammad adalah Nabi terakhir yang berarti penjiplak dari nabi sebelumnya. Tetapi persamaan itu adalah karena memang sumber yang menyampaikan kepada ketiga nabi tersebut adalah sama, yakni Allah. Demikian juga yang tidak kalah pentingnya adalah bahwa meskipun persoalan yang diuraikan oleh ketiga kitab tersebut adalah sama, tetapi tidak jarang ditemukan perbedaan dalam rincian. Wallahu a’lam.

Jumat, 25 Desember 2009

ilmu ma`ani hadis

ILMU MA'ANI HADIS

A. Pendahuluan
Hadis atau sunnah bagi umat Islam menempati urutan kedua sesudah al-Qur'an karena, di samping sebagai sumber ajaran Islam yang secara langsung terkait dengan keharusan mentaati Rasulullah SAW, juga karena fungsinya sebagai penjelas (bayan) bagi ungkapan-ungkapan al-Qur'an yang mujmal, muthlaq, 'amm dan sebagainya.
Dalam hadis dikenal dengan adanya sanad dan matan. Sanad yang mengawal matan hadis sekaligus berperan sebagai bukti kesejarahan tentang proses tranmisi hadis (silsilah keguruan) bagi kolektor hadis yang bersangkutan. Susunan kalimat pada matan hadis cenderung beragam, tak terkecuali hadis qauli yang diangkat dari sabda/pernyataan. Hal ini terkondisi antara lain karena kelonggaran menyadur ungkapan-ungkapan hadis (baca: al-riwayah bi al-makna) sejak generasi sahabat.
Untuk memahami keberagaman matan hadis diperlukan suatu ilmu yang disebut ilmu ma'ani hadis, dimana akan diuraikan dalam makalah berikut ini.
B. Pembahasan
1. Pengertian
Secara bahasa Ilmu Ma'ani Hadis terdiri dari tiga kata yaitu: ilmu (علم), ma'ani (معانى)dan hadis (حديث). Ilmu berarti pengetahuan, Ma'ani adalah jamak dari makna yang berarti arti. Jadi secara bahasa Ilmu Ma'ani Hadis ialah pengetahuan tentang arti hadis.
Sedangkan secara istilah Ilmu Ma'ani Hadis adalah ilmu yang berusaha memahami matan hadis secara tepat dengan mempertimbangkan faktor-faktor yang berkaitan dengannya atau indikasi yang melingkupinya.
Jika diteliti lebih lanjut Ilmu Ma'ani Hadis tidak termaktub dalam kitab-kitab ilmu hadis. Karena sebenarnya Ilmu Ma'ani Hadis adalah bagian dari Ilmu Naqd al-Mutun (Ilmu Kritik Matan), sehingga ilmu ini adalah sebuah bentuk terobosan baru dalam rangka memahami hadis. Seandainya ada pertanyaan siapa tokoh yang pertama kali merumuskan ilmu ini, maka jawabnya adalah tidak ada. Karena metode atau langkah-langkah yang ada dalam ilmu ini sudah dipraktekkan oleh ulama-ulama terdahulu melalui syarah-syarah hadis.
2. Ruang Lingkup dan Objek Kajian
Karena Ilmu Ma'ani Hadis adalah sebagai alat untuk memahami makna yang terkandung dalam hadis, sedangkan makna itu berhubungan dengan matan (teks) hadis maka objek kajian dari Ilmu Ma'ani Hadis adalah matan dari suatu hadis. Sedangkan ruang lingkupnya ialah memahami matan hadis dari berbagai pendekatan dan metode pensyarahan. Di antara pendekatan-pendekatan tersebut adalah:
a. Pendekatan bahasa
Pendekatan bahasa dalam memahami hadis dilakukan apabila dalan sebuah matan hadis terdapat aspek-aspek keindahan bahasa (balaghah) yang memungkinkan mengandung pengertian majazi (metaforis) sehingga berbeda dengan pengertian haqiqi.
b. Pendekatan Historis
Yaitu memahami hadis dengan memperhatikan dan mengkaji situasi atau peristiwa sejarah yang terkait dengan latarbelakang munculnya hadis.
c. Pendekatan Sosiologis
Yaitu memahami hadis dengan memperhatikan dan mengkaji keterkaitannya dengan kondisi dan situasi masyarakat pada saat munculnya hadis.
d. Pendekatan Sosio-historis
yaitu memahami hadis dengan melihat sejarah sosial serta setting sosial pada saat dan menjelang (bahkan sesudah) hadis tersebut di sabdakan. Atau dengan kata lain memahami hadis dengan melihat pola hidup sosial sebelum dan saat hadis tersebut disabdakan, atau bahkan sesudahnya.
e. Pendekatan antropologis
Yaitu memahami hadis dengan cara melihat wujud praktek keagamaan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat, tradisi dan budaya yang berkembang dalam masyarakat pada saat hadis tersebut disabdakan.
f. Pendekatan Psikologis
Yaitu memahami hadis dengan memperhatikan kondisi psikologis Nabi SAW dan masyarakat yang dihadapi nabi ketika hadis tersebut disabdakan.
g. Pendekatan Hermeneutik
Yaitu memahami dan menafsirkan teks hadis, serta kemungkinan kontekstualisasi dalam konteks kekinian. Sehingga dalam hal ini ada tiga poin yang perlu diperhatikan, yakni: teks itu sendiri, pembuat teks (Nabi) dan audiens.
Sedangkan metode-metode yang digunakan untuk mensyarah hadis adalah:
a. metode tahlili (analitis)
b. metode ijmali (global)
c. metode maudhu'i (tematik), dan
d. metode muqarin (komparatif).
3. Urgensi Pengkajian
Di lingkungan umat Islam kadang kala muncul pendapat yang eksklusif yang merasa bahwa pemahaman mereka yang paling benar. Munculnya realitas sosial yang melanda sebagian umat Islam bahwa mereka merasa paling benar tersebut timbul akibat adanya perbedaan cara pandang atau pendekatan dalam memahami atau menjelaskan maksud kandungan hadis dengan pemahaman yang dijalani oleh kelompok lainnya.
Jika wacana pendekatan dalam memahami hadis bisa disadari secara jernih, kemungkinan memandang pemahaman dirinya paling benar akan bisa terhindarkan, karena masing-masing menyadari perbedaan titik tolak menyebabkan hasil pemahaman yang juga berbeda.
Yang perlu digarisbawahi ketika kita berhadapan dengan teks hadis adalah minimal dua hal. Pertama bahasa teks itu sendiri dan yang kedua konteks yang yang melingkupi teks tersebut. Baik sebelum, saat ataupun jauh setelah teks itu keluar, bahkan masa yang akan datang. Untuk itulah Ilmu Ma'ani Hadis sangat urgen kedudukannya dalam rangka memahami hadis agar diperoleh pemahaman yang benar.
4. Kaitan Antara Ilmu Ma'ani Hadis dengan Periwayatan bi al-lafdzi dan Periwayatan bi al-makna
Dalam sejarah perjalanan hadis diketahui bahwa sepeninggal Rasulullah SAW periwayatan hadis itu diperketat agar tidak terjadi periwayatan sesuatu yang bukan dari Nabi tetapi disandarkan kepada Nabi. Di samping itu periwayatan hadis harus dilakukan apa adanya, tidak ada penambahan atau pengurangan. Ini hanya bisa dilakukan apabila mereka (sahabat) hafal benar apa yang disabdakan oleh Rasulullah SAW. Atau yang kita kenal dengan periwayatan bi al-lafdzi.
Tetapi dalam kenyataan banyak dijumpai hadis-hadis yang maksudnya sama tetapi diungkapkan dengan redaksi yang berbeda atau yang kita kenal dengan periwayatan bi al-makna. Berbagai pendapat muncul tentang boleh atau tidaknya periwayatan bi al-makna itu. Atau yang menolak tetapi ada juga yang setuju tetapi dengan syarat-syarat tertentu.
Banyaknya redaksi hadis yang berbeda tetapi maksudnya sama inilah yang membuat ilmu ma'ani hadis menjadi terkait, bahkan sangat dibutuhkan, dengan pemahaman hadis-hadis yang diriwayatkan bi al-makna. Terutama pendekatan melalui bahasa. Karena penelitian dengan pendekatan ini selain dapat digunakan untuk meneliti makna hadis, juga dapat digunakan untuk meneliti nilai sebuah hadis apabila terdapat perbedaan lafadz dalam matan.
Ilmu ma'ani Hadis juga sangat membantu terhadap hadis yang diriwayatkan bi al-lafdzi. Ini karena meskipun lafadznya sesuai dengan apa yang disabdakan Nabi, sebagaimana telah disebutkan diatas, tetapi untuk memahami suatu teks hadis selain dibutuhkan pemahaman bahasa teks itu sendiri juga diperlukan pemahaman terhadap konteks yang melingkupinya. Sehingga dalam hal ini dibutuhkan ilmu-ilmu yang berkaitan dengan matan hadis, seperti Ilmu Gharib al-hadis, Ilmu Nasikh Mansukh, Asbab al-Wurud, Ilmu Tashif wa Tahrif, Ilmu Mukhtalif al-Hadis dan sebagainya yang kesemuanya masuk dalam cakupan Ilmu Ma'ani Hadis.
C. Penutup
Hadis sebagai salah satu sumber ajaran Islam bahkan menempati posisi kedua di bawah al-Qur'an untuk saat ini telah menghadapi tantangan yang luar biasa beratnya. Umat Islam sebagai generasi penerus dan bertanggungjawab atas eksistensi dan kontinuitas dituntut untuk senantiasa melakukan reformasi internal dalam memahami, menggunakan dan mengaplikasikan hadis dalam kehidupan saat ini. Dan Ilmu Ma'ani Hadis merupakan alat bantu dalam memahami hadis sehingga diharapkan maksud dari hadis tersebut tercapai.






DAFTAR PUSTAKA

Abbas, Hasjim, Kritik Matan Hadis Versi Muhaddisin dan Fuqaha, Yogyakarta, Elbe, 2004.

Ali, Nizar, Memahami Hadis nabi (Metode dan Pendekatan ), Yogyakarta, YPI al-Rahmah, 2001.

Munawwir, Ahmad Warson, Al-Munawwir Kamus Arab Indonesia, Yogyakarta, Pustaka Progressif, 2002.

Suparta, Munzier, Ilmu Hadis, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2002.

Yusron, M., "Pohon Ilmu Hadis", artikel diakses pada 22 oktober 2008 dari http://www.darussholah.com/?pilih=news&mod=yes&aksi=lihat&id=276

Zuhri, Muh., Hadis Nabi Telaah Historis dan Metodologis, Yogyakarta, PT Tiara Wacana, 2003.

kitab hadis

KITAB HADIS
oleh Cholid Abdullah

A. Pendahuluan
Praktek pemalsuan hadis berpengaruh besar terhadap jiwa ulama. Mereka terdorong untuk mencurahkan segala daya untuk memelihara hadis. Pemalsuan hadis telah mendorong mereka menghimpun, membukukan dan menyusun hadis dalam rangka memeliharanya dari tangan pemalsu. Al-Zuhri mengungkapkan aktivitas itu dengan berkata, "Sekiranya tidak ada banyak hadis yang datang kepada kami dari arah Timur, yang kami ingkari dan tidak kami kenal, niscaya aku tidak menulis hadis dan tidak pula mengizinkan penulisan hadis".
Kitab-kitab itu adalah benteng pertahanan bagi hadis yang dapat menangkis anak panah musuh-musuh al-Sunnah. Ia menjadi bukti yang terbesar atas perhatian umat Islam terhadap Sunnah Rasulullah SAW, dan andil mereka dalam membangun pusaka ilmiah unruk manusia.
B. Pembahasan
1. Pengertian Kitab Hadis
Para muhaddisin telah menulis berbagai jenis kitab dalam berbagai bidang bahasannya. Hal ini merupakan suatu khazanah ilmu hadis yang dapat menjawab semua masalah yang di jumpai oleh para ulama dan peneliti berbagai kitab . Selanjutnya inilah yang disebut sebagai kitab hadis.
2. Kitab Hadis Ditinjau dari Kriterianya
a. Kitab Shahih
kitab shahih merupakan kitab yang penyusunannya hanya menyatakan hadis-hadis yang shahih saja . Orang yang pertama kali mengumpulkan hadis-hadis shahih adalah Abu Abdillah Muhammad bin Ismail al-Bukhari. Kemudian disusul oleh sahabat yang juga muridnya Abu al-Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Naisaburi. Kedua kitab ini adalah kitab yang paling shahih. Tetapi Bukhari lebih kuat karena Bukhari dalam mengeluarkan hadis mensayaratkan dua hal, yakni:
1. Perawi harus semasa dengan gurunya.
2. Perawi benar-benar bertemu atau mendengar langsung dari gurunya.
Sedangkan Muslim tidak mensyaratkan poin yang kedua, tetapi hanya mensyaratkan yang pertama .
b. Kitab Sunnan
Kitab Sunnan adalah kitab hadis yang menghimpun hadis-hadis hukum yang marfu' dan disusun berdasarkan bab-bab fikih. Kitab-kitab yang masyhur adalah Sunan Abu Dawud, Sunan al-Tirmidzi, Sunan al-Nasa'i dan Sunan Ibnu Majah.
Keempat kitab sunan ini masyhur dengan sebutan al-Sunnan al-Arba'ah. Bila dikatakan al-Sunan al-Tsalasah, maka maksudnya ketiga sunan yang pertama, yakni selain Sunan Ibnu Majah.
Bila dikatakan al-Khamsah, maka yang dimaksud adalah al-Sunan al-Arba'ah dan Musnad Ahmad.
Bila dikatakan al-Sittah, maka yang dimaksud adalah Shahihaini dan al-Sunnan al-Arba'ah.
c. Kitab Musnad
Di dalam sistem ini pengatur mengatur secara sistematis (tertib) mulai nama-nama dari sahabat yang lebih utama beserta seluruh hadisnya, kemudian disusul dengan deretan nama-nama sahabat yang utama beserta sahabat yang lebih rendah derajatnya beserta hadis-hadisnya. Misalnya dalam kitab tersebut dikemukakan oleh penyusun pada bab pertama, nama sahabat Abu Bakar r.a dengan menyebut seluruh hadisnya, kemudian disusul dengan nama Umar r.a dengan mencantumkan seluruh hadis yang beliau riwayatkan dan seterusnya berturut-turut nama-nama sahabat yang lebih rendah daripada Umar dengan seluruh hadisnya.
d. Kitab al-Mustadrak
Al-Mustadrak adalah kitab yang disusun untuk memuat hadis-hadis yang tidak dimuat dalam kitab-kitab hadis shahih dan kitab tersebut mengikuti syarat kitab hadis shahih yang bersangkutan. Sebagai contoh adalah al-Mustadrak al-Hakim. Di situ al-hakim menyebutkan hadis-hadis shahih yang sesuai syarat dri Bukhari-Muslim atau salah satu syarat dari keduanya, tetapi keduanya tidaka mengeluarkan hadis tersebut.
3. Kitab Hadis Ditinjau dari Cara Penggunaannya
a. Kitab Mu'jam
Kitab Mu'jam menurut istilah para muhadditsin adalah kitab hadis yang disusun berdasarkan susunan guru-guru penulisnya yang kebanyakan disusun berdasarkan urutan huruf hijaiyah, sehingga penyusun mengawali pembahasan kitab mu'jamnya dengan hadis-hadis yang diterima dari Aban, lalu yang dari Ibrahim dan seterusnya.
Diantara kitab mu'jam yang terkenal adalah tiga buah kitab mu'jam karya al-Muhaddits al-Hafidz al-Kabir Abu Qasim Sulaiman bin Ahmad al-Thabarani (w. 360 H). Ketiga kitab mu'jam itu adalah: al-Mu'jam al-Shaghir , al-Mu'jam al-Ausath , dan al-Mu'jam al-Kabir .
Satu lagi kitab mu'jam adalah Mu'jam al-Buldan. Kitab ini disusun berdasarkan nama kota. Merupakan karya dari Abi Ya'la Ahmad bin Ali al-Muslihi. Beliau wafat pada tahun 307 H.
b. Kitab Takhrij
Yaitu kitab yang disusun untuk mentakhrij hadis-hadis kitab tertentu. Di antara kitab takhrij yang terpenting adalah:
Nahbu al-Rayah li Ahadits al-Hidayah karya al-Imam al-Hafidz Jamluddin Abu Muhammad Abdillah bin Yusuf al-Zaila'I al-Hanafi (w. 762 H). kitab ini merupakan takhrij hadis-hadis kitab al-Hidayah, sebuah kitab fikih madzhab Hanafi, yang disusun oleh ali bin Abu Bakar al-Marghinani, salah satu seorang pemuka fuqaha Hanafi (w. 593 H).
Kitab ini mengungkp secara lengkap riwayat-riwayat yang penuh faedah, dan mengupas setiap hadis yang ada dalam kitab al-Hidayah dusertai riwayat dan hadis-hadis lain yang menguatkannya. Kitab ini juga mengungkpkan pembahasan mengenai hadis-hadis yang dijadikan dalil oleh para ulama yang berbeda pendapat dengan ulama hanafiah secara jelas dan tuntas, objektif dan tematis.
c. Kitab Jarh wa Ta'dil
Lahirnya kitab-kitab tentang jarh dan ta'dil merupakan jerih payah para kritikus dan kajian mereka terhadap perilaku para perawi, dilihat dari sisi diterima atau tidak diterimanya hadis mereka.
Para ulama yang menulis kitab-kitab tentang jarh dan ta'dil menggunakan methode yang berbeda-beda. Di antara mereka, ada yang menyebutkan para pendusta dan para perawi yang lemah di dalam kitabnya. Ada yang menambahkan dengan menyebutkan sebagian hadis palsu. Ada yang menulis kitab hanya tentang perawi yang tsiqah, dan ada pula yang menulis kitab tentang para perawi yang lemah dan perawi yang tsiqah.
d. Kitab al-Athraf
Kitab al-Athraf adalah kitab-kitab yang disusun untuk menyebutkan bagian hadis yang menunjukkan keseluruhannya, lalu disebutkan sanad-sanadnya pad kitab-kitab sumbernya. Sebagian penyusun menyebutkan sanadnya dengan lengkap dan sebagian lainnya hany menyebutkan sebagiannya. Kitab-kitab ini tidak memuat matan hadis secara lengkap dan bagian hadis pun tidak pasti bagian dalam arti tekstual. Kitab ini disusun berdasarkan nama perawi pada tingkat sahabat.
4. Kitab Hadis Ditinjau dari Sejarahnya
Buku-buku dan catatan kecil yang muncul pertama kli tau bahkan pada awal abad kedua, dapat dikategorikan menjadi dua kelompok; pertama, buku-buku yang berisi hadis-hadis Nabi semata, koleksi acak, tanpa sistemasi bahan. Kedua, buku-buku kecil (catatan) yang berisikan hadis-hadis Nabi yang msih bercampur dengan keputusan (resmi) yang diarahkan oleh para khalifah dan sahabat lainnya, bahkan para tabi'in.
Pada abad kedua, terjadi perubahan trend sedikit dan buku-buku yang kebanyakan membahas masalah hukum muli bermunculan. Al-Muwatha' termasuk dalam kategori ini. Buku tersebut telah diatur menurut judul-judul dalam masalah hukum yang berkaitan dengan keseluruhan jaringan kehidupan manusia; dari ibadah (ritual), zakat, haji, perkawinan, perceraian, pertnian, perdagangan dan lain-lain.
Berikutnya pada abad ketiga, kebanyakan buku-buku yang muncul adalah berisikan hadis-hadis semata. Sejumlah buku muncul, pada periode ini, yang mengikuti pada pola abad kedua, seperti Mushannaf, karangan Abdur Razaq dan Ibnu Abu Syaibah (w. 235 H), al-Awsath, karangan Ibnu al-Mundzir (w. 319 H). Buku-buku inti dikarang dengan pola yang berbeda dan disebut Musnad, Jami', Shahih, Sunan, Mustakhraj atau Mu'jam.
Abad keempat dan kelima adalah masa pengisnadan hadis dan muncul kitab al-Mustadrak, yaitu kitab hadis yang standar keshahihannya sama dengan standar Imam yang lain tetapi tidak terdapat dalam kitab asli. Abad ketujuh dan kedelapan mulai muncul kritik sanad dan matan. Yaitu dengan munculnya kitab jarh wa ta'dil.
5. Urgensi Pengkajian Kitab Hadis
• Membantu dalam mengetahui jumlah dan jenis hadis yang diriwiyatkan oleh
para sahabat dari Nabi SAW dan mempermudah pengecekannya.
• Mempermudah mengetahui sanad-sanad hadis, kerena sanad-sanad itu
terkumpul dalam satu tempat.
• Mempermudah mengetahui penyusun sumber asli yang mengeluarkan hadis
tersebut serta bab hadis dalam sumber-sumber tersebut.
C. Penutup
Kitab-kitab hadis adalah jerih payah para ulama dalam memelihara hadis. Perhatian mereka terhadap penghimpunan hadis sangatlah besar. Sudah sepatutnya bagi kita untuk menghargai jerih payah mereka. Kitab-kitab itu adalah benteng pertahanan untuk menangkis anak panah musuh-musuh al-Sunnah. Sehingga wajib bagi kita untuk tetap melestarikan warisan leluhur. Wallahu a'lam.

REFERENSI

'Azami, Muhammad Mushtafa, Metodologi Kritik Hadis, Bandung, Pustaka Hidayah, 1997.

al-Qaththan, Manna', Pengantar Studi Ilmu Hadis (terjemahan), Jakarta, Pustaka al-Kautsar, 2005.

'Itr, Nuruddin, Ulum al-Hadits I (terjemahan), Bandung, PT Remaja Rosdakarya, 1994.

, Ulum al-Hadits II (terjemahan), Bandung, PT Remaja Rosdakarya, 1994.

al-Khatib, M. 'Ajaj, Hadits Nabi Sebelum Dibukukan (terjemahan), Jakarta, Gema Insani, 1999.

Rahman, Fatchur. Ikhtisar Musthalahul Hadits, Bandung, P.T Al-Ma'arif, 1974.

Syakir, Ahmad Muhammad, Al-Ba'its al-Hatsits Syarh Ikhtishar Ulum al-Hadits, Beirut,Dar al-Fikr, t.th.

Thohan, Mahmud, Taisir Mushtalah al-Hadits, Surabaya, al-Hidayah, t. th.

Rabu, 23 Desember 2009

Takhrij hadis Niat

HADIS TENTANG NIAT YANG IKHLAS

A. PENDAHULUAN
Islam adalah agama yang telah dibatasi oleh hukum-hukum syara'. Hukum-hukum ini dibebankan kepada orang Islam yang berakal dan sudah memasuki masa akil baligh, atau yang disebut dengan mukallaf. Dalam melaksanakan hukum-hukum tersebut niat merupakan unsur terpenting. Bahkan bisa dikatakan niat adalah penentu diterima atau tidaknya amal tersebut.
Demikian juga ikhlas yang merupakan pembeda antara orang mukmin dan orang munafiq. Ikhlas ini harus senantiasa bergandengan tangan dengan niat. Sebagaimana firman Allah dalam surat al-Bayyinah ayat 5:
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ
Artinya: "Tidaklah mereka disuruh melainkan mengabdi menurut perintah Allah serta dengan ikhlas beragama kepadanya".
Sehingga sudah jelaslah keikhlasan dalam berniat merupakan sesuatu yang telah diperintahkan oleh al-Qur'an.

B. PEMBAHASAN
I. Hadis dan Artinya
Dalam makalah ini hadis yang akan diteliti adalah hadis dari jalur Bukhari dan dari jalur Muslim.
1. Hadis dari jalur periwayatan Bukhari
حَدَّثَناَ مُحَمَّدُ بْنُ كَثِيْرٍ عَنْ سُفْياَنَ حَدَّثَناَ يَحْيَى بْنُ سَعِيْدٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ إِبْرَاهِيْمَ التَّيْمِيِّ عَنْ عَلْقَمَةَ بْنِ وَقاَصٍ اللَّيْثِيِّ قاَلَ:سَمِعْتُ عُمَرَ بْنَ الْخَطاَبِ رضي الله عنه عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قاَلَ:"الأَعْماَلُ بِالنِّيَّةِ, وَلاِمْرِئٍ ماَ نَوَى,فَمَنْ كاَنَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَ رَسُوْلِهِ , فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ,وَمَنْ كاَنَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى دُنْياَ يُصِيْبُهاَ,أَوِ امْرَأَةٍ يَتَزَوَّجُهاَ,فَهِجْرَتُهَ إِلَى ماَ هاَجَرَ إِلَيْهِ"
Artinya : Telah bercerita kepada kami Muhammad bin Katsir dari Sufyan, telah bercerita kepada kami Yahya bin Sa'id dari Muhammad bin Ibrahim al-Taimiy dari Alqamah bin Waqash al-Laitsiy berkata:"Saya mendengar dari Umar bin al-Khaththab r.a dari Nabi SAW bersabda:'(sesungguhnya) Amal-amal itu (tergantung) dengan niatnya, dan bagi seseorang adalah apa yang diniatkan. Maka barang siapa berhijrah karena Allah dan RasulNya, maka (pahala) hijrahnya kepada Allah dan RasulNya, dan barang siapa berhijrah bertujuan medapatkan dunia atau menikahi perempuan, maka hijrahnya (mendapatkan) apa yang menjadi tujuan hijrah".
2. Hadis dari jalur periwayatan Muslim
حَدَّثَناَ عَبْدُاللهِ بْنُ مَسْلَمَةَ بْنِ قَعْنَبٍ, حَدَّثَناَ ماَلِكٌ, عَنْ يَحْيىَ بْنِ سَعِيْدٍ, عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ إِبْرَاهِيْمَ, عَنْ عَلْقَمَةَ بْنِ وَقّاَصٍ, عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطاََّبِ رضي الله عنه, قاَلَ:قاَلَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم:"إِنَّماَ اْلأَعْماَلُ بِالنِّيَّةِ, وَإِنَّماَ ِلامْرِئٍ ماَ نَوَى, فَمَنْ كاَنَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَ رَسُوْلِهِ , فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ, وَمَنْ كاَنَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْياَ يُصِيْبُهاَ أَوِ امْرَأَةٍ يَتَزَوَّجُهَا, فَهِجْرَتُهُ إِلَى ماَ هاَجَرَ إِلَيْهِ"
Artinya : Telah bercerita kepada kami Abdullah bin Maslamah bin Qa'nab, telah bercerita kepada kami Malik dari Yahya bin Sa'id dari Muhammad bin Ibrahim dari Alqamah bin Waqash dari Umar bin al-Khaththab r.a berkata :'Rasulullah SAW telah bersabda :"Sesungguhnya amal-amal itu (tergantung) dengan niat. Dan sesungguhnya bagi setiap oarng itu apa yang telah diniatkan. Maka barang siapa berhijrah karena Allah dan RasulNya, maka (pahala) hijrahnya kepada Allah dan RasulNya, dan barang siapa berhijrah bertujuan medapatkan dunia atau menikahi perempuan, maka hijrahnya (mendapatkan) apa yang menjadi tujuan hijrah".

II. Biografi Rawi
1. Biografi Rawi Hadis Pertama
Pada hadis yang pertama ini mempunyai jalur sebagai berikut:
Rasulullah SAW Umar bin al-Khaththab  Alqamah bin Waqash al-Laitsiy  Muahammad bin Ibrahim al-Taimiy  Yahya bin Sa'id  Sufyan  Muhammad bin Katsir Bukhariy.
a. Umar bin al-Khattab
Nama lengkapnya Umar bin al-Khattab bin Nufail bin Abdul Uzza bin Rayyah bin Abdillah bin Qurth bin Razzah bin 'Adii bin Ka'ab bin Lu'aiy bin Ghalib al-Qurasyiy al-Adawiy, Abu Hafsh.
Ibunya bernama Hantamah binti Hasyim bin al-Mughirah bin Abdillah bin Umar bin Makhzum. Beliau meriwayatkan hadis dari Rasulullah SAW, Abu Bakar, Ubay bin Ka'ab. Di antara orang yang meriwayatkan hadis darinya adalah putranya Abdullah, Ashim, Hafshah, Utsman, Ali, Sa'ad bin Abi Waqash, Thalhah bin Ubaidillah, Abdurrahman bin Auf, termasuk juga Alqamah bin Waqash al-Laitsiy.
Tentang keutamaan beliau, diriwayatkan dari Nabi SAW "Seandainya ada Nabi sesudahku pastilah Umar". Ali bin Abi Thalib juga berkata "Sebaik-baik manusia sesudah Rasulullah SAW adalah Abu Bakar kemudian Umar".
Ibnu Mas'ud berkata: "Kami selalu dalam kemenangan semenjak Umar masuk Islam". Keutamaan-keutamaan beliau sangatlah banyak. Beliau menjadi Khalifah selama 10 tahun lima bulan/enam bulan. beliau terbunuh pada hari Rabu bulan Dzulhijjah tahun 23 H. Sedangkan pada waktu itu beliau berusia 63 tahun.
b. Alqamah bin Waqash al-Laitsiy
Nama lengkapnya adalah Alqamah bin Waqash bin Mihshan bin Kaladah bin Abd Yalail bin Tharif bin Utwarah bin Amir bin Malik bin Lais bin Bakr bin Abi Manah bin Kinanah al-Laisiy al-Utwariy al-Madaniy.
Di antara guru dan murid beliau adalah : Umar, Ibnu Umar, Bilal bin Haris, Mu'awiyah, Amr bin Ash, Aisyah, Abdulah dan Amr (keduanya adalah putera beliau), al-Zuhriy, Muhammad bin Ibrahim bin al-Haris al-Taimiy, Amr bin Yahya al-Mazaniy, Yahya bin Nadlar al-Anshariy dan Ibnu Abi Malikah.
Al-Nasa'i berkata: "Beliau adalah orang yang tsiqah". Sedangkan Ibnu Sa'ad berkata : "Beliau termasuk orang yang sedikit meriwayatkan hadits dan meninggal di Madinah ketika pada masa-masa akhir kekhilafahan Abdul Malik bin Marwan".
Tentang apakah beliau dari golongan sahabat atau Tabi'in masih diperdebatkan. Al-Asqalani berkata : "Muslim mengkategorikan beliau ke dalam thabaqah orang yang dilahirkan pada masa Rasulullah. Demikian juga Ibnu Abdil Barr. Sedangkan al-Qadhi Abu Ahmad dan segolongan manusia memasukkannya ke dalam golongan tabi'in".
Ibnu Hibban memasukkan beliau ke dalam tabi'in yang tsiqah. Sesuai dengan pendapat Ibnu Sa'ad.
c. Muhammad bin Ibrahim al-Taimiy
Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Ibrahim bin al-Haris bin Khalid bin Sakhr bin Amr bin Ka'ab bin Sa'ad bin Taim bin Murrah al-Qurasyiy al-Taimiy, Abu Abdillah al-Madaniy.
Di antara guru dan muruid beliau adalah: Abi Sa'id al-Khudzriy, Umair, Jabir bin Abdillah, Anas bin Malik, Qais bin Amr al-Anshariy, Aisyah, Alqamah bin Waqash, Musa, Yahya, Abdi Rabbih, Sa'ad, Muhammad bin 'Amr bin Alqomah, Yahya bin Abi Katsir, Imarah bin Ghozyah, Ibnu Ishaq, al-Auza'i dan lain-lain.
Pendapat kritikus tentang beliau:
1. Ibnu Ma'in, Abu Hatim, al-Nasa'iy dan Ibnu Kharasy menyatakan beliau termasuk orang yang tsiqah.
2. Ibnu Sa'ad dari Muhammad bin 'Amr : beliau meninggal pada tahun 120 H dan merupakan orang yang tsiqah serta banyak meriwayatkan hadis.
3. Ibnu Hibban dari Ya'qub bin Syaibah : beliau termasuk orang yang tsiqah.
4. Al-Uqailiy dari Abdillah bin Ahmad : di dalam hadis-hadis yang diriwayatkan oleh beliau terdapat hadis-hadis Munkar.
d. Yahya bin Sa'id al-Anshariy
Nama lengkapnya adalah Yahya bin Sa'id bin Qais bin 'Amr bin Sahl bin Sa'labah bin al-Haris bin Zaid bin Sa'labah bin Ghonm bin Malik bin al-Najjar al-Anshariy al-Najjariy, Abu Sa'ad al-Madaniy al-Qadhi.
Di antara guru dan muridnya adalah Anas bin Malik, Abdullah bin Amir bin Rabi'ah, Muhammad bin Abi Umamah bin Sahl bin Hanif, Wakid bin Amr bin sa'ad bin Mu'adz, Muhammad bin Ibrahim al-Taimiy, al-Zuhriy, Yazid bin al-Had, Ibnu Ajlan, Malik, Ibnu Ishaq, al-Auza'i, Wahib, Syu'bah, Sufyan, Ibnu Juraij, dan lain-lain.
Pendapat para kritikus tentang beliau :
1. Ibnu Sa'ad : Beliau adalah orang yang tsiqah, tsubut dan banyak hadis yang diriwayatkannya menjadi Hujjah.
2. al-Tsauriy : beliau termasuk seorang Huffadz.
3. Ibnu Uyainah : beliau ahli hadis daerah Hijaz yang meriwayatkan hadis sesuai dengan aslinya.
4. Ibnu al-Madiniy : beliau orang yang tsiqah dan shahih hadisnya.
5. al-Nasa'iy : beliau termasuk oarng yang tsiqah dan ma'mun.
6. Ahmad bin Hanbal, Yahya bin Ma'in, Abu Hatim dan Abu Zar'ah : beliau termasuk orang yang tsiqah.
Tentang tahun wafat beliau terjadi perbedaan pendapat. Ibnu sa'ad berpendapat beliau meninggal tahun 143 H. sedang Yazid bin Harun dan Amr bin Ali berpendapat beliau meninggal tahun 144 H.
e. Sufyan
Nama lengkapnaya adalah Sufyan bin Sa'id bin Masruq al-Tsauriy, Abu Abdillah al-Kufiy.
Di antara guru dan muridnya adalah ayahnya (Sa'id bin Masruq), Abu Ishaq al-Syibaniy, Abdurrahman bin 'abis bin Rabi'ah, al-A'masy, Ziyad bin 'Alaqah, Abdullah bin Dinar, 'Amr bin Dinar, Yahya bin Sa'id al-Anshariy, Ibnu Ishaq, al-Auza'iy, Yahya bin Sa'id al-Qaththan, Fudhail bin 'Iyadh, Waki', Abu Nu'aim, Muhammad bin Katsir al-Abdiy dan lain-lain.
Pendapat kritikus tentang beliau:
1. Syu'bah, Ibnu 'Uyainah, Abu 'ashim, Ibnu Ma'in dan Ulama lain: Beliau adalah Amirul Mukminin dalam bidang hadis.
2. Ibnu Sa'id: beliau adalah orang yang tsiqah, ma'mun, ahli ibadah dan tsubut.
3. Al-Nasa'iy: beliau orang yang tsiqah
4. Ibnu al-Madiniy dari Yahya bin Sa'id: tak ada keraguan padanya.
Al-Ujailiy dan yang lain berkata:"Beliau dilahirkan pada tahun 97 H". Sedangkan Ibnu Sa'id berkata:"Beliau wafat di Bashrah tahun 191 H".
f. Muhammad bin Katsir
Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Katsir al-'Abdiy, Abu Abdillah al-Bashriy.
Di antara guru dan muridnya adalah Ibrahim bin Nafi' al-Makkiy, Israil bin Yunus, Ismail bin Ayyasy, Ja'far bin Sulaiman, Al-Dhuba'iy, Sufyan al-Tsauriy, Sulaiman bin Katsir, Syu'bah bin al-Hajjaj, Bukhariy, Abu Dawud, Ibrahim bin Abdillahal-Kajjiy, Abdullah bin Abdirrahman al-Darimiy, Abu Hatim, Abu zar'ah al-Raziyyan dan lain-lain.
Pendapat kritikus tentang belaiau:
1. Abu Bakar bin Abi Khaitsamah: Yahya bin Ma'in berkata kepada kami:"Jangan kau tulis hadis darinya, dia bukanlah orang yang tsiqah".
2. Abu Hatim: beliau orang yang shoduq.
3. Ibnu Hibban, sebagaimana Bukhariy; telah bercerita kepada kami al-fadhl bin Hubab, beliau meninggal tahun 223 H dan berusia 90 tahun. Beliau adalah orang yang taqiy, fadhil (utama).
g. Bukhariy
Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin al-Mughirah bin Bardizabah, Abu Abdillah al-Bukhariy.
Di antara guru dan murid beliau adalah Ubaidillah bin Musa, Muhammad bin Abdillah al-Anshariy, 'Afan, Abi Ashim al-Nabil, Al-Tirmidziy, Muslim, Al-Nasa'iy, Abu Zar'ah, Abu Hatim, Muhammad bin Abdillah al-Hadhramiy, Ibnu Khuzaimah, Al-fadhl bin al-Abbas al-Raziy dan lain-lain.
Pendapat kritikus tentang beliau:
1. Ja'far bin Muhammad al-qaththan: saya pernah mendengar Muhammad bin Ismail (Bukhariy) berkata:"Saya menulis hadis dari 1000 guru atau lebih. Tidaklah hadis yang aku tulis kecuali kusertakan sanadnya".
2. Maslamah: beliau orang yang tsiqah.
3. Al-Nasa'iy: beliau oarng yang tsiqah dan ma'mun.
Bakir bin Numair berkata:"Aku mendengar al-Hasan bin al-Husain berkata:'Saya melihat Muhammad bin Ismail (Bukhariy) adalah orang yang tua, badannya tidak tinggi dan tidak pendek, dilahirkan pada bulan Syawal tahun 194 H dan meninggal pada hari Sabtu bulan Syawal tahun 256 H dalam usia 62 tahun kurang 13 hari".
2. Biografi Rawi Hadis Kedua
Pada hadis yang kedua ini mempunyai jalur sebagai berikut:
Rasulullah SAW Umar bin al-Khaththab  Alqamah bin Waqash  Muhammad bin Ibrahim  Yahya bin Sa'id  Malik  Abdullah bin Maslamah bin Qa'nab  Muslim.
Rawi pertama, kedua , ketiga dan keempat sama dengan hadis yang pertama. Jadi yang akan ditulis di sini adalah rawi kelima sampai terakhir.
a. Malik
Nama lengkapnya adalah Malik bin Anas bin Malik bin Abi Amir bin Amr bin al-Haris bin Ghaiman bin Khutsail bin Amr bin al-Haris, Abu Abdillah al-Madaniy.
Di antara guru dan murid beliau adalahAmir bin Abdillah bin al-Zubair bin al-Awam, Nu'aim bin Abdillah al-Mujmar, Zaid bin Aslam, Abu Hazim Salmah bin Dinar, Syarik bin Abdillah bin Abi Namr, al-Zuhriy, Abdillah bin Dinar, Yahya bin Sa'id, Ja'far bin Muhammad al-Shadiq, al-Auzaiy, al-Tsauriy, Ibnu Juraij, Ibnu Uyainah, Abu Ishaq al-Fazary, Yahya bin Sa'id al-Qaththan, al-Syafi'i dan lain-lain.
Pendapat kritikus tentang beliau :
1. Ishaq bin Manshur dari Ibnu Ma'in: beliau adalah oarang tsiqah.
2. Al-Zuabiriy: beliau termasuk orang tsiqah, ma'mun dan tsubut.
3. Al-Syafi'i: Malik adalah Hujjatullah sesudah Tabi'in.
4. Al-Nasa'iy: bagiku tidak ada golongan sesudah tabi'in yang lebih pandai, lebih mulia, lebih tsiqah dan lebih dipercaya dalam hal hadis selain Malik.
Beliau meninggal pada bulan Shafar tahun 179 H.
b. Abdullah bin Maslamah bin Qa'nab
Nama lengkapnya adalah Abdullah bin Maslamah bin Qa'nab al-Qa'nabiy al-Haritsiy, Abu abdirrahman al-Madaniy.
Di antara guru dan murid beliau adalah ayahnya (Maslamah bin Qa'nab), Aflah bin humaid, Malik, Syu'bah, al-Laits, Dawud bin Qais, Zaid bin Aslam, Nafi' bin Abi Nu'aim al-Qariy, Fudhail bin 'Iyadl, Bukhariy, Muslim, Abu Dawud, al-Tirmidziy, al-Nasa'iy, Abu Hatim, Ya'qub bin Sufyan, Ismail bin Ishaq al-Qadhiy, Ali bin Abdil Aziz al-Baghawiy, Mu'adz bin al-Matsna dan lain-lain.
Pendapat kritikus tentang beliau:
1. Abu al-Hasan Ibnu al-Qaththan dari al-Hassan bin Manshur berkata ;'saya mendengar Abdullah bin Dawud al-Khuraibiy berkata:"telah bercerita kepadaku al-Qa'nabiy dari Malik dan beliau (al-Qa'nabiy), demi Allah lebih baik daripada Malik".
2. al-'Ajaliy: beliau termasuk orang yang tsiqah, orang yang shalih.
3. Abu Hatim: beliau termasuk orang yang tsiqah dan dapat dipakai hujjah (hadisnya).
4. Ibnu Qani': beliau orang tsiqah.
Bukhariy berkata:"beliau meninggal pada tahun 220 H". Dalam kitab al-Zahrah disebutkan bahwa Bkhariy meriwayatkan hadis dari beliau sebanyak 123 hadis sedangkan Muslim sebanyak 70 hadis.
c. Muslim
Nama lengkapnya adalah Muslim bin al-Hajjaj bin Muslim al-Qusyairiy, Abu al-Hasan al-Naisaburiy.
Di antara guru dan murid beliau adalah al-Qa'nabiy, Ahmad bin Yunus, Ismail bin Uwais, Yahya bin Yahya al-Naisaburiy, Syaiban bin Farukh, al-Tirmidziy, Abu al-Fadhl Ahmad bin Salmah, Ali bin al-Husain al-Hilaliy, Muhammad bin Abd al-Wahhab al-Farra', Ibnu Khuzaimah, Abu Muhammad bin Abi Hatim al-Raziy, Ibrahim bin Muhammad bin Sufyan, Muhammad bin Ishaq al-Faqihiy, Abu Hamid al-A'masy dan lain-lain.
Pendapat kritikus tentang beliau:
1. Muhammad bin Abdil Wahhab: Muslim adalah Ulama dan penjaga ilmu. Bapaknya adalah seorang Syaikh.
2. Ibnu Aqdah: sedikit sekali kesalahan dalam Rijal yang dikeluarkan Muslim, karena dia menulis hadis sesuai dengan yang dia terima.
3. Maslamah bin qasim: beliau orang yang tsiqah.
4. Ibnu Abi Hatim: beliau orang yang tsiqah, huffadz, dan mengetahui hadis.
5. Abu Hatim: beliau orang yang shoduq.
Muhammad bin Ya'kub berkata:"Beliau meninggal pada bulan rajab tahun 261 H". Dan Ulama' lainnya berkata;"beliau dilahirkan tahun 204 H".
III. Kajian Sanad
a. Hadis Riwayat Bukhariy
1. Umar bin al-Khaththab
Tidak diragukan lagi beliau adalah sebagai sahabat yang sangat bagus akan integritas dan loyalitasnya kepada agama. Beliau merupaka salah satu Khulafa' al-Rasyidun.
Shighah yang digunakan oleh Umar adalah قال yang menunjukkan ketersambungan sanadnya. Di mana dalam pandangan sebagian pendapat ulama adalah merupakan lambang yang menunjukkan adanya mu'asyarah dan liqa' dengan sharih dan jelas akan pertemuannya.
Kalau kita teliti dalam kepribadian Umar maka sudah tidak diragukan bahwa beliau adalah orang yang tidak mungkin berbohong. Dengan demikian bisa dikatakan Umar adalah rawi yang bebas dari Syadz dan tadlis.
2. Alqamah bin Waqash
Beliau adalah murid dari Umar bin Khaththab. Shighah yang digunakan adalah سمعت dalam meriwayatkan hadis ini. Sehingga kita dapat mengerti kalau antara Alqamah dan Umar sezaman dan ada pertemuan yang jelas. Sehingga bisa ditarik kesimpulan sanadnya bersambung.
Kalau dilihat dari sisi syadz dan tadlisnya pun dia tidak termasuk ke dalam kriteria ini, karena tidak ada ulama hadis yang memberikan tentang keterangan tersebut. Sehingga tetap memasukkan beliau ke dalam golongan tsiqah.
3. Muhammad bin Ibrahim
Shighah yang digunakan adalah عن dalam meriwaytkan hadis ini. Walaupun tergolong dhaif, tetapi tidak menurunkan derajat hadis tersebut. Karena adanya indikasi yang kuat antara mereka seperti: terjadi proses guru dan murid, tahun lahir dan wafat mereka diperkirakan adanya pertemuan antara keduanya atau bersamaan. Sehingga dapat dimengerti kalau antara Muhammad dengan Alqamah ada pertemuan yang jelas dan sezaman sehingga sanadnya bersambung.
Walaupun al-Uqailiy mengatakan, dari Abdullah bin Ahmad, bahwa di dalam hadis beliau banyak hadis-hadis munkar, tetapi banyak juga ulama' yang mengatakan bahwa beliau adalah tsiqah. Penulis cenderung menggunakan kaidah:
يقدم التعديل على الجرح إذا كان المعدلون أكثر من الجارحين
Artinya : "Mendahulukan al-Ta'dil atas jarh jika al-Mu'addil lebih banyak daripada al-Jarih". Atau,
إذا تعارض الجارح والمعدّل فالحكم للمعدّل إلا إذا ثبت الجرح المفسّر
Artinya : "Apabila terjadi pertentangan antara kritik yang memuji dan yang mencela, maka yang harus dimenangkan adalah kritikan yang memuji, kecuali apabila kritikan yang mencela disertai penjelasan tentang sebab-sebabnya".
Sehingga dengan demikian Muhammad bin Ibrahim tetap dapat dimasukkan ke dalam kelompok tsiqah. Dilihat dari sisi syadz dan tadlisnya pun beliau tidak termasuk ke dalam kriteria ini.
4. Yahya bin Sa'id
Shighah yang digunakan adalah عن dalam meriwayatkan hadis ini. Sebagaimana yang telah disebutkan di atas walaupun tergolong dhaif, tetapi tidak menurunkan derajat hadis tersebut. Karena adanya indikasi yang kuat antara mereka seperti: terjadi proses guru dan murid, tahun lahir dan wafat mereka diperkirakan adanya pertemuan antara keduanya atau bersamaan. Sehingga dapat dimengerti kalau antara Yahya dengan Muhammad bin Ibrahim ada pertemuan yang jelas dan sezaman sehingga sanadnya bersambung.
Tidak adanya ulama yang memberikan penilaian yang tidak baik dari syadz, tadlis ataupun illat, memberikan kesimpulan bahwa beliau termasuk ke dalam golongan tsiqah.



5. Sufyan
Shighah yang digunakan adalah حدثنا yang merupakan shighah tingkat tinggi dalam proses tahammul dan ada', sehingga bisa dipastikan antara Sufyan dan Yahya terjadi liqa' sehingga sanadnya bersambung.
Tidak adanya ulama yang memberikan penilaian yang tidak baik dari syadz, tadlis ataupun illat, memberikan kesimpulan bahwa beliau termasuk ke dalam golongan tsiqah.
6. Muhammad bin Katsir
Shighah yang digunakan adalah عن dalam meriwayatkan hadis ini. Sebagaimana yang telah disebutkan di atas walaupun tergolong dhaif, tetapi tidak menurunkan derajat hadis tersebut. Karena adanya indikasi yang kuat antara mereka seperti: terjadi proses guru dan murid, tahun lahir dan wafat mereka diperkirakan adanya pertemuan antara keduanya atau bersamaan. Sehingga dapat dimengerti kalau antara Muhammad bin Katsir dengan Sufyan ada pertemuan yang jelas dan sezaman sehingga sanadnya bersambung.
Jika melihat kualitas rawi maka beliau termasuk ke dalam golongan tsiqah dan tidak termasuk rawi yang mudallis, meskipun ada ulama' yang menjarh. Karena di sini penulis memakai kaidah seperti yang sudah tercantum.
7. Bukhariy
Shighah yang digunakan adalah حدثنا yang merupakan shighah tingkat tinggi dalam proses tahammul dan ada'. Sehingga bisa dipastikan antara Muhammad bin Katsir dengan Bukhariy terjadi liqa' sehingga sanadnya bersambung.
Tidak adanya ulama yang memberikan penilaian yang tidak baik dari syadz, tadlis ataupun illat, memberikan kesimpulan bahwa beliau termasuk ke dalam golongan tsiqah. Bahkan beliau dimasukkan ke dalam golongan tsiqah tertinggi.
b. Hadis Riwayat Muslim
Untuk Umar, Alqamah bin Waqash, Muhammad bin Ibrahim dan Yahya bin Sa'id sama dengan yang ada dalam periwayatan Bukhariy. Dalam hal ini akan diuraikan tentang Malik, Abdullah bin Maslamah dan Muslim.

1. Malik
Shighah yang digunakan adalah عن dalam meriwayatkan hadis ini. Sebagaimana yang telah disebutkan di atas walaupun tergolong dhaif, tetapi tidak menurunkan derajat hadis tersebut. Karena adanya indikasi yang kuat antara mereka seperti: terjadi proses guru dan murid, tahun lahir dan wafat mereka diperkirakan adanya pertemuan antara keduanya atau bersamaan. Sehingga dapat dimengerti kalau antara Malik dengan Yahya bin Sa'id ada pertemuan yang jelas dan sezaman sehingga sanadnya bersambung.
Banyak pujian yang dialamatkan kepadanya. Beliau termasuk Imam madzhab dan banyak sekali penganutnya. Tidak adanya ulama yang memberikan penilaian yang tidak baik dari syadz, tadlis ataupun illat, memberikan kesimpulan bahwa beliau termasuk ke dalam golongan tsiqah.
2. Abdullah bin Maslamah bin Qa'nab
Dalam meriwayatkan hadis ini memakai shighah حدثنا yang merupakan shighah tertinggi dalam prosese tahamul dan ada'. Sehingga dapat dipastikan antara Abdullah dan Malik terjadi liqa' sehingga sanadnya bersambung.
Tidak adanya ulama yang memberikan penilaian yang tidak baik dari syadz, tadlis ataupun illat, memberikan kesimpulan bahwa beliau termasuk ke dalam golongan tsiqah.
3. Muslim
Sama seperti di atas, dalam meriwayatkan hadis ini memakai shighah حدثنا yang merupakan shighah tertinggi dalam prosese sehingga bisa dipastikan antara Muslim dengan Abdullah terjadi liqa' sehingga sanadnya bersambung.
Tidak adanya ulama yang memberikan penilaian yang tidak baik dari syadz, tadlis ataupun illat, memberikan kesimpulan bahwa beliau termasuk ke dalam golongan tsiqah.
Kesimpulan: Sanad hadis pertama setelah di teliti ternyata seluruh rawi bersifat tsiqah (adil dan dhabit), selain itu juga bersambung sanadnya. Demikian juga sanad hadis yang kedua yang seluruh rawinya bersifat tsiqah dan bersambung sanadnya. Dengan demikian kedua sanad hadis tersebut berkualitas shahih.


IV. Kajian Matan
a. Dari Segi Lafadz
Dilihat dari lafadznya kedua matan hadis tersebut hampir tidak ada perbedaan sama sekali, kecuali pada hadis riwayat Muslim terdapat tambahan kata إنما. Jumhur ulama ahli bahasa dan ahli ushul berkata:"Lafadz 'إنما' digunakan untuk meringkas, mengukuhkan sesuatu yang disebut dan menafikan yang lainnya. Jadi kira-kira (taqdir) maknanya adalah Sesungguhnya amal-amal itu dihitung berdasarkan niatnya dan tidaklah dihitung kecuali dengan niat. Lafadz إنما juga berfungsi sebagai ta'kid.
Perbedaan penggunaan إنما masih dapat ditoleransi sebagai akibat adanya periwayatan hadis secara makna. Jadi dapat dikatakan, dari segi lafadznya kedua matan tersebut tidak ada ikhtilaf, tadlis maupun 'illat.
b. Dari Segi Kandungan Isi
Dilihat dari kandungannya, matan tersebut tidak bertentangan dengan al-Qur'an. Meskipun para ulama berbeda pendapat tentang niat, antara madzhab Syafi'i dan madzhab Hanbali, yakni tentang sah atau tidaknya perbuatan dengan atau tanpa niat. Ini juga didukung oleh hadis lain yaitu:
نية المؤمن خير من عمله
Artinya: "niat seorang mukmin itu lebih baik daripada amalnya".
Lafadz فمن كانت هجرته...الحديث secara implisit menunjukkan anjuran untuk berikhlas dalam setiap amal ibadah. Adapun adanya lafadz المرأة dan الدنيا adalah berhubungan dengan asbab al-wurud hadis ini sebagaimana yang akan diterangkan dalam syarahnya.
Sedangkan Ikhlas berasal dari kata خلص yang berarti "murni/tidak bercampur". Yakni memurnikan dari hal-hal yang selain bertujuan kepada Allah. Al-Qur'an juga telah menegaskan tentang ikhlas, sebagaimana tersirat dalam surat al-Zumar ayat 11:
قُلْ إِنِّي أُمِرْتُ أَنْ أَعْبُدَ اللَّهَ مُخْلِصاً لَّهُ الدِّينَ
Artinya:"Katakanlah:'Sesungguhnya aku diperintah agar menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama".
Inilah pemaklumatan dari Rasulullah bahwa beliau diperintahkan agar beribadah kepada Allah Yang Esa, memurnikan ketaatan hanya untuk-Nya. Bahkan bukan atas harapan memperoleh surga atau menghindar dari neraka, tetapi semata-mata karena cinta kepada-Nya dan syukur atas nikmat-Nya.
Ikhlas merupakan kunci dari semua amal ibadah. Ikhlas merupakan batas pembeda antara orang mukmin dan orang munafiq. Ikhlas merupakn ibadah yang tak tampak secara lahir, tetapi inilah merupakan ujian bagi orang Islam, karena ketidak tampakan tersebut malah bisa menjadi bumerang yaitu menjadi riya'.
Jadi kandungan matan hadis ini tidak bertentangan dengan al-Qur'an sehingga dapat dipakai hujjah.
Kesimpulan: Setelah dilakukan penelitian, yaitu dari segi lafadz dan segi kandungan isinya di mana dalam matan hadis tersebut tidak ada tadlis, 'illat ataupun ikhtilaf dan tidak adanya pertentangan dengan al-Qur'an dan al-Sunnah maka dapat disimpulkan bahwa matan hadis ini adalah shahih.
V. Syarah Hadis
إِنَّماَ اْلأَعْماَلُ بِالنِّيَّةِ
Penggunaan lafadz إنما berfaedah untuk meringkas (حصر), mengukuhkan sesuatu yang disebut dan menafikan yang lainnya. Taqdir (kira-kira) maknanya adalah sesungguhnya amalan-amalan itu dihitung berdasarkan niatnya dan tidaklah dihitung kecuali tanpa niat sebagaimana dikatakan oleh Nawawiy. Lafadz أعمال lebih luas maknanya daripada hanya sekedar amal-amal yang berupa ucapan, perbuatan, amal fardhu atau sunah, sedikit atau banyak yang keluar dari orang mukmin yang mukallaf. Ini sekaligus pengecualian terhadap amalan-amalan yang dilakukan oleh orang kafir. Karena yang dimaksud dengan amal di sini adalah amal-amal ibadah, sedangkan ibadah itu tidak sah dilakukan oleh orang kafir.
Niat secara bahasa adalah القصد (maksud). Sebagaimana dikatakan oleh Nawawiy, niat adalah عزيمة القلب (kehendak hati). Dalam riwayat Bukhariy tanpa penggunaan إنما. Taqdir (kira-kira) maknanya adalah setiap amal-amal itu tergantung niatnya. Lafadz إنما di sini aslinya adalah إنّ taukidiyah yang dimasuki ما zaidah (tambahan).
وَإِنَّماَ لِكُلِّ امْرِئٍ ماَ نَوَى
Imam al-Qurthubiy berkata penggalan matan ini adalah merupakan tahqiq terhadap persayaratan niat dan ikhlas dalam melakukan semua amal. Menurut madzhab Syafi'i, sebagaimana dikatakan olah Nawawiy, berfaedah untk persyaratan menyatakan (تعيين) terhadap apa yang diniatkan. Seperti orang yang ingin mangqadha shalat, belum cukup jika hanya niat shalat qadha, sebelum menyatakan apakah dhuhur, ashar dan sebagainya.
Orang-orang Islam telah sepakat akan keagungan hadis ini dan akan banyaknya faedah serta keshahihannya. Imam Syafi'i dan ulama yang lain berkata: "Hadis tersebut adalah sepertiga Islam".
Al-Huffadz berkata:"Tidak sah periwayatan hadis ini dari Rasulullah SAW kecuali dari Umar bin al-Kaththab. Dan tidak (sah) periwayatan dari Umar kecuali dari riwayat Alqamah bin Waqash. Tidak pula (sah) dari Alqamah kecuali dari Muhammad bin Ibrahim al-Taimiy. Serta tidak pula (sah) dari Muhammad kecuali dari riwayat Yahya bin Sa'id al-Anshariy".
Oleh sebab itu para Imam berkata:"Hadis ini bukanlah hadis mutawatir, meskipun masyhur di kalangan umum maupun kalangan tertentu karena tidak terpenuhinya syarat mutawatur di awal-awal sanadnya.
فَمَنْ كاَنَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَ رَسُوْلِهِ , فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ
Hijrah berarti meninggalkan, sedangkan menurut syara' hijrah berarti meninggalkan sesuatu yang dilarang oleh Allah. Dalam Islam hijrah ini terjadi dalam dua sisi, yaitu:
1. hijrah atau pindah dari daerah yang rawan menuju daerah yang lebih amn. Seperti ketika Rasulullah SAW hijrah ke Habasyah dan ketika hijrah dari Makkah ke Madinah.
2. hijrah atau pindah dari daerah kekufuran menuju daerah keimanan. Seperti ketika Nabi sudah menetap di Madinah.
Arti dari hadis tersebut, sebagaimana diungkapkan oleh Nawawiy, barang siapa yang bermaksud hijrah karena ikhlas hanya mengharap ridha Allah niscaya pahalanya bergantung kepada Allah. Sebaliknya barangsiapa yang berhijrah hanya ingin mengejar dunia atau wanita niscaya ia akan memperoleh apa yng dikejarnya tetapi tidak mendapat bagian apa-apa di akhirat nanti.
وَمَنْ كاَنَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْياَ يُصِيْبُهاَ أَوِ امْرَأَةٍ يَتَزَوَّجُهَا, فَهِجْرَتُهُ إِلَى ماَ هاَجَرَ إِلَيْهِ
Penyebutan (المرأة) dan (الدنيا) mengandung bebrapa makna, diantaranya:
1. sebab lahirnya hadis ini adalah ketika itu ada seorang laki-laki berhijrah hanya karena imgin menikahi seorang wanita yang di namakan Ummu Qais. Maka lelaki tersebut dinamakan Muhajir Ummu Qais. Asbab Wurud dari hadis tersebut di atas, kita temukan pada hadis yang ditakhrijkan oleh at-thabarany yang bersanad tsiqah dari Ibnu Mas'ud., ujarnya:
كَانَ بَيْنَنَا رَجُلٌ خَطَبَ إِمْرَآَةً يُقَالُ لَهَا (أُمُّ قَيْسٍ) فَأَبَتْ أَنْ يَتَزَوَّجَهَا حَتَّى يُهَاجِرَ فَهاَجَرَ فَتَزَوَّجَهَا. كُنَّا نُسَمِّيْهِ (مُهَاجِرَ أُمِّ قَيْسٍ)
"Konon pada jama'ah kami terdapat seorang laki-laki yang melamar seorang perempuan yang bernama Ummu Qais. Tetapi perempuan itu menolak untuk dinikahinya, kalau laki-laki pelamar tersebut enggan berhijrah ke Madinah. Maka lalu hijrah dan kemudian menikahinya. Kami namai laki-lai itu, Muhajir Ummu Qais.
2. sebagai bentuk peringatan dari Rasulullah agar orang-orang tidak melaksanakan yang demikian tersebut (agar mananamkan keikhlasan dalam diri mereka).
3. menunjukkan betapa besar fitnah yang ditimbulkan oleh dunia dan perempuan. Sebagaimana firman Allah:
زُيِّنَ لِلنّاَسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ مِنَ النِّساَءِ
"Dihias-hiasi bagi manusia cinta akan kesenangan-kesenangan dari perempuan". Dan juga sabda Rasulullah:
ماَ تَرَكْتُ بَعْدِيْ فِتْنَةً أَضَرَّ عَلىَ الرِّجاَلِ مِنَ النِّسَاءِ
"Aku tidak meninggalkan sesudahku fitnah yang lebih berbahaya terhadap laki-laki daripada para perempuan".
Tetapi tidak serta merta perempuan itu selalu membawa fitnah. Bahkan perempuan yang shalihah adalah sebaik-baik perhiasan dunia. Sebagaimana sabda Nabi:
اَلدُّنْياَ كُلُّهاَ مَتَاعٌ, وَخَيْرُ مَتاَعِهاَ الْمَرْأَةُ الصّاَلِحَةُ
"Dunia seluruhnya adalah perhiasan. Dan sebaik-baik perhiasannya adalah wanita yang shalihah".
Keterangan ini menunjukkan bahwa antara niat dengan keikhlasan haruslah saling bergandengan tangan. Kerena sudah termaktub dalam al-Qur'an dan al-Sunnah.
VI. Kesimpulan
Standar kesahihan hadis adalah jika dalam hadis tersebut sanad dan matannya sama-sama memiliki kualitas shahih. Jika ada salah satu yang tidak shahih maka hadis tidak dihukumi shahih. Berangkat dari ini, setelah dilakukan penelitian ditemukan bahwa sanad pada hadis ini berkualitas shahih demikian juga matannya. Sehingga dapat disimpulkan bahwa kualitas hadis ini adalah shahih dan dapat dipakai sebagai hujjah.

C. Penutup
Niat yang ikhlas merupakan kunci dari semua amal ibadah. Dengan niat, amalan-amalan kiata bisa diterima oleh Allah dan memperoleh pahala. Ikhlas merupakan perintah dari Allah yang telah termaktub dalam al-Qur'an sebagaimana dalam firman Allah SWT dalam surat al-Bayyinah ayat lima yang artinya: "Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus". Niat dan ikhlas haruslah senantiasa selalu bergandengan tangan. Kerena tanpa keikhlasan justru akan terjerumus pada sifat riya'. Wallau a'lam.

DAFTAR PUSTAKA


al-Qur'an al-Karim
al-Asqalani, Ibnu Hajar, Tahdzib al-Tahdzib, Beirut, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1994.
,Ibnu Hajar, Fathul Bari, Juz I, Beirut: Darul Fikr, t. th.
al-Bukhariy, Abi Abdillah Muhammad bin Ismail, Shaih al-Bukhariy, Beirut, Dar al-Kutub, 1992.
al-Mazziy, al-Hafidz Jamaluddin Abi al-Hajjaj Yusuf, Tahdzib al-Kamal fii asma' al-Rijal Juz 7, Beirut, Dar al-Fikr, t. th.
al-Mubarakfuriy, Muhammad Abdurrahman bin Abdurrahim al-Mubarakfuriy, Tuhfah al-Ahwadziy Juz V, Beirut, Dar al-Kutub al-Ilmiah, t.th.
al-Naisaburiy, Abi al-Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairi, Shahih Muslim Juz II, Beirut, Dar al-Fikr, 1992.
al-Nawawi, Shahih Muslim bi Syarh al-Imam an-Nawawi , Beirut, Dar El-Fikr, 1996.
Rahman,Fatchur, Ikhtisar Mushthalahul Hadits, Bandung, Almaarif, 1974.
Shihab, M. Quraish, Tafsir al-Mishbah vol. 12, Jakarta, Lentera Hati, 2006.
al-Qasthalaniy,Syihabuddin Ahmad bin Muhammad, Irsyad al-Saari li Syarh Shahih al-Bukhariy, Beirut, Dar al-Fikr, 1989.
Quthb, Sayyid, Tafsir fi Dhilalil Qur'an Jilid 10, Jakarta, Gema Insani, 2004.

tafsir Jawahir karya tantawi jauhari

Kajian Tentang Kitab Tafsir Jawahir
A. Pendahuluan
Tak diragukan lagi bahwa banyak ayat-ayat al-Qur'an yang berbicara tentang alam raya. Tetapi hanya sedikit sekali tafsir yang berbicara dengan melakukan pendekatan ilmu pengaetahuan. Salah satu tafsir yang membuat terobosan baru adalah tafsir Jawahir. Terlepas dari kontroversi boleh tidaknya tafsir bil 'ilmi, yang pasti tafsir ini memberi kontribusi penting dalam dunia penafsiran.
B. Pembahasan
Biografi Pengarang
Pada tahun 1870 M di wilayah al-Ghar, Thanthawi Jauhari dilahirkan. Ia berasal dari keluarga petani yang sederhana. Namun orang tuanya menginginkannya tumbuh sebagai orang berpredikat terpelajar. Karena itu, setelah menamatkan serangkaian pendidikan formal di kota kelahirannya, ia dikirim ke universitas al-Azhar kairo untuk mendalami ilmu-ilmu agama.
Di universitas al-Azhar, ia bertemu dengan seoragng pembaharu terkemuka, Muhammad Abduh. Baginya, Abduh bukan sekedar guru, tetapi juga mitra dialog. Pergesekan pemikiran dengan Abduh memercikkan pengaruh besar pada pemikiran dan keilmuannya terutama dalam bidang tafsir.
Sebagai akademisi, Thanthawi aktif mencermati perkembangan ilmu pengetahuan. Caranya beragam, mulai dari membaca berbagai buku, menelaah artikel di media massa, hingga menghadiri berbagai seminar keilmuan. Dari beberapa ilmu yang dipelajarinya, ia tergila-gila pada ilmu tafsir.
Di samping itu, Thanthawi juga fasih berbicara tentang fisika. Menurutnya, ilmu itu harus dikuasai oleh umat Islam. Hanya dengan cara itu maka anggapan bahwa Islam adalah agama yang menentang ilmu pengetahuan dan teknologi dapat ditepis.


Latar Balakang Penulisan
Thanthawi termasyhur karena kegigihannya dalam gerakan pembaruan membangkitkan kepedulian masyarakat terhadap penguasaan ilmu pengetahuan. Karena itu, tidak berlebihan jika sejumlah kalangan menjulukinya "mufasir ilmu" lantaran ilmu yang dikuasainya sangat luas dan mendalam.
Dalam muqaddimah kitab tafsirnya, dijelaskan bahwa sejak dulu beliau sering menyaksikan kejaiban alam, mengagumi dan merindukan keindahannya baik yang ada di langit maupun yang ada di bumi, revolusi matahari, perjalanan bulan, bintang yang bersinar, awan yang berarak, kilat yang menyambar dan listrik yang membakar serta keajaiban-keajaiban lainnya.
Selanjutnya ia menyatakan :"Ketika aku berpikir tentang keadaan umat islam dan pendidikan-pendidikan agama, maka aku menuliskan surat kepada para pemikir (al-'Uqala') dan sebagian ulama-ulama besar (Ajillah al-Ulama') tantang makna-makna alam yang sering ditinggalkan dan tentang jalan keluarnya yang masih sering dilakukan dan dilupakan. Sedangkan sedikit sekali dari mereka yang mau berpikir tentang kejadian alam dan keanehan-keanehan yang melingkupinya".
Itulah yang mendorong Thanthawi menyusun pembahasan-pembahasan yang dapat mengkompromikan pemikiran Islam dengan kemajuan Studi Ilmu Alam.
Bentuk, Metode dan Corak
Untuk mengetahui bentuk, metode dan corak sebuah kirab tafsir, perlu diadakan perbandingan kitab aslinya dengan kitab tafsir yang lain. Kali ini akan diperbandingkan antara kitab Tafsir Jawahir (kitab asli), Tafsir al-Maraghi dan Tafsir al-Wadhih (semua teks terlampir).
1. Bentuk
Dalam berbagai macam literatur, istilah bentuk penafsiran tidak dijumpai dalam kitab-kitab 'ulum al-Qur'an (ilmu tafsir) pada abad-abad yang silam bahkan sampai periode modern sekalipun tidak ada ulama tafsir yang menggunakannya. Oleh karenanya tidak aneh bila dalam kitab-kitab klasik semisal al-Burhan fi 'Ulum al-Qur'an karangan al-Zarkasyi, al-Itqan fi 'Ulum al-Qur'an karya al-Suyuthi, dan lain-lain tidak dijumpai term tersebut.
Namun dalam buku Wawasan Ilmu Tafsir yang ditulis oleh Nashruddin Baidan, dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa penafsiran yang dilakukan olah para mufasir sejak pada masa Nabi sampai dewasa ini dapat dikelompokkan menjadi dua macam, yakni tafsir bi al-ma'tsur dan bi al-ra'y.
Berangkat dari sini, tafsir Jawahir ini jika dilihat dengan apa yang telah disimpulkan oleh Nasruddin Baidan tersebut, maka dapat dikatakan bahwa tafsir ini menggunakan bentuk bi al-ra'yi. Karena dalam menafsirkan suatu ayat, Thanthawi murni menggunakan pemikirannya sesuai dengan kemampuan dia selain ahli sebagai seorang mufassir, juga ahli dalam bidang fisika dan biologi. Hal ini dapat terlihat dalam contoh (terlampir), ketika dia menafsirkan penciptaan manusia dari 'alaq (علق), beliau murni menggunakan kemampuan dia sebagai seorang yang ahli biologi di samping sebagai seorang mufasir, tanpa menyebutkan suatu riwayat yang berhubungan dengan 'alaq (علق).
Ini berbeda dengan penafsiran dengan bentuk bi al-Ma'tsur. Tafsir yang menggunakan bentuk bi al-ma'tsur sangat tergantung dengan riwayat. Tafsir ini akan tetap eksis selama masih ada riwayat. Kebalikannya jika riwayat habis, tafsir bi al-ma'tsur juga akan hilang.
2. Metode
Munculnya beragam kitab tafsir tidak dapat dipisahkan dari perbedaan metode penafsiran al-Qur'an. Metode di sini diartikan dengan cara kerja yang dilakukan secara sistematis. Jadi metode tafsir adalah cara (langkah dan prosedur) yang digunakan oleh mufasir untuk memahami al-Qur'an.
Jika diamati secara cermat metode yang digunakan oleh Thanthawi dalam tafsir ini adalah metode tahlili (analitis). Metode ini berusaha menjelaskan kandungan ayat-ayat al-Qur'an dari seluruh aspeknya. Dengan metode ini, mufasir menjelaskan al-Qur'an secara luas dan rinci. Segala hal yang bertautan dengan al-Qur'an bisa dimasukkan dalam tafsir. Kata kunci penggunaan metode ini tidak terletak pada banyak tidaknya materi penafsiran, akan tetapi pada penafsiran yang runtut dan rinci. Ruang lingkup yang luas memungkinkan tafsir dengan metode ini memuat berbagai ide.
Demikian halnya dengan metode yang dipakai dalam tafsir ini. Thanthawi dengan analisisnya sebagai seorang mufasir sekaligus seorang yang menguasai ilmu-ilmu alam memberikan penafsiran secara runtut dan terperinci dengan ruang lingkup yang amat luas. Dalam contoh (terlampir) sudah terlihat dengan jelas, bagaimana dia ketika berusaha menjelaskan apa yang dinamakan 'alaq (علق). Dapat kita lihat betapa luasnya penjabaran yang dia berikan mengenai 'alaq (علق). Bahkan sampai mencakup tiga halaman sendiri.
Ini jelas berbeda dengan apa yang ada dalam tafsir al-Maraghi maupun dalam tafsir al-Wadhih. Meskipun keduanya menggunakan metode yang sama dengan metode yang dipakai dalam tafsir Jawahir. Namun uraiannya tentang 'alaq (علق) tidak seluas dengan apa yang ada dalam tafsir. Dapat dibayangkan jika dalam tafsir Jawahir untuk menguraikan tentang 'alaq saja membutuhkan tiga halaman, sedangkan dalam tafsir al-Maraghi maupun al-Wadhih hanya berkisar dua sampai tiga baris saja sungguh perbedaan yang amat mencolok. Karena seperti telah dijelaskan di atas meskipun sama-sama menggunakan metode tahlili, tetapi kata kuncinya bukan terletak pada banyaknya materi penafsiran, akan tetapi pada penafsiran yang rinci dan runtut.
3. Corak
Corak penafsiran ialah suatu warna, arah, atau kecenderungan pemikiran atau ide tertentu yang mendominasi sebuah karya tafsir. Jadi kata kuncinya adalah terletak pada dominan atau tidaknya sebuah pemikiran ide tersebut. Tetapi bila ada satu yang dominan maka disebut corak khusus.
Sedangkan corak yang digunakan dalam tafsir ini adalah corak tafsir bil 'ilmi. Meskipun para ulama berbeda pendapat tentang atafsir bil 'ilmi, ada yang menolaknya dengan alasan bahwa teori-teori ilmiah jelas bersifat nisbi (relatif) dan tidak pernah final. Tetap ada yang mendukungnya dengan alasan bahwa al-Qur'an justru menggalakkan penafsiran ilmiah.
Tetapi jika kita lihat dalam contoh, jika kita bandingkan dengan tasir lainnya, ketika ketiga tafsir sama-sama berbicara tentang 'alaq (علق) terlihat dengan jelas bahwa tafsir Jawahir ini memang menggunakan corak tafsir bil 'ilmi.
Sebagai contoh ketika ketiga tafsir berbicara tentang 'alaq (علق). Kedua tafsir (al-Maraghi dan al-Wadhih) seperti tafsir-tafsir lainnya mengartikan makna 'alaq (علق) sebagai darah yang membeku atau sepotong darah yang beku (دم جامد/قطعة دم جامدة) yang tidak mempunyai panca indra, tidak bergerak dan tidak mempunyai rambut.
Berbeda halnya ketika Thanthawi menafsirkan tentang 'alaq (علق), dia memulai dengan perbandingan antara telur yang ada pada binatang aves (sejenis burung) dengan sel telur yang ada pada manusia. Menurutnya apa yang terjadi pada binatang tersebut sama dengan apa yang ada pada manusia. Telur pada hewan jenis burung mempunyai apa yang dinamakan putih dan kuning telur. Dan apa yang dinamakan jurtsumah (جرثومة), di mana jurtsumah ini yang menjadi dasar pembentukan manusia.
Demikian juga apa yang terjadi pada indung telur seorang wanita. Indung ini mempunyai ukuran minimal 1/120 qirath dan maksimal 1/20 qirath. Sedangkan sel kuning telur ukurannya tidak lebih dari 1/700 qirath dan setetes jurtsumah ukurannya kurang lebih 1/3000 qirath.
(ولكن بيضة المرأة صغيرة جدا, وأصغرها۱\ ۰۲۱ من القيراط, وأكبرها ۱\ ۰۲ من القيراط, والمح لا يزيد عن ۱\ ۰۰٧من القيراط, والجرثومة التى أصل الإنسان ذرة من ذلك المح, كما يشاهد نظيرها فى مح البيض, قطرها ۱\۰۰۰۳ من القيراط)

Dari contoh tersebut dapat disimpulkan bahwa ketika Thanthawi menafsirkan kata tersebut dia menggunakan ilmu biologi, berbeda jauh dengan yang dipakai oleh Maraghi maupun Hijazi. Hal ini membuktikan bahwa memang corak yang dipakai oleh Thanthawi adalah corak bil 'ilmi, menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an berdasarkan pendekatan ilmiah, atau menggali kandungannya berdasarkan teori-teori ilmu pengetahuan yang ada.
Namun yang perlu diingat adalah tidak ada ayat al-Qur'an yang bersifat ilmiah, karena al-Qur;an adalah wahyu dan kebenarannya berdifat mutlak. Sedangkan ilmu pengetahuan yang bersifat ilmiah kebenarannya bersifat relatif. Al-Qur'an bukanlah kitab ilmu melainkan kitab hudan bagi manusia. Tetapi petunjuk al-Qur'an ada yang berbentuk lafdzi, isyarat, kiasi dan yang tersurat berkenaan dengan ilmu pengetahuan guna mendukung fungsinya sebagai hudan.
KARAKTERISTIK
Kitab ini terdiri dari 13 jilid yang tersusun dari 26 juz. Kitab al-Jawahir ini ditulis berdasarkan urutan mushaf Utsmani. Sebelum menafsirkan surah al-Fatihah, Tanthawi terlebih dahulu merigutip surat Al-Nahl [16];89 dalam uraian "Kata Pendahuluan" (Mukaddimah). Berbeda dengan jilid kedua dan selanjutnya, di mana ia menjadikan ayat Al-Nahl [16]:44 sebagai 'motto' uraiannya. Hal itu sampai pada juz yang ke 25 saja, dan juz yang terakhir berisi pembahasan lain yang berisi tentang makna-makna yang terkandung dalam bismilah dan lain sebagainya.
Kitab ini memang sebuah terobosan baru dalam upaya penafsiran dengan menggunakan pendekatan ilmu pengetahuan. Jika kita lihat pada contoh, memang jauh sekali perbedaannya dengan tafsir al-Maraghi maupun tafsir al-Wadhih. Ini dikarenakan tafsir dengan pendekatan ilmu pengetahuan memang penjelasannya begitu rumit dan panjang sehingga tidak mudah untuk memahaminya, melainkan harus menguasai ilmunya.
Kitab ini juga dilengkapi gambar-gambar serta foto-foto untuk memperkuat argumentasinya dan menjadi media pelengkap ketika menjelaskan ayat-ayat al-Qur'an yang berhubungan dengan alam.



C. Penutup
Tidak ada metode tafsir yang terbaik, sebab masing-masing mempunyai karakteristik tersendiri, kekurangan dan kelebihan serta tergantung kebutuhan mufasir. Kalau kita ingin menuntaskan topik maka jawabnya ada pada metode tafsir mawdu’iy, namun bila kita ingin menerapkan kandungan suatu ayat dalam berbagai seginya maka jawabnya ada pada metode tahlily. Di samping itu, ketika kita ingin mengetahui pendapat para mufasir tentang suatu ayat atau surat sejak periode awal sampai periode moderen, maka metode yang tepat adalah muqarin, sedangkan ketika ingin mengetahui arti atau makna suatu ayat secara ringkas dan global, maka metode ijmaly-lah yang tepat.
DAFTAR PUSTAKA
Baidan, Nashruddin, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2005.

Ghofur, Saiful Amin ], Profil Para Mufasir al-Qur'an, Yogyakarta, Puataka Insan Madani, 2008.

Hijazi, Muhammad Mahmud, Tafsir al-Wadhih, jilid 3, Beirut, Dar al-Jil, 1993.

Jauhari, Thanthawi, al-Jawahir fi Tafsir al-Qur'an al-Karim, Beirut, Dar al-Fikr, t.th.

Al-Maraghi, Ahmad Mushthafa, Tafsir al-Maraghi Jilid 10, Beirut, Dar al-Fikr, t.th.

Minggu, 20 Desember 2009

ijma' ahl madinah

IJMA' AHL AL-MADINAH
(DALAM PERSPEKTIF IMAM MALIK)
A. Pendahuluan
Para sahabat Nabi SAW sejak periode Khulafa' al-Rasyidin telah meletakkan dasar-dasar metodologis guna mensosialisasikan berita dengan nisbah kehadisan yang bertumpu pada prinsip menjaga keutuhan dan kesesuaian dengan faktanya. Sistem ini terus dipertahankan sampai pada generasi Tabi'in maupun Tabi' al-Tabi'in. Sehingga banyaklah muncul kitab hadis yang berbeda-beda metodologinya.
Salah satu tokoh yang membuat kitab hadis adalah Imam Malik melalui kitab al-Muwaththa'nya. Salah satu poin penting dalam metodenya menyusun al-Muwaththa' adalah mengenai kedudukan Ijma' Ahl al-Madinah dengan Hadis Ahad. Dalam makalah ini akan diuraikan tentang bagaimana perspektif beliau tentang kedua hal tersebut.
B. Pembahasan
1. Riwayat Singkat
Nama lengkapnya adalah Malik bin Anas bin Malik bin Abi Amir bin Amr bin al-Haris bin Ghaiman bin Khutsail bin Amr bin al-Haris, Abu Abdillah al-Madaniy. Beliau dilahirkan tahun 93 H menurut qoul yang lebih shahih.
Imam Malik tinggal bersama isterinya Fatimah, dan tiga orang anaknya, Yahya, Muhammad dan Hammad. Kota Madinah tidak pernah ditinggalkan olehnya kecuali jika ia pergi haji ke Makkah. Tampaknya ia yakin bahwa sudah cukup baginya Madinah sebagai pusat menimba ilmu, karena di kota inilah ajaran Islam lahir dan kemudian diikuti oleh para sahabat dan tabi'in, pengikut Nabi yang setia.
Sebagai seorang ahli hadis, beliau sangat menghormati dan menjunjung tinggi hadis Nabi SAW, sehingga bila hendak memberi pelajaran hadis, beliau berwudhu terlebih dahulu, kemudian duduk di atas alas sembahyang dengan tawadhu'. Adapun guru yang pertama dan bergaul lama serta erat adalah Imam Abd. Rahman ibn Hurmuz, salah seorang ulama' besar di Madinah. Kemudian beliau belajar fikih kepada salah seorang ulama' besar Madinah, yang bernama Rabi'ah al-Ra'yi.
Imam Malik meninggal pada hari Ahad 12 Rabiul Awal 179 H dalam usia 87 tahun. Jenazahnya dikebumikan di kuburan Baqi'. Ia berwasiat supaya dikafani dengan pakaiannya yang putih dan dishalatkan di tempat meninggalnya. Dengan meninggalnya Imam Malik berkuranglah satu ulama besar Islam di Madinah.
2. Ijma' Ahl al-Madinah
Ada yang menyamakan antara Ijma' Ahl Madinah dengan Amal Ahl Madinah. A'mal ahl Madinah adalah semua perbuatan penduduk Madinah pada zaman sahabat dan tabi'in yang dianggap warisan dari Nabi Muhammad SAW. Sebagaimana Allah SWT berfirman dalam surat Al-Taubah ayat 100: "Dan orang-orang terdahulu yang pertama kali masuk Islam di antara orang Muhajirin dan Anshar, dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah SWT ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada Allah Swt".
Sedangkan menurut Ibnu Taimiyah, yang dimaksud dengan Ijma' Ahl al-Madinah adalah Ijma' Ahl al-Madinah pada masa lampau yang menyaksikan amalan-amalan yang berasal dari Rasulullah SAW. Ijma' Ahl al-Madinah ini memiliki beberapa tingkatan, yaitu:
• kesepakatan Ahl al-Madinah yang asalnya al-Naql.
• amalan Ahl al-Madinah sebelum terbunuhnya Utsman bin Affan. Ini dijadikan sebagai Hujjah bagi madzhab Maliki. Hal ini didasarkan bahwa belum pernah diketahui ada amalan Ahl al-Madinah masa lalu itu yang bertentangan dengan sunnah Rasulullah SAW.
• amalan Ahl al-Madinah yang dijadikan pendukung atau pentarjih atas dua dalil yang saling bertentangan.
• amalan Ahl al-Madinah sesudah masa keutamaan yang menyaksikan amalan Nabi SAW. Amalan seperti ini bukan hujjah, baik menurut al-Syafi'i, Ahmad bin Hanbal, Abu Hanifah maupun menurut para ulama di kalangan madzhab Maliki.
3. Pandangan Imam Malik Terhadap Ijma' Ahl al-Madinah
Menurt Imam Malik, hadis yang dapat diterima harus memenuhi syarat sebagai berikut:
• hadis itu tidak bertentangan dengan al-Qur'an. Atas dasar ini ia menolak hadis yang menyatakan:
نَهَى رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم عَنْ أَكْلِ كُلِّ ذِىْ مِخْلَبٍ مِنَ الطَّيْرِ
(Rasulullah SAW melarang makan burung apa saja yang berkuku kuat) karena hadis ini bertentangan dengan ayat al-Qur'an :
       •          ••   ....
( Katakanlah: "Tiadalah Aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi ….").
• hadis itu masyhur atau diamalkan oleh masyarakat Madinah. Imam Malik tidak meriwayatkan hadis yang tidak terkenal. Ia meninggalkan hadis yang asing.
Dari dua syarat ini secara implisit dapat dikatakan bahwa Imam Malik begitu fanatiknya terhadap Madinah. Sehingga timbul pertanyaan apa yang melatarbelakangi sehingga beliau sampai mengambil sikap seperti itu?.
Ini bisa dimaklumi karena Imam Malik tidak pernah keluar dari Madinah. Jika dilihat dari guru-gurunya yang kesemuanya adalah ulama Madinah, bisa di ambil kesimpulan bahwa beliau belajar hanya berkutat di kawasan Madinah saja. Meskipun beliau pernah berjumpa dengan banyak orang ketika berhaji dan meriwayatkan dari mereka, tetapi itu bukan dalam rangka untuk menuntut ilmu sebagimana beliau menuntut ilmu dengan guru-gurunya di Madinah.
Selain itu pada masa beliau hidup, telah terjadi banyak perubahan-perubahan baru dengan masuknya unsur-unsur lain dari luar Arab dan Islam, yakni dengan banyaknya orang non Arab yang masuk Islam sedang mereka sebelum masuk Islam juga mempunyai pendapat dan tradisi lain yang tidak dikenal dalam Islam. Juga adanya penerjemahan-penerjemahan yang dimulai pada masa Bani Umayyah dan diteruskan oleh Bani 'Abbasiah. Maka dari sinilah mulai timbul silang pendapat, perpecahan dan pertentangan-pertentangan. Seperti apa yang terjadi pada sekte-sekte keagamaan seperti Syi'ah, Khawarij, Qadariyah, Mu'tazilah dan sebagainya.
Tetapi kawasan Madinah tidak begitu terpengaruh, bahkan Madinah dapat menjaga atau melestarikan tradisi-tradisi yang telah diwariskan oleh Rasulullah SAW sehingga tidak tampak adanya pertentangan-pertentangan dalam masalah agama. Oleh sebab inilah banyak manusia yang lebih memilih pendapat dari ulama Madinah. Sejak saat inilah, ketika beliau mengamati terhadap perpecahan-perpecahan terhadap sekte-sekte keagamaan, beliaupun mengambil sebuah manhaj dalam pengambilan sebuah hukum. Tata urutan yang ia gunakan adalah Kitabullah (al-Qur'an), Sunnah Rasul (al-Hadis), Qoul Khulafa' al-rasyidin, riwayat sahabat, riwayat ahl al-Ilmi dan ahli takwa dari ulama Madinah. Dan manhaj inilah yang beliau gunakan dalam penyusunan kitab al-Muwaththa'.
Surat pribadi Imam Malik yang dikirim kepada Laits bin Sa'ad (w. 175 H) secara eksplisit menegaskan dasar argumen atas fakta perilaku keagamaan warga Madinah untuk diakui kehujjahannya, yaitu: (a) Madinah adalah kawasan Hijrah Rasulullah SAW, sentral aktivitas keislaman, lokasi berhimpun pada sahabat Nabi SAW, maka kebenaran (ajaran) berada di pihak mereka; (b) penduduk Madinah menyaksikan langsung proses wahyu al-Qur'an, mengikuti dengan seksama pengembangan makna doktrinalnya dan mereka bertindak sebagai partisipan observasi terhadap hal ihwal kehidupan sehari-hari Rasulullah SAW; dan (c) informasi keagamaan warga Madinah lebih diprioritaskan daripada informasi serupa dari warga eks daerah yang lain.
Dengan manhaj yang beliau susun ini dapat berimplikasi terhadap kedudukan hadis ahad. Imam malik tidak mengakui hadis ahad sebagai sesuatu yang datang dari Rasulullah, jika hadis ahad itu bertentangan dengan sesuatu yang sudah dikenal oleh masyarakat Madinah, sekalipun hanya dari hasil istinbath, kecuali hadis ahad tersebut dikuatkan oleh dalil-dalil lain yang qath'iy.
Kendati demikian Imam Malik terdata menerima pola konfirmasi (mu'aradhah) hadis ahad dengan makna eksplisit yang dikandung dalam al-Qur'an. Resiko perlawanan disikapi dengan mengesampingkan hadis, kecuali diperoleh kesesuaian dengan praktek keagamaan warga Madinah atau dengan qiyas. Hadis yang bermateri keharaman mengkonsumsi daging hewan buas bertaring, sekalipun berlawanan dengan makna dhahir surat al-An'am ayat 145, Imam Malik setuju mempedomani hadis tersebut karena faham/sikap keagamaan warga Madinah sejalan dengan hadis tersebut. Dalam koleksi al-Muwaththa', Imam Malik membuat tema "bab keharaman mengkonsumsi setiap hewan buas bertaring".
Pemikiran Imam malik tentang pemberian otoritas terhadap Ijma'/'amal Ahl al-Madinah di atas hadis ahad, hingga menggugurkan validitasnya sebagai hujjah bardampak terhadap generasi setelah beliau, terutama ulama malikiyah dalam bidang fikih. Sebagai contoh adalah hadis Nabi:
إِذاَ تَباَيَعَ الرَّجُلاَنِ فَكُلُّ واَحِدٍ مِنْهُماَ باِلْخِياَرِ ماَلَمْ يَتَفَرَّقاَ
(Apabila terjadi akad jual beli antara dua orang, maka masing-masing dari keduanya mempunyai hak pilih selama keduanya belum berpisah)
Matan hadis tersebut bersanad silsilah dzahabiyah, karena Imam Malik dalam koleksi al-Muwaththa' menampilkan sanad untuknya melalui Nafi' dan Abdullah bin Umar bin Khathab. Meskipun keabsahan sanad hadis bernilai tinggi, namun deduksi fikih oleh Imam Malik dan fuqaha madzhabnya menolak keberlakuan khiyar majlis betapa sosok pembeli belum beranjak pergi meninggalkan lokasi akad. Alasan penolakan karena praktek jual beli di lingkungan warga Madinah tidak mentradisikan khiyar tersebut. Transaksi jual beli selesai dan memiliki kekuatan hukum tetap cukup melalui ijab dan qabul.
Tetapi pendapat beliau tentang Ijma' Ahl Madinah tidak begitu saja diterima oleh jumhur ulama. Jumhur ulama' memiliki beberapa sanggahan atas dalil Imam Malik dalam pengambilan a'mal ahl Madinah sebagai pijakan hukum Islam, antara lain:
1. Sesungguhnya hadits tentang keutamaan penduduk Madinah dari yang lain tidak menafikan keutamaan yang lain dan tidak berarti ijma' khusus untuk mereka, tetapi juga terbuka untuk yang lain, karena ijma' tidak terbatas pada kaum atau tempat tertentu dan hal itu ada demi kemaslahatan penduduk di tempat itu.
2. Penyaksian mereka terhadap wahyu tidak menunjukkan bahwa ahli ilmu hanya terbatas kepada penduduk Madinah, melainkan juga terdapat di kota atau negara lain.
3. Sesungguhnya a'mal ahl Madinah yang berasal dari ijtihad, antara penduduk Madinah yang lainnya sama kedudukannya, tetap tidak bisa dijadikan hujjah.
4. Hadits Rasulullah tidak hanya didengar oleh penduduk Madinah, karena tidak menutup kemungkinan orang yang mendengar itu berasal dari negara lain dan tidak menetap di Madinah ataupun dia hanya mendengar dari penduduk Madinah kemudian dia pergi ke negara lain. Sehingga, ketika muncul suatu perkara, mereka tidak bisa memberikan pendapat sesuai hadits yang didengarnya. Padahal, pendapat mujtahid tidak menjadi hujjah bagi mujtahid lain.
C. Penutup
Tidak diragukan lagi Imam Malik adalah salah satu Muhaddisin yang mempunyai karakteristik tersendiri. Bahkan dikatakan beliau adalah ulama tertua yang kitabnya masih ada di tangan kita sampai sekarang. Kesungguhannya dalam menekuni pengetahuan agama menjadikan Imam Malik sebagai seorang panutan dalam bidang hadis dan fikih. Bahkan, di bidang fikih, beliau dikenal sebagai pendiri salah satu madzhab fikih, yaitu madzhab Maliki.




DAFTAR PUSTAKA

Abbas, Hasyim, Kritik Matan Hadis Versi Muhaddisin dan Fuqaha, Yogyakarta, Teras, 2004.

Al-Asqalani, Ibnu Hajar, Tahdzib al-Tahdzib Juz 10, Beirut, Dar al-Kutub al- Ilmiyah, 1994.

Dzulmani, Mengenal Kitab-Kitab Hadis, yogyakarta, Pustaka Insan Madani, 2008.

Husain, Muhammad Kamil, dalam Muqaddimah al-Muwaththa', Beirut, Dar al- Kutub al-'Ilmiyah, t.th.

Malik bin Anas, al-Muwaththa', Beirut, Dar al-Kutub al-'Ilmiyah, t.th.

Thahhan, Mahmud, Taisir Mushthalah al-Hadis, Surabaya, al-Hidayah, t.th.

Ummi Zakiyah, A'mal Ahl Madinah, artikel diakses pada tanggal 07 Januari 2009 dari http://www.numesir.org/?pilih=news&aksi=lihat&id=142.

Yanggo, Huzaemah Tahido , Pengantar Perbandingan Mazhab, Jakarta, Logos, 1997.

Zuhri, Muh., Hadis Nabi Telaah Historis dan Metodologis, Yogyakarta, PT Tiara Wacana, 2003

Tafsir Jalalain

KAJIAN TENTANG KITAB TAFSIR JALALAIN
Oleh Cholid Abdullah


A. Pendahuluan
Al-Qur'an laksana intan permata yang setiap ujungnya memancarkan cahaya berkilauan. Ilustrasi ini memberikan pengertian bahwa al-Qur'an merupakan mata air yang telah mengilhami munculnya berjilid-jilid kitab tafsir. Mereka, para mufasir yang menulis kitab tafsir itu, menggunakan beragam metode dalam menafsirkan al-Qur'an
Salah satu kitab tafsir yang sangat familier di Indonesia, terutama di kalangan pondok pesantren, adalah kitab tafsir Jalalain. Kitab ini sangat mudah dijumpai karena sampai sekarang pengkajian kitab ini masih dapat kita temukan di berbagai pondok di Indonesia. Dalam makalah ini akan dikaji tentang seluk beluk yang berkaitan dengan tafsir Jalalain.

B. Pembahasan
1. Biografi Pengarang
Kitab ini dikarang oleh dua orang Imam yang agung, yakni Jalaluddin al-Mahalli dan Jalaluddin al-Suyuthi.
Jalaluddin al-Mahalli bernama lengkap Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Ibrahim bin Ahmad al-Imam al-Allamah Jalaluddin al-Mahalli. Lahir pada tahun 791 H/1389 M di Kairo, Mesir. Ia lebih dikenal dengan sebutan al-Mahalli yang dinisbahkan pada kampung kelahirannya. Lokasinya terletak di sebelah barat Kairo, tak jauh dari sungai Nil.
Sejak kecil tanda-tanda kecerdasan sudah mencorong pada diri Mahalli. Ia ulet menyadap aneka ilmu, misalnya tafsir, ushul fikih, teologi, fikih, nahwu dan logika. Mayoritas ilmu tersebut dipelajarinya secara otodidak, hanya sebagian kecil yang diserap dari ulama-ulama salaf pada masanya, seperti al-Badri Muhammad bin al-Aqsari, Burhan al-Baijuri, A'la al-Bukhari dan Syamsuddin bin al-Bisati. Al-Mahalli wafat pada awal tahun 864 H bertepatan dengan tahun 1455 M.
Sedangkan al-Suyuthi bernama lengkap Abu al-fadhl Abdurrahman bin Abi Bakr bin Muhammad al-Suyuthi al-Syafi'i. Beliau dilahirkan pada bulan Rajab tahun 849 H dan ayahnya meninggal saat beliau berusia lima tahun tujuh bulan. Beliau sudah hafal al-Qur'an di luar kepala pada usia delapan tahun dan mampu menghafal banyak hadis. Beliau juga mempunyai guru yang sangat banyak. Di mana menurut perhitungan muridnya, al-Dawudi, mencapai 51 orang. Demikian juga karangan beliau yang mencapai 500 karangan. Beliau meninggal pada malam Jum'at 19 Jumadil Awal 911 H di rumahnya. 

2. Latar Belakang Penulisan
Riwayat hidup al-Mahalli tak terdokumentasi secara rinci. Hal ini disebabkan ia hidup pada masa kemunduran dunia Islam. Lagi pula ia tak memiliki banyak murid, sehingga segala aktivitasnya tidak terekam dengan jelas. Walau begitu, al-mahalli dikenal sebagai orang yang berkepribadian mulia dan hidup sangat pas-pasan, untuk tidak dikatakan miskin. Guna memnuhi kebutuhan sehari-hari, ia bekerja sebagai pedagang. Meski demikian kondisi tersebut tidak mengendurkan tekadnya untuk terus mengais ilmu. Tak mengherankan jika ia mempunyai banyak karangan yang salah satunya adalah Tafsir al-Qur'an al-'Adzim yang lebih dikenal dengan nama Tafsir Jalalain tetapi belum sempurna.
Sedangkan al-Suyuthi-lah yang menyempurnakan "proyek" gurunnya. Pada mulanya beliau tidak berminat menulis tafsir ini, tetapi demi memelihara diri dari apa yang telah disebutkan oleh firman-Nya:
(“dan barang siapa yang buta hatinya didunia ini, niscaya diakhirat nanti ia akan lebih buta dan lebih tersesat dari jalan yang benar”). (Qs, al-Isra’ :72)
maka dia menulis kitab ini, kitab ini selesai ditulis pada hari Ahad, tanggal 10 Syawal 870 Hijriah, Penulisannya di mulai pada hari rabo, awal ramadhan dalam tahun yang sama, kemudian konsep jadinya diselesaikan pada hari Rabu 8 Safar 871 Hijriah.

3. Bentuk, Metode dan Corak Tafsir Jalalain
Istilah bentuk penafsiran tidak dijumpai dalam kitab-kitab 'ulum al-Qur'an (ilmu tafsir) pada abad-abad yang silam bahkan sampai periode modern sekalipun tidak ada ulama tafsir yang menggunakannya. Oleh karenanya tidak aneh bila dalam kitab-kitab klasik semisal al-Burhan fi 'Ulum al-Qur'an karangan al-Zarkasyi, al-Itqan fi 'Ulum al-Qur'an karya al-Suyuthi, dan lain-lain tidak dijumpai term tersebut.
Namun menurut Nashruddin Baidan, dapat disimpulkan bahwa penafsiran yang diterapkan olah para mufasir sejak pada masa Nabi sampai dewasa ini dapat dikerucutkan menjadi dua macam, yakni tafsir bi al-ma'tsur dan bi al-ra'y.
Tafsir Jalalain merupakan tafsir yang menggunakan bentuk bi al-ra'y. Karena dalam menafsirkan ayat demi ayat menggunakan hasil pemikiran atau ijtihad para mufasir (meskipun tidak menafikan riwayat). Sebagai contoh ketika al-Jalalain menafsirkan penggalan ayat berikut ini:
(ولا تتبدلواالخبيث) الحرام (بالطيب) الحلال أى تأخذوه بدله كما تفعلون من أخذ الجيد من مال اليتيم وجعل الردئ من مالكم مكانه.
Di sini kelihatan dengan jelas bahwa ketika menafsirkan penggalan ayat tersebut al-Suyuthi murni menggunakan pemikirannya tanpa menyebut riwayat. Jika kita bandingkan dengan tafsir Ibnu katsir berikut ini, akan lebih jelas perbedaannya.
(ولا تتبدلواالخبيث بالطيب) قال سفيان الثورى عن أبى صالح :لا تعجل بالرزق الحرام قبل أن يأتيك الرزق الحلال الذى قدر لك وقال سعيد بن جبير:لا تتبدلواالحرام من أموال الناس بالحلال من أموالكم,يقول :لاتبدلوا أموالكم الحلال وتأكلوا أموالهم الحرامز.وقال سعيد بن المسيب والزهرى:ولا تعط مهزولا ولا تأخذ سمينا. وقال إبراهيم والنخعى والضحاك:لا تعط زيفا وتأخذ جيدا.وقال السدى: كان أحدهم يأخذ الشاة السمينة من غنم اليتيم, ويجعل مكانها الشاة المهزولة ويقول: شاة بشاة, ويأخذ الدرهم الجيد ويطرح مكانه الزيف ويقول درهم بدرهم
Di sini Ibnu Katsir menggunakan bentuk bi al-ma'tsur. Beliau ketika menafsirkan penggalan ayat tersebut langsung merujuk riwayat dari al-Tsauri, Sa'id bin Jubair, Sa'id bin al-Musayyab dan lain-lain. Sehingga seakan-akan beliau tidak punya pendapat sendiri tentang hal tersebut.
Hal inilah yang membedakan antara bentuk bi al-ma'tsur dengan bentuk bi al-ra'y. Tafsir yang menggunakan bentuk bi al-ma'tsur sangat tergantung dengan riwayat. Tafsir ini akan tetap ada selama riwayat masih ada. Berbeda dengan tafsir bi al-ra'y yang akan selalu berkembang dengan perkembangan zaman.
Adapun mengenai metode yang digunakan tafsir Jalalain menggunakan metode Ijmali (global). Sebagaimana diungkapkan oleh al-Suyuthi bahwa beliau menafsirkan sesuai dengan metode yang dipakai oleh al-Mahalli yakni berangkat dari qoul yang kuat, I'rab lafadz yang dibutuhkan saja, perhatian terhadap Qiraat yang berbeda dengan ungkapan yang simpel dan padat serta meninggalkan ungkapan-ungkapan bertele-tele dan tidak perlu.
Mufasir yang menggunakan metode ini biasanya menjelaskan ayat-ayat al-Qur'an secara ringkas dengan bahasa populer dan mudah dimengerti. Ia akan menafsirkan al-Qur'an secara sistematis dari awal hingga akhir. Di samping itu, penyajiannya diupayakan tidak terlalu jauh dari gaya (uslub) bahasa al-Qur'an, sehingga penbengar dan pembacanya seakan-akan masih tetap mendengar al-Qur'an, padahal yang didengarnya adalah tafsirnya.
Berbeda dengan metode yang digunakan oleh Ibnu Katsir sebagaimana terlihat dalam contoh. Dari contoh tersebut Ibnu Katsir menggunakan metode Tahlili (analitis). Perbedaannya terletak pada terget yang ingin dicapai. Jika yang diinginkan adalah hanya untuk mengetahui makna kosa kata, tidak memerlukan uraian yang luas, maka cukup menggunakan metode Ijmali seperti Tafsir Jalalain. Tetapi jika target yang ingin dicapai adalah suatu penafsiran yang luas tetapi tidak menuntaskan pemahaman yang terkandung dalam ayat secara komprehensif, maka metode yang cocok adalah metode Tahlili (analitis), sebagaimana tafsirnya Ibnu Katsir.
Corak penafsiran ialah suatu warna, arah, atau kecenderungan pemikiran atau ide tertentu yang mendominasi sebuah karya tafsir. Jadi kata kuncinya adalah terletak pada dominan atau tidaknya sebuah pemikiran ide tersebut. Bila sebuah kitab tafsir mengandung banyak corak (minimal tiga corak) dan kesemuanya tidak ada yang dominan karena porsinya sama, maka inilah yang disebut corak umum.
Adapun tafsir Jalalain karena uraiannya sangat singkat dan padat dan tidak tampak gagasan ide-ide atau konsep-konsep yang menonjol dari mufasirnya, maka jelas sekali sulit untuk memberikan label pemikiran tertentu terhadap coraknya. Karena itu pemakaian corak umum baginya terasa sudah tepat kerena memang begitulah yang dijumpai dalam tafsiran yang diberikan dalam kitab tersebut. Itu artinya bahwa dalam tafsirnya tidak didominasi oleh pemikiran-pemikiran tertentu melainkan menafsirkan ayat-ayat al-Qur'an sesuai dengan kandungan maknanya.

4. Karakteristik Tafsir Jalalain
Kitab ini terbagi atas dua juz. Juz yang pertama berisi tafsir surat al-Baqarah sampai surat al-Isra' yang disusun oleh Jalaluddin al-Suyuthi, sedangkan juz yang kedua berisi tafsir surat al-Kahfi sampai surat al-Naas ditambah dengan tafsir surat al-Fatihah yang disusun oleh Jalaluddin al-Mahalli.
Untuk mengetahui karakteristik tafsir ini perlu diperbandingkan dengan tafsir lain yang bercorak sama. Berikut disuguhkan perbandingan dengan Tafsir Marah Labid karya Nawawi al-Bantani dan juga Tafsir al-Baidhowi karya Imam Baidhowi.
• (وما يخادعون إلا أنفسهم) لأن وبال خداعهم راجع اليهم فيفتضحون فى الدنيا باطلاع الله نبيه على ما ابطنوه ويعاقبون فى الأخرة (وما يشعرون) يعلمون أن خداعهم لأنفسهم والمخادعة هنا من واحد كعاقبت اللص وذكر الله فيها تحسين وفى قرأة وما يخدعون
• (وما يخدعون) أى يكذبون (إلا أنفسهم) وهذه الجملة حال من ضمير يخادعون أى يفعلون ذلك والحال أنهم ما يضرون بذلك الا أنفسهم فان دائرة فعلهم مقصورة عليهم وقرأ عاصم وابن عمر وحمزة والكسائ وما يخدعون بفتح الياء وسكون الخاء وفتح الدال وقرأ الباقون بضم الياء وفتح الخاء مع المد وكسرالدال ولا خلاف فى قوله يخادعون الله فالجميع قرأ بضم الياء وفتح الخاء وبالألف بعدها وكسرالدال وأما الرسم فبغير ألف فى الموضعين (وما يشعرون) أن الله يطلع نبيه على كذبهم
• (وما يخادعون إلا أنفسهم) قرأة نافع وابن كثير وأبى عمر والمعنى ان دائرة الخداع راجعة اليهم وضررها يحيق بهم أو أنهم فى ذلك خدعوا أنفسهم لما غروها بذلك وخدعتهم أنفسهم حيث حدثتهم بالأماني الفازعة وحملتهم على مخادعة من لا يخفى عليه خافية وقرأ الباقون وما يخدعون لان المخادعة لا تتصور الا بين اثنين وقرئ ويخدعون من خدع ويخدعون بمعنى يختدعون ويخدعون ويخادعون على البناء للمفعول ونصب أنفسهم بنزع الخافض والنفس ذات الشيء وحقيقة ثم قيل للروح لان النفس الحي به وللقلب لانه محل الروح أو متعلقة وللدم لان قوامها به وللماء لفرط حاجتيا اليه وللرأى فى قولهم فلان يؤامر نفسه لانه ينبعث عنها أو يشبه ذاتا مرة وتشير عليه والمراد بالانفس ههنا ذواتهم ويحتمل حملها على أرواحهم وآرائهم (وما يشعرون) لا يحسون بذلك لتمادى غفلتهم جعل لحوق و بال الخداع ورجوع ضرره اليهم فى الظهو وكالمحسوس الذى لا يخفى الا على مؤوف الحواس والشعور الاحساس ومشاعرالانسان حواسه وأصله الشعر ومنه الشعار
Salah satu sisi yang ditampilkan dari ketiga contoh di atas adalah masalah Qira'at. Tetapi jika dilihat lebih lanjut terjadi perbedaan dalam penyajiannya. Jika dibandingkan dengan kedua tafsir di bawahnya, pembahasan yang ada dalam Tafsir Jalalain lebih ringkas, bahkan cenderung sepintas lalu. Rupanya Suyuthi tidak mau terjebak dalam pembicaraan yang bertele-tele, cukup hanya dengan menunjukkan adanya perbedaan qira'at. Sebagaimana yang ia sampaikan dalam muqaddimahnya.
Dari sini dapat disimpulkan bahwa karakteristik Tafsir Jalalain jika dibandingkan dengan tafsir lain yang bercorak sama adalah ungkapannya yang simpel dan padat dengan gaya bahasa yang mudah. Tujuannya adalah agar dapat dicerna dengan mudah oleh para pembaca tafsir. Hingga pantaslah kalau ada yang mengatakan bahwa antara al-Qur'an dengan tafsirannya hampir sama.
Bahkan, menurut pengarang kitab Kasyf al-Dzunun, ada sebagian ulama Yaman yang mengatakan bahwa hitungan huruf al-Qur'an dengan tafsirannya sampai surat al-Muzzammil adalah sama. Baru pada surat al-Muddatstsir dan seterusnya tafsir ini melebihi al-Qur'an.
Yang menarik dari kitab ini adalah penempatan tafsir Surat al-fatihah yang diletakkan paling akhir. Kedua mufassir juga tidak berbicara tentang basmalah sebagaimana tafsir-tafsir lainnya. Tidak ada keterangan yang menyebutkan tentang alasan tidak ditafsirkannya basmalah. 

C. Penutup
Budaya tafsir-menafsir merupakan bagian dari peradaban Islam. Budaya ini yang menjadikan intelektual Islam menjadi terangkat namanya dalam kancah internasional. Salah satu tafsir yang populer di Indonesia adalah tafsir Jalalain. Tafsir ini begitu populernya, sehingga hukumnya "wajib" mengkaji tafsir ini di kalangan pesantren. Kesemuanya itu tak terlepas dari isi tafsir itu sendiri yang isinya singkat dan padat serta para mufasirnya yang begitu karismatik.

DAFTAR PUSTAKA
Amin, Ghofur Saiful , Profil Para Mufasir al-Qur'an, Yogyakarta, Puataka Insan Madani, 2008.

Baidan, Nashruddin, Metode Penafsiran Al-Qur'an, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2002.

, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2005.

Al-Baidhowi, Abdullah bin 'Umar bin Muhammad , Tafsir al-Baidhowi, jilid I, Beirut, Dar Shadir, t.th.

Al-Dimasyqy, Ibnu Katsir , Tafsir al-Qur'an al-'Adzim, juz 1, Beirut, Maktabah al-Nur al-Ilmiah,1991.

Al-Dzahabi, Muhammad Husain , al-Tafsir wa al-Mufassirun, juz 1, Beirut, 1976.

Jalaluddin al-Suyuthi dan Jalaluddin al-Mahalli, Tafsir al-Qur'an al-'Adzim, Dar Ihya' al-Kutub al-'Arabiyah, t.th.

Nawawi al-Jawi, Muhammad , Marah Labid, Dar Ihya al-Kutub al-'Arabiyah, t.th.

Al-Qusthunthonni, Mushtafa bin Abdillah , Kasyf al-Dzunun, juz 1, Beirut, Dar al-Kutub al-'Ilmiyah, 1992.