-

Selasa, 13 Juli 2010

makna dasar dan makna relasional shalawat


MAKNA DASAR DAN MAKNA RELASIONAL DALAM SHALAWÂT

            Setelah pada bab sebelumnya diidentifikasi ayat-ayat yang berkaitan dengan shalawât, pada bab ini akan dibahas tentang makna dasar dan makna relasional yang terkandung dalam terminologi shalawât berdasarkan klasifikasi ayat-ayat tersebut.
            Ditinjau dengan model semantiknya Izutsu, terminologi shalawât dalam al-Qur’an secara umum memiliki makna dasar dan makna relasional. Makna dasar, sebagaimana diungkap oleh Toshihiko Izutsu, adalah sesuatu yang melekat pada kata yang selalu terbawa di manapun kata itu diletakkan. Sedangkan makna relasional adalah sesuatu yang konotatif yang diberikan dan ditambahkan pada makna yang sudah ada dengan meletakkan kata itu pada posisi khusus dalam bidang khusus dengan relasi yang berbeda.[1]
A.      Makna Dasar Shalawât
Shalawât mempunyai makna dasar penghubung (al-washâlah), sesuai yang diungkapkan oleh al-Biqâ`î.[2] Sebagai sebuah penghubung maka untuk mengetahui makna relasionalnya haruslah diketahui subyek (pelaku) dan obyek (sasaran/tujuan) yang dihubungkan. Setelah diketahui dengan jelas subyek dan obyeknya maka akan tampak makna-makna yang melingkupi makna dasar tersebut.

B.       Makna Relasional Shalawât
Sebelum menjelaskan tentang makna relasionalnya, maka terlebih dahulu akan disebutkan pelaku-pelaku (subyek) yang terlibat serta siapa saja yang menjadi tujuan (obyek). Paling tidak, dengan mengacu pada ayat-ayat shalawât sebelumnya, ada empat pelaku yang terkait dengan shalawât itu sendiri, yaitu: Allah, malaikat, Nabi dan manusia. Sedangkan sasaran dari shalawât paling tidak ada tiga, yaitu: Allah, Nabi dan manusia.
Dari sudut pandang di atas, maka akan ditemukan makna relasional shalawât di mana jumlahnya ada empat. Keempat makna tersebut adalah; (1) rahmat, (2) istighfâr, (3) doa, dan (4) ibadah.
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dari gambar berikut ini











III.   1. Makna Dasar dan Makna Relasional Shalawât

1.         Rahmat
Pelaku (subyek) dalam konteks ini adalah Allah, sedangkan sasaran (obyek) yang dituju adalah orang-orang mukmin. Maksudnya adalah Allah memberikan shalawât-nya kepada orang mukmin. Dalam konteks ini shalawât yang bermakna dasar sebagai penghubung, terkait dengan subyek dan obyek, maka akan ditemukan makna relasionalnya yaitu rahmat. Konsep shalawât sebagai rahmat telah ditunjukkan oleh ayat tersebut dengan penyebutan kata rahmah setelah lafadz shalawât (lihat ayat shalawât yang pertama, ayat 157 dari surat al-Baqarah). Makna rahmat merupakan makna yang tepat mengingat subyeknya adalah Allah sebagai Dzat yang tertinggi.
Pemaknaan shalawât sebagai sebuah rahmat akan memunculkan relasi-relasi makna baru dalam medan-medan khusus semantik yang dilingkupi oleh terminologi rahmat. Atau dengan kata lain makna rahmat akan berperan sebagai atmosfir yang menyelubungi medan-medan khusus tersebut. Gambar berikut ini akan memperjelas keadaan medan-medan khusus tersebut:


Oval: Hidâyah, maghfirah, tsanâ`, berkah, ta`zhîm, ikhrâj, nûr, dll.

Sabar, ikhlas, dzikir, tasbîh (menyucikan Allah), dll.                             


manusia

rahmat



III.2. Medan-medan Khusus dalam Makna Relasional “Rahmat”
Rahmat dalam medan khusus di atas sangat terkait dengan hidâyah, maghfirah/ampunan, berkah, tsanâ` (pujian), ta`zhîm (pengagungan)[3], ikhrâj (mengeluarkan dari kegelapan), nûr (cahaya Islam)[4], dan lain-lain. Hidâyah, misalnya, merupakan bentuk rahmat yang dimiliki oleh Allah sebagai hak prerogatif-Nya untuk diberikan kepada siapa saja yang Dia kehendaki. Hidayâh adalah salah satu medan khusus yang dilingkupi oleh rahmat, sesuai dengan penggunaan kata muhtadûn pada akhir ayat 157 dari surat al-Baqarah. Implikasinya, hidâyah merupakan salah satu bentuk makna relasional dari shalawât.
Begitu juga dengan maghfirâh, ikhrâj, berkah dan yang lainnya. Semuanya terkait dengan makna rahmat yang diberikan oleh Dzat yang tertinggi kepada yang lebih rendah kedudukannya. Dalam ayat 43 surat al-Ahzâb, misalnya, rahmat Allah sangat terkait dengan konsep ikhrâj maupun nûr. Ayat tersebut menjelaskan bahwa tujuan Allah memberikan shalawât, dalam hal ini rahmat, adalah untuk mengeluarkan (ikhrâj) ataupun menjauhkan orang-orang mukmin dari kegelapan menuju cahaya (nûr) terang yaitu Islam. Hal ini tidak menjadi masalah, karena yang berwenang untuk melakukan ikhrâj dan memberi nûr hanyalah Allah. Dengan demikian tidak melenceng dari konsep shalawât sebagai rahmat yang sepenuhnya merupakan hak prerogatif Allah.
Selain itu, rahmat Allah juga terkait dengan medan-medan khusus yang lain terkait dengan kriteria manusia yang akan diberikan rahmat. Di antara medan-medan khusus tersebut adalah sabar, ikhlas (ayat 155 dan 157 dari surat al-Baqarah), dzikir, tasbîh (ayat 41 dan 42 dari surat al-Ahzâb), dan lain sebagainya. Jika dilihat dalam gambar, hal ini terdapat pada lingkaran rahmat dibawah garis.

2.         Istighfâr
Dalam konteks shalawât adalah istighfâr, pelaku (subyek) yang terlibat adalah malaikat dan Nabi, sedangkan sasaran (obyek) yang  ingin dituju adalah manusia. Maksudnya adalah malaikat begitu juga Nabi Muhammad ber-shalawât untuk manusia. Dalam hal ini, penulis menggabungkan malaikat dan Nabi sebagai subyek yang sama dengan obyek yang sama pula karena ditemukan makna relasional yang sama yaitu istighfâr. Paling tidak ada tiga ayat al-Qur’an yang menjelaskan bahwa shalawât yang makna dasarnya adalah penghubung mempunyai makna dasar istighfâr. Ketiga ayat tesebut adalah ayat 43 dari surat al-Ahzâb, ayat 56 dari surat al-Ahzâb dan ayat 103 dari surat al-Taubah.
Ayat 43 surat al-Ahzâb menerangkan bahwa selain Allah memberikan shalawât-Nya untuk orang-orang mukmin, para malaikat pun melakukan hal yang sama tetapi dalam substansi yang berbeda, yakni istighfâr. Jika dilihat dari konteks turunnya ayat, maka shalawât dari malaikat adalah sesuatu yang sangat diharapkan oleh para sahabat, sampai Abû Bakar merasa “iri” dengan shalawât yang telah diberikan oleh Rasul.[5]
Menurut al-Râzî, meskipun ayat ini menggunakan shîghat mukhâthab jama` yakni dengan menggunakan lafadz `alaikum, ayat ini tidak dikhususkan untuk penduduk yang mendengarkan wahyu pada saat pertama kali ayat ini turun. Ayat ini lebih bersifat umum, yakni dapat diterapkan kepada semua orang mukmin kapan saja sesuai dengan nash ayat yang menggunakan kata al-mu’minîn.[6] Maka konsekuensinya, malaikat tidak berhenti memberikan shalawât pada generasi Nabi maupun sahabat saja, tetapi malaikat akan selalu memberikan shalawât-nya atau memohonkan ampunan kepada orang-orang mukmin sampai datangnya Hari Akhir. Hampir sama dengan ayat 43, ayat 56 dari surat al-Ahzâb juga menerangkan bahwa malaikat akan ber-shalawât kepada Nabi.
Malaikat akan ber-shalawât kepada orang yang selalu berdzikir dan ber-tasbîh. Hal ini dapat dilihat dari korelasi ayat 43 surat al-Ahzâb dengan ayat 41 dan 42 dari surat al-Ahzâb). Selain itu, malaikat juga akan memberikan shalawât kepada orang-orang yang bertaubat (lihat ayat 7 dari surat Ghâfir). Dalam kesempatan lain, malaikat juga akan ber-shalawât kepada Nabi Muhammad secara khusus. Selain bermakna sebagai istighfâr, shalawât malaikat untuk Nabi juga mengandung medan khusus yakni ta’zhîm (penghormatan).
Sedangkan dalam surat al-Taubah ayat 103, Nabi (sebagai subyek) memberikan shalawât kepada orang-orang mukmin yang mencampuradukkan kebaikan dengan kebatilan yang pada akhirnya menyesal dan bertobat. Tujuan Nabi ber-shalawât untuk mereka adalah untuk menentramkan (sakan) jiwa-jiwa mereka yang sedang dilanda kegelisahan akibat dari kesalahan yang mereka lakukan.
Dari keterangan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa konsep dzikir, tasbîh, taubat, ta`zhîm, sakan (ketentraman), dan lain-lain merupakan medan-medan khusus yang dilingkupi oleh makna relasional istighfâr. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dari gambar di bawah ini:



Tuhan

                             


manusia




III.3. Medan-medan Khusus dalam Makna Relasional “Istighfâr

Gambar di atas menjelaskan bahwa, terminologi istighfâr sangat terkait dengan Tuhan. Hal ini dikarenakan makna dari istighfâr itu sendiri adalah permohonan ampunan. Sedangkan yang mempunyai ampunan hanyalah Allah.
Lebih lanjut, medan-medan khusus yang terletak dalam atmosfir istighfâr merupakan penunjang untuk melihat pesan yang ingin disampaikan al-Qur’an melalui shalawât dalam konteks di atas. Taubat dan dzikir misalnya, seolah-olah merupakan syarat bagi orang mukmin agar mendapatkan shalawât dari malaikat (dan Nabi). Demikian juga raja’ (pengharapan) dan sakan (ketentraman) yang merupakan suplemen penting dalam konsep istighfâr.

2.         Doa
Dalam konteks shalawât adalah doa, pelaku (subyek) dan sasaran (obyek)-nya adalah sama yaitu manusia. Manusia yang dimaksud terbagi menjadi dua yaitu Nabi Muhammad dan orang mukmin. Dalam al-Qur’an sendiri minimal ada tiga ayat yang menjelaskan bahwa Nabi ber-shalawât untuk orang mukmin dan orang mukmin ber-shalawât untuk Nabi. Ketiga ayat tersebut adalah ayat 99, ayat 103 dari surat al-Taubah dan ayat 56 dari surat al-Ahzâb. Ketiga ayat ini, jika dilihat dari subyek dan obyeknya, mengindikasikan adanya kesamaan makna relasional yakni sebagai doa.
Dalam surat al-Taubah ayat 99 diterangkan bahwa shalawât Nabi adalah sesuatu yang sangat diharapkan. Orang-orang mukmin yang keimanannya sempurna berbondong-bondong mengulurkan zakat dan shadaqah melalui Rasulullah dengan tujuan untuk mendekatkan diri (qurbah) kepada Allah dan mendapatkan shalawât atau doa dari Rasul. Melalui doa dari Rasul inilah, keinginan dan harapan akan cepat diterima (maqbûl) mengingat kedudukan Rasul sebagai manusia yang paling tinggi derajatnya.
Sedangkan ayat 103 dari surat al-Taubah, shalawât selain bermakna sebagai istighfâr juga bermakna sebagai doa. Hal ini terkait dengan kondisi kaum (waktu itu) yang sering melakukan kesalahan kemudian bertobat. Doa Nabi kepada mereka bertujuan untuk mengubah keadaan atau kondisi mereka agar lebih baik dari keadaan sebelumnya.
Lebih lanjut, dalam ayat 56 surat al-Ahzâb selain berisi tentang shalawât Allah dan malaikat untuk Nabi juga berisi perintah kepada manusia untuk ber-shalawât kepada Nabi. Subyeknya adalah orang mukmin sedangkan obyeknya adalah Nabi. Secara umum shalawât manusia untuk Nabi berarti doa untuk beliau. Meskipun demikian shalawât untuk Nabi selalu terkait dengan penghormatan. Wajar jika pada akhir ayat ditutup dengan lafadz taslîman.
Dari pembahasan di atas secara implisit tampak medan-medan semantik khusus yang dilingkupi oleh makna relasional doa. Medan-medan tersebut di antaranya; taubat, zakat, shadaqah, qurbah, qabûl, taghayyur (perubahan), salâm (penghormatan). Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dari gambar berikut:




                             


manusia




III.   4. Medan-medan Khusus dalam Makna Relasional “Doa”

Gambar di atas menjelaskan bahwa salah satu cara pendekatan (qurbah) adalah dengan doa. Selain itu doa seorang mukmin kepada mukmin lainnya menggambarkan penghormatan mukmin tersebut kepada mukmin lainnya, apalagi doa seorang mukmin kepada Nabi. Sedangkan taghayyur adalah proses yang melingkupi sebuah doa (lihat ayat 11 surat al-Ra`d). Medan-medan inilah yang dilingkupi oleh makna relasional doa.

3.         Ibadah
Pelaku (subyek) yang terlibat dalam hal ini adalah manusia, sedangkan sasaran (obyek) yang hendak dituju adalah Tuhan/Allah. Maksudnya adalah manusia ber-shalawât untuk Tuhan. Penghubung (al-washâlah) sebagai makna dasar shalawât, jika subyeknya manusia dan obyeknya adalah Tuhan, maka mempunyai makna relasional ibadah. Salah satu cara berhubungan antara manusia dengan Tuhan adalah dengan beribadah.
Dalam beribadah tentunya akan membutuhkan suatu tempat dan tata cara. Tata cara dalam ibadah membutuhkan juga rukun dan syarat. Inilah yang kemudian dinamakan shalat.[7] Sedangkan tempat ibadah, seperti disinggung dalam surat al-Hajj ayat 40, paling tidak ada empat macam, yaitu: Shawâmi` (biara), biya` (gereja), shalawât (sinagog) dan masâjid (masjid). Selain itu, dalam beribadah juga setidaknya mempunyai konsep tawâdlu` (rendah diri), inqiyâdz (tunduk), khusyu` dan lain-lain.[8]



                             


shalawât







III.   5. Medan-medan Khusus dalam Makna Relasional “Ibadah”
Dari gambar di atas dapat diketahui bahwa medan makna ibadah akan menjadi sebuah atmosfir yang melingkupi konsep-konsep (medan-medan khusus) tersebut. Medan-medan khusus tersebut di antaranya shalat, sinagog, shawâmi`, biya`, masjid, tawâdlu`, khusyû`, inqiyâdz dan lain-lain.
Penyebutan sinagog, gereja, biara dan masjid mengindikasikan bahwa tempat-tempat ibadah ini merupakan sarana untuk beribadah kepada Tuhan. Tidak hanya orang Islam saja yang membutuhkan sarana dalam beribadah, tetapi orang Nasrani dan Yahudi pun membutuhkannya. Hal ini dikarenakan ketiga agama tersebut merupakan agama langit (samâwî) yang mempunyai sumber yang sama.
Garis horisontal antara manusia dengan Tuhan menggambarkan bahwa seakan-akan jika manusia melakukan peribadahan dengan khusyû`, maka akan timbul perasaan bahwa dirinya dengan Tuhan menyatu. Tetapi tidak berarti bahwa kedudukannya dengan Tuhan adalah sejajar atau sama.
Namun yang  perlu diperhatikan adalah sikap rendah diri (tawâdlû`) dan sikap ketundukan (inqiyâdz) dalam beribadah. Kedua sikap inilah yang akan membentengi diri dari sikap sombong (takabbur). Agaknya medan-medan inilah yang menjadi pesan dalam kaitannya dengan shalawât sebagai ibadah.
Jika digabung secara keseluruhan, maka medan-medan khusus tersebut akan membentuk medan-medan semantik shalawât seperti yang tergambar dalam skema di bawah ini:
































III.   6. Medan-medan Semantik dalam Shalawât



Secara umum model semantik yang digagas oleh Izutsu lebih menekankan pentingnya keterpaduan konsep-konsep individual yang tercakup dalam suatu makna dasar. Sehingga dengan demikian akan dapat ditemukan hubungan yang saling bergantung dan menghasilkan makna yang konkrit. Hal inilah yang kemudian dinamakan dengan dunia makna (Weltanschauung) yang akan dibahas pada bab selanjutnya.


                [1] Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia: Pendekatan Semantik Terhadap al-Qur’an, ter. Agus Fahri Husein, dll (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1997), h. 12.
[2] Ibrâhîm ibn `Umar al-Biqâ`î, Nazhm al-Durar fî Tanâsub al-Âyât wa al-Suwar, juz 4 (Beirut: Dâr al-Maktabah al-`Ilmiyyah, t.th), h. 136.
[3] Lihat QS. al-Ahzâb: 56.
[4] Lihat QS. al-Ahzâb: 43.
[5] Abû al-Hasan `Alî ibn Ahmad al-Wâhidî, Asbâb al-Nuzûl, (Beirut: Dâr al-Kutub al-`Ilmiyah, 1991), h. 376.
[6] Fakhruddîn al-Râzî, al-Tafsîr al-Kabîr, jilid 13 (Beirut: Dâr al-Kutub al-`Ilmiyah, 1990), h. 196.
[7] Dalam hal ini shalawât yang dibahas tidak mencakup ibadah shalat yang mempunyai ketentuan-ketentuan.
[8] Lihat QS. al-Mu’minûn: 2.

Rabu, 20 Januari 2010

kisah dalam al-qur'an

Qashashul Qur’an (Kisah-Kisah Dalam Al-Qur’an)

A. Pendahuluan
Sebagai produk wahyu, kisah-kisah dalam al-Qur’an tentu saja berbeda dengan cerita atau dongeng umumnya, karena karateristik yang terdapat dalam masing-masing kisah. Fenomena kisah-kisah dalam al-Qur’an yang diyakini kebenarannya sangat erat kaitannya dengan sejarah. Hal ini dapat dilihat bagaimana al-Qur’an secara eksplisit berbicara tentang pentingnya sejarah, sebagaimana tertera dalam QS. Ali Imran (3): 140, “Dan masa kejayaan dan kehancuran itu, Kami pergilirkan di antara manusia”.
Telah diyakini bahwa al-Qur’an berisi petunjuk bagi manusia. Ajaran-ajarannya disampaikan secara variatif serta dikemas sedemikian rupa. Ada yang berupa informasi, perintah dan larangan, dan ada juga yang dimodifikasi dalam bentuk deskripsi kisah-kisah yang mengandung ‘ibrah, yang dikenal dengan istilah “Kisah-kisah dalam al-Qur’an”.
Selanjutnya dalam makalah ini akan dibahas tentang pengertian kisah, tujuan kisah, relevansi kisah dengan sejarah, macam-macam kisah, hikmah pengulangan kisah, Ibrah penggunaan nama dan gelar dalam al-Qur’an, kandungan kisah, serta pertalian kisah dengan hajat hidup manusia.

B. Pembahasan
Pengertian Kisah
Menurut bahasa kata Qashash jamak dari Qishah, artinya kisah, cerita, berita atau keadaan. Sedangkan menurut istilah Qashashul Qur’an ialah kisah-kisah dalam al-Qur’an tentang para Nabi dan Rasul mereka, serta peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa lampau, masa kini, dan masa yang akan datang.
Berdasarkan pengertian itu, maka kita dapat berkata, bahwa kisah-kisah yang dimuat dalam al-Qur’an semuanya cerita yang benar-benar terjadi, tidak ada cerita fiksi, khayal, apalagi dongeng. Jadi bukan seperti tuduhan sebagaian kaum orientalis bahwa dalam al-Qur’an ada kisah yang tidak cocok dengan fakta sejarah.
Tujuan Kisah-kisah dalam al-Qur’an
Perbedaan antara kisah-kisah yang terdapat dalam al-Qur’an dengan kisah-kisah lain terletak pada maksud dan tujuan dasar diceritakannya kisah-kisah tersebut. Adapun tujuan kisah dalam al-Qur’an hampir mencakup seluruh tujuan pokok yang merupakan objek utama diturunkannya al-Qur’an. Di antara tujuan-tujuan tersebut adalah sebagai berikut:
1. Sebagai bukti dan penguat kebenaran wahyu serta risalah.
Adanya kisah-kisah dalam al-Qur’an menunjukkan bahwa apa yang dibawa oleh Muhammad SAW adalah benar, karena berasal dari suatu sumber yang gaib (Allah). Karena tidaklah mungkin seorang yang Ummiy dapat menceritakan kisah-kisah yang terjadi pada masa lampau.
2. Menjelaskan dasar-dasar dakwah agama Allah dan menjelaskan dasar-dasar syariat yang disampaikan oleh para Nabi.
3. Memantapkan hati Rasulullah SAW dan Umatnya dalam mengamalkan agama Allah dan menguatkan kepercayaan orang-orang mukmin tentang pertolongan yang Maha Benar dan rusaknya orang-bathil dan pengikutnya.
4. Menanamkan akhlakul karimah dan budi yang baik.
5. Menarik perhatian para pendengar yang diberikan pelajaran kepada mereka.
6. Mengritik para Ahli Kitab terhadap keterangan-keterangan yang mereka sembunyikan tentang kebenaran Nabi Muhammad dengan mengubah isi kitab mereka. Karena itu al-Qur’an menantang mereka agar mengemukakan kitab Taurat dan membacanya jika mereka benar, seperti tercantum dalam ayat 93 dari Ali Imran , yang artinya :”Semua makanan adalah halal bagi Bani Israil (anak cucu atau keturunan Nabi Ya’qub) kecuali makanan yang diharamkan oleh Israil (Ya’qub) untuk dirinya sendiri sebelum Taurat diturunkan. Katakanlah [(Hai Muhammad) jika kamu mengatakan ada makanan yang diharamkan sebelum Taurat], maka bawalah Taurat itu (ke sini) lalu bacalah, jika kamu benar”.

Relevansi Kisah dengan Sejarah
Kisah-kisah dalam al-Qur’an tentu saja tidak dapat dianggap semata-mata sebagai dongeng. Apalagi al-Qur’an adalah kitab suci yang berbeda dengan bacaan lainnya. Memang sering timbul perdebatan, apakah kisah kisah tersebut benar-benar memiliki landasan historis atau sebaliknya, sebagai kisah yang ahistoris.
Dalam kaitannya dengan relevansi kisah dengan sejarah, seperti dinyatakan oleh Muhammad Chirzin, paling tidak ada empat poin yang perlu diperhatikan. Pertama, kisah kisah dalam al-Qur’an itu memiliki realitas yang diyakini kebenarannya, termasuk peristiwa yang ada di dalamnya. Ia bagian dari ayat-ayat yang diturunkan dari sisi yang Maha Tahu dan Maha Bijaksana.
Kedua, kisah-kisah dalam al-Qur’an dimaksudkan sebagai sarana untuk mewujudkan tujuannya yang asli yaitu tujuan keagamaan yang menyiratkan adanya kebenaran, pelajaran dan peringatan.
Ketiga, al-Qur’an tidak menceritakan kejadian dan peristiwa secara kronologis dan tidak memaparkannya secara terperinci. Hal ini dimaksudkan sebagai peringatan tentang berlakunya hukum Allah dalam kehidupan sosial serta pengaruhnya baik dan buruk dalam kehidupan manusia.
Keempat, sebagian kisah dalam al-Qur’an merupakan petikan sejarah yang bukan menyalahi sejarah, karena pengetahuan sejarah adalah sangat kabur dan penemuan-penemuan arkeologi sangat sedikit untuk mengungkap kisah dalam al-Qur’an dalam kerangka pengetahuan modern.
Macam-Macam Kisah dalam Al-Qur’an
Kisah-kisah dalam al-Qur’an terbagi dalam tiga macam, yaitu:
1. Kisah-kisah para Nabi, yang di dalamnya memuat tentang dakwah para Rosul kepada kaumnya, mu’jizat-mu’jizat yang telah diberikan oleh Allah kepadanya, situasi para penentang-penentangnya, tempat-tempat dakwah dan perkembangannya serta balasan bagi orang-orang yang beriman dan orang-orang yang berdusta. Seperti kisah Nuh, Ibrahim, Musa, Harun, ‘Isa, Muhammad dan lainnya dari para Nabi dan Rosul.
2. Kisah-kisah al-Qur’an yang berhubungan dengan kejadian-kejadian masa lampau dan orang-orang yang tidak dijelaskan secara pasti kenabiannya. Seperti kisah Thalut, Jalut, putera-putera Adam, Ashabul Kahfi, Dzul Qarnain, Ashabus Sabti, Maryam, Ashabul Fiil dan lain sebagainya.
3. Kisah-kisah yang berhubungan dengan kejadian yang terjadi pada zaman Rosulullah SAW. Sepeti perang Badar, perang Uhud (dalam surat Ali ‘Imran), perang Hunain dan perang Tabuk (dalam surat Attaubah), perang Ahzab (dalam surat al-Ahzab), Hijrah, Isra’ dan lain sebagainya.
Hikmah Pengulangan Kisah
Termasuk salah satu fenomena yang jelas terlihat dari kisah-kisah yang terdapat dalam al-Qur’an adalah pengulangan satu kisah secara berkali-kali di banyak tempat dalam al-Quran. Tentunya dalam pengulangan tersebut mengandung beberapa hikmah, yang di antaranya :
1. Pengulangan tersebut terjadi karena adanya beberapa tujuan agama yang terdapat dalam satu kisah. Oleh karena itulah, terkadang satu kisah disebutkan pada tempat tertentu untuk maksud dan tujuan tertentu dan kisah yang sama disebutkan di tempat lain untuk maksud dan tujuan yang lain pula.
2. Menerangkan Kebalaghahan al-Qur’an dalam tingkatan yang tertinggi. Termasuk dari kekhususan balaghah adalah menampakkan satu makna dalam bentuk yang berbeda-beda. Tetapi dari pengulangan kisah tersebut tidak menjadikan bosan bagi manusia.
3. Kuatnya I’jaz. Karena mendatangkan satu makna dalam bentuk yang berbeda-beda, serta lemahnya orang Arab untuk mendatangkan bentu semisalnya, adalah lebih keras dalam penentangan.
4. Akan mendorong umat untuk melakukan penyelidikan tentang kisah-kisah tersebut. Dengan begitu maka akan lahir upaya yang kontinyu demi mencari kebenaran tentang peristiwa yang terjadi. Inilah cikal bakal lahirnya penyelidikan ilmiah (research),yang akan membuat kehidupan makin baik dan modern.


Ibrah Penggunaan Nama dan Gelar dalam Al-Qur’an
Dalam mengungkapkan kisah peristiwa-peristiwa yang sudah dan akan terjadi, al-Qur’an menyebutkan beberapa pelaku atau tokoh dari suatu peristiwa. Terkadang pelaku peristiwa tidak disebutkan secara langsung dalam al-Qur’an, tetapi hanya secara maknawi, terutama kisah-kisah yang pelakunya secara kolektif, maka hanya disebutkan secara simbolis, seperti :kaum ‘Ad, kaum Luth, Bani Israil, kaum Quraisy dan lain sebagainya.
Adapun Ibrah yang dapat diambil manfaatnya dari penggunaan nama dan gelar tokoh adalah kita dapat mencontoh kisah-kisah kehidupan para nabi, orang-orang yang beriman dan beramal saleh. Dan dengan disebutkannya beberapa tokoh peristiwa sebagaimana yang terdapat dalam al-Qur’an , menjadikan kita lebih mudah mengingat kisah-kisah tersebut, selain itu akan memudahkan kita dalam memahami maksud dan tujuan al-Qur’an.
Kandungan Kisah
Kisah-kisah dalam al-Qur’an diungkapkan dalam rangka mendidik umat tentang bagaimana cara hidupsebagai khalifah yang diserahi amanah memakmurkan dan membangun kehidupan yang layak bagi umat manusia di mika bumi ini. Dari itu kisah-kisah tersebut berisi materi antara lain: tauhid, akhlak dan mu’amalah.
Sebagai contoh, misalnya tertera dalam ayat 85 dari al-A’raf yang artinya: “Dan (Kami telah mengutus) kepada penduduk Madyan saudara mereka, Syu’aib. Ia berkata: ‘Hai kaumku! Sembahlah Allah. Sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain Dia. Sesungguhnya telah datang kepadamu bukti yang nyata dari Tuhanmu. Maka sempurnakanlah takaran dan timbangan, dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi sesudah Tuhan memperbaikinya. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu betul-betul orang yang beriman”.
Jelas terlihat dalam kisah itu ketiga unsur tadi ( akidah dan ibadah, mu’amalah dan akhlak). Unsur akidah dan ibadah tampak pada seruan Nabi Syu’aib agar umatnya hanya menyembah Allah semata bukan yang lain; sementara unsur muamalah terlihat dari peringatannya agar kaumnya jujur dalam menimbang dan menakar; sedangkan dari segi akhlak mereka dituntut supaya tidak berbuat binasa di mika bumi.

Pertalian Kisah dengan Hajat Hidup Manusia
Seperti yang telah disebutkan bahwa al-Qur’an mempunyai multifungsi, yaitu berfungsi mengokohkan akidahtauhid; dan sekaligus menentramkan jiwa, serta menetapkan pendirian dalam berjuang; bahkan dapat pula berfungsi sebagai penghibur jiwa dan pelipur lara.
Jika demikian halnya, maka eksistensi kisah dalam al-Qur’an mempunyai kaitan yang sangat erat dengan hajat hidup umat manusia; apalagi sejak dulu sampai sekarang tak ada orang yang tak senang terhadap kisah. Kecuali itu kisah dalm al-Qur’an bukan cerita bohong, atau dongeng, melainkan cerita yang benar-benar terjadi. Dengan demikian, bukanlah hal yang aneh, bila kisah-kisah dalam al-Qur’an sangat menarik dan cocok dengan kebutuhan hidup umat manusia di muka bumi ini karena yang menurunkannya adala Allah sendiri pencipta manusia.
Selain itu, jika kisah yang dikarang oleh manusia lebih banyak menunjukkan segi hiburan daripada pelajaran, maka kisah-kisah dalam al-Qur’an sebaliknya, yakni lebih mengutamakan pelajaran, pendidikan dan dakwah daripada tujuan-tujuan yang lain. Berdasarkan kenyatan yang demikian, maka terasa sekali kisah-kisah tersebut bertalian sangat erat dengan hajat hidup manusia di muka bumi ini.

C. Penutup
Kisah-kisah dalam al-Qur’an mempunyai multifungsi, selain berisi pelajaran yang amat berharga, juga berfungsi mengokohkan akidah tauhid; dan sekaligus menentramkan jiwa, serta menetapkan pendirian dalam berjuang; bahkan dapat pula kisah itu berfungsi sebagai penghibur jiwa dan pelipur lara, terutama bila berhadapan dengan tantangan yang keras dari umat dan penolakan mereka.
Selain itu tampak di muka kita bahwa kisah-kisah dalam al-Qur’an betul-betul bertalian dengan kebutuhan hidup umat manusia di dunia ini. Selain itu,jika kisah yang dikarang oleh manusia lebih banyak menunjukkan segi hiburan dari pada pelajaran, maka kisah-kisah dalam al-Qur’an sebaliknya, yakni lebih mengutamakan pelajaran, pendidikan dan dakwah daripada tujuan-tujuan yang lain. Berdasarkan kenyataan yang demikian, maka terasa sekali kisah-kisah tersebut bertalian sangat erat dengan hajat hidup manusia di muka bumi ini.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Syadzali dan Ahmad Rofi’i.,Ulumul Qur’an II, CV. Pustaka Setia, Bandung, 1997.

Mannaa’ al-Qaththaan, Mabaahis fii ‘Uluum al-Qur’an, Riyadh, tanpa tahun.

M. Baqir Hakim, Ulumul Quran, Al-huda, Jakarta, 2006.

Muhammad Chirzin, Al-Qur’an dan Ulumul Qur’an, PT Dana Bhakti Prima Yasa,Yogyakarta, 1998.

Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2005.