-

Minggu, 16 September 2012

Kritik Hadis


Kritik Sanad dan Matan Hadis
oleh Cholid Abdullah

A.  Pendahuluan
Dewasa ini, seringkali ditemukan pihak yang mengambil hadis bukan dari kitab-kitab hadis yang mu’tabarah, dan tidak disertai pula dengan sanad, matan maupun mukharrij al-hadîts secara lengkap. Belum lagi kualitas hadis yang  tidak diketahui secara pasti, namun banyak kalangan yang telah menggunakannya sehingga solah-olah hadis tersebut berkualitas shahih, karena terlanjur populer di kalangan masyarakat.
Hadis Nabi memang terdiri atas dua unsur penting, yakni sanad dan matan. Sanad adalah jalan atau silsilah para periwayat yang menyampaikan materi hadis (matan) dari sumber awalnya (Nabi). Sedangkan matan adalah lafadz atau materi yang mengandung substansi dari hadis tersebut[1], yang disampaikan oleh sanad terakhir, baik berupa sabda Rasulullah, sahabat maupun tabi’in ataupun materi tersebut berupa perbuatan Nabi maupun sahabat yang tidak disanggah oleh Nabi.[2] Kedua unsur ini tidak bisa saling berdiri sendiri jika hadis ingin diteliti kualitasnya ataupun jika ingin menjadikan hadis sebagai hujjah.
Sebuah hadis dapat dijadikan dalil dan argumen yang kuat apabila memenuhi syarat-syarat keshahihan, baik dari segi aspek sanad maupun matan. Syarat-syarat terpenuhinya keshahihan ini sangatlah diperlukan, karena penggunaan atau pengamalan hadis yang tidak memenuhi syarat-syarat tersebut berakibat pada realisasi ajaran Islam yang kurang relevan atau bahkan sama sekali menyimpang dari apa yang diajarkan oleh Rasulullah.[3] Kemudian hal inilah yang mendasari para sarjana muslim dalam bidang hadis untuk menjadikannya sebagai sebuah metode untuk menentukan kualitas hadis yang lebih dikenal dengan kritik hadis (naqd al-hadîs).
Dalam terminologi ilmu hadis istilah kritik tidak berkonotasi negatif, bahkan sebaliknya berkonotasi positif. Aktivitas kritik dalam ilmu hadis dimaksudkan untuk sebagai upaya menyeleksi hadis, sehingga dapat diketahui mana yang shahih dan mana yang tidak shahih.[4] Kritik hadis ini selalu berorientasi pada dua unsur penting di atas, yaitu kritik sanad (naqd al-sanad/kredibilitas perawi) dan kritik matan (naqd al-matn/orisinalitas teks hadis), sebagaimana yang akan dibahas dalam bab selanjutnya.

B.  Pembahasan

Kritik Sanad Hadis
1.    Pengertian kritik sanad (naqd al-sanad) hadis
Kritik sanad hadis adalah upaya untuk meneliti kredibilitas seluruh jajaran perawi hadis dalam suatu jalur sanad, yang meliputi aspek kebersambungan (muttashil), kualitas pribadi dan kapasitas intelektual perawi, serta aspek syâdz dan `illat-nya.[5] Kritik sanad hadis dianggap yang paling urgen dalam meneliti suatau hadis, karena sebuah matan hadis tidak akan pernah dinyatakan berasal dari Rasulullah jika tanpa disertai sanad. Atau dengan kata lain sangat mustahil kritik matan tanpa didahului oleh kritik sanad dalam hal mencari kualitas hadis. Oleh karena itu sangat masuk akal jika para ulama hadis menempuh kritik sanad hadis dahulu baru diikuti dengan kritik matan hadis.
2.    Kaedah keshahihan sanad hadis sebagai standar kritik sanad hadis
Mengacu pada tulisan Syuhudi Ismail, kaedah keshahihan sanad hadis adalah segala syarat atau kriteria yang harus dipenuhi oleh suatu sanad hadis yang berkualitas shahih.[6] Paling tidak ada lima unsur yang dapat dijadikan standar untuk dapat menilai keshahihan sebuah hadis. Kelima unsur tersebut meliputi:
a.       ketersambungan sanad (ittishâl al-sanad)
b.      keadilan perawi (`adâlah al-râwî)
c.       ke-dhâbith-an perawi (dlabth al-râwî)
d.      terhindar dari syâdz dan
e.       terhindar dari ‘illat.[7]

3.    Langkah-langkah dalam kritik sanad hadis
Ada beberapa langkah yang biasanya dilakukan dalam rangka meneliti kualitas sanad dari hadis, di antaranya:

a.    Membuat al-I’tibâr
Menurut istilah hadis, al-i`tibâr berarti menyertakan sanad yang lain untuk suatu hadis tertentu, yang hadis itu pada bagian sanadnya tampak hanya terdapat seorang periwayat saja, dan dengan menyertakan sanad-sanad yang lain tersebut akan dapat diketahui apakah ada periwayat lain ataukah tidak ada untuk bagian sanad dari sanad yang dimaksud.[8] Untuk memperjelas dan mempermudah proses kegiatan al-i`tibâr, diperlukan pembuatan skema untuk seluruh sanad bagi hadis yang akan diteliti. Dalam pembuatan skema, ada tiga hal penting yang perlu mendapat perhatian yaitu: (1) jalur seluruh sanad; (2) nama-nama periwayat seluruh sanad dan; (3) metode periwayat yang digunakan oleh masing-masing periwayat.[9]
Nama-nama periwayat yang ditulis dalam skema sanad meliputi seluruh nama, mulai dari periwayat pertama yakni sahabat Nabi yang mengemukakan hadis sampai mukharrij-nya seperti al-Bukhârî, Muslim dan sebagainya. Terkadang seorang mukharrij memiliki lebih dari satu sanad untuk matan hadis yang sama ataupun yang semakna. Bila itu terjadi, maka masing-masing sanad harus jelas tampak dalam skema.[10]
Adapun lambang-lambang periwayatan masing-masing periwayat dalam sanad, penulisannya harus sesuai dengan apa yang tercantum dalam sanad yang bersangkutan. Pembuat skema sanad sering tidak mencantumkan lambang-lambang sanad. Pada hal, lambang-lambang itu merupakan merupakan bentuk-bentuk metode periwayatan yang sedang ditempuh oleh periwayat hadis yang bersangkutan. Sering kali cacat sebuah sanad berlindung di bawah lambang-lambang itu.[11]

b.   Meneliti pribadi periwayat hadis
Ulama hadis sepakat bahwa ada dua hal yang harus diteliti para pribadi periwayat hadis untuk dapat diketahui apakah riwayat hadis yang dikemukakannya dapat diterima sebagai hujjah atau alasan ataukah ditolak. Kedua hal tersebut terkait dengan keadilan dan ke-dlâbith-an periwayat.

                        I.     Keadilan periwayat
Kata adil berasal dari bahasa Arab yaitu `adl. `Adl secara bahasa berarti pertengahan, lurus atau condong kepada kebenaran.[12] Adapun `adl secara istilah terdapat berbagai macam perbedaan. Menurut Ahmad `Umar Hâsyim, keadilan perawi adalah seorang periwayat yang harus terpercaya di dalam agamanya yakni harus seorang muslim yang baligh, berakal, selamat dari sebab kefasikan, mempunyai kepribadian yang baik.[13] Menurut Mahmûd al-Thahhan, diantara kriteria adil yakni: muslim, baligh, berakal, bebas dari sebab kefasikan, bebas dari sebab yang menjatuhkan martabat.[14] Adapun Syuhudi Ismail mengungkapkan empat kriteria adil yang merupakan hasil dari penghimpunan pendapat berbagai macam ulama. Keempat kriteria untuk sifat adil tersebut antara lain:
·              Beragama Islam.
·              Mukallaf yakni baligh dan berakal sehat.
·              Melaksanakan ketentuan agama Islam atau teguh dalam beragama Islam.
·              Memelihara muru`ah (adab kesopanan pribadi yang membawa pemeliharaan diri manusia kepada tegaknya kebijakan moral dan kebiasaan-kebiasaan).[15]
Di samping kriteria yang harus dimiliki para periwayat adil tersebut, menurut Syuhudi Ismail, mengutip pendapat Ibn Hajar al-`Asqalânî, mengatakan bahwa perilaku atau keadaan yang merusak sifat adil para periwayat hadis yang termasuk berat yaitu:
·              Suka berdusta.
·              Tertuduh telah berdusta.
·              Berbuat atau berkata fasik tetapi belum menjadikannya kafir.
·              Tidak dikenal jelas pribadi dan keadaan diri orang itu sebagai periwayat hadis.
·              Berbuat bid`ah yang mengarah kepada fasik, tetapi belum menjadikannya kafir.[16]

                     II.     Ke-dlâbith-an atau kapasitas intelektual periwayat
Dlâbith secara bahasa ada beberapa macam makna yakni: yang kokoh, yang kuat, yang tepat, dan yang halal dengan sempurna.[17] Adapun dlâbith secara istilah terdapat berbagai macam pendapat. Menurut Syuhudi Ismail, mengutip pendapat Ibn Hajar al-`Asqalânî dan al-Sakhâwî, seseorang yang dinyatakan dlâbith adalah orang yang kuat hafalannya kapan saja dia menghendaki.[18] Menurut Ahmad `Umar Hâsyim, ke-dlâbith-an seorang perawi adalah seorang periwayat yang harus terpercaya di dalam riwayatnya, yakni harus mempunyai hafalan yang meyakinkan setiap meriwayatkan hadis.[19] Menurut Mahmûd al-Thahhan, diantara kriteria dlâbith antara lain tidak betentangan dengan hadis yang diriwayatkan perawi-perawi tsiqah, tidak susah dalam hafalan, tidak jahat, tidak pelupa, bukan orang yang suka ragu-ragu.[20]
Adapun Syuhudi Ismail, dia mengungkap makna dlâbith dengan mempertemukan berbagai pendapat para ulama, dan dia juga memberikan rumusan mengenai maksud dari dlâbith secara istilah sebagai berikut:
·         Periwayat yang dlâbith adalah periwayat yang mempunyai ciri-ciri yaitu: hafal dengan sempurna hadis yang diterimanya, dan mampu menyampaikan dengan baik hadis yang dihafalnya itu kepada orang lain.
·         Periwayat yang bersifat dhâbith adalah periwayat yang memiliki ciri seperti yang tertera di atas, dan mampu memahami dengan baik hadis yang dihafalnya.[21]
Sebagaimana sifat adil yang mempunyai kriteria yang dapat merusak sifat adil bagi para periwayat hadis, dlâbith juga mempunyai beberapa hal yang dapat merusak ke-dlâbith-an para periwayat hadis seperti yang diungkapkan Syuhudi Ismail mengutip pendapat Ibn Hajar al-`Asqalânî dan `Alî al-Qâri, yaitu:
·         Dalam meriwayatkan hadis, lebih banyak salahnya dari pada benarnya.
·         Lebih menonjolkan sifat lupanya dari pada hafalnya.
·         Riwayat yang disampaikan diduga keras mengandung kekeliruan (al-wahm).
·         Riwayatnya bertentangan dengan riwayat yang disampaikan oleh orang-orang yang tsiqah.
·         Jelek hafalannya, walaupun ada juga sebagian riwayatnya itu yang benar.[22]
Dari berbagai penilaian tentang sifat adil dan dlâbith di atas, penilaian yang disampaikan Syuhudi Ismail lebih akomodatif, karena dia memberikan penilaian tersebut dari hasil rangkuman berbagai macam ulama. Di samping itu dia (Syuhudi Ismail) juga memberikan beberapa pendapat tentang perilaku dan keadaan yang bisa merusak kecacatan dari sifat adil dan dlâbith para periwayat hadis yang merupakan rangkuman dari berbagai ulama.
Dalam melakukan penilaian tentang kriteria adil dan dlâbith tersebut diperlukan kitab-kitab yang berkenaan dengan biografi periwayat yaitu kitab al-Istî`âb fî Ma`rifat al-Ashhâb, kitab Dzikr Asmâ’ al-Tâbi`în wa Man Ba`dahu, kitab Tahdzîb al-Tahdzîb, dan kitab Tahdzîb al-Kamâl fî Asmâ’ al-Rijâl, dan lain-lain. Kitab-kitab biografi periwayat tersebut merupakan kitab yang banyak menerangkan tentang biografi periwayat terutama dari segi al-Jarh wa al-Ta`dîl.

c.    Al-Jarh wa al-Ta`dîl sebagai pendekatan kritik sanad hadis
Dalam terminologi limu hadis, sebagaimana diungkapkan oleh al-Khatîb, al-Jarh berarti menunjukkan sifat-sifat yang dapat merusak atau mencacatkan keadilan dan ke-dlâbith-an seorang periwayat hadis. Implikasinya adalah dapat melemahkan atau menggugurkan riwayat dari seorang perawi. Adapun al-Tajrîh adalah upaya untuk mensifati perawi dengan sifat yang dapat menyebabkan riwayatnya menjadi lemah atau bahkan tidak diterima sama sekali.[23]
Sedangkan `Adl adalah seorang perawi yang dalam dirinya tidak tampak sifat-sifat yang dapat merusak agama dan muru’ah (moralitas), sehingga dengan sifat-sifatnya itu menyebabkan riwayatnya diterima, jika perawi tersebut memenuhi syarat-syarat kecakapan meriwayatkan hadis (ahliyat al-adâ’)[24]. Adapun al-Ta`dîl merupakan upaya untuk menilai bersih seorang perawi sehingga dengan penilaian tersebut tampak keadilan dan riwayatnya diterima.[25]
Berdasarkan batasan kedua definisi di atas maka dapat diambil kesimpulan bahwa ilmu al-Jarh wa al-Ta`dîl adalah ilmu yang mebicarakan masalah keadaan perawi baik dengan mengungkapkan sifat-sifat yang menunjukkan keadilannya maupun sifat-sifat kecacatannya yang bermuara pada penerimaan atau penolakan terhadap riwayat yang disampaikan.

Tata kerja ilmu Al-Jarh wa Al-Ta`dîl
Keadilan seorang perawi hadis, menurut Mahmûd al-Thahhân, dapat diketahui melalui dua cara; pertama, pemberitaan yang masyhur bahwa perawi tersebut telah terkenal sebagai seorang yang adil di kalangan para ulama (ahl al-`ilm) seperti Mâlik ibn Ânas, Sufyân al-Tsaurî, dan Ahmad ibn Hanbal; kedua, melalui pernyataan seorang mu`addil (orang yang memberikan sifat positif) bahwa seorang perawi tersebut bersikap adil. Artinya bahwa hasil penelitian yang dilakukan oleh seorang mu`addil melahirkan kesimpulan bahwa seorang perawi itu layak diberi label adil.[26]
Permasalahan yang mungkin muncul adalah mana yang lebih tinggi akurasi seorang perawi hadis yang diketahui dengan metode pertama dibanding metode kedua. Menurut al-Khathîb, kemasyhuran akan keadilan seorang perawi hadis dikalangan ulama lebih tinggi bobot akurasinya dibandingkan dengan hasil tazkiyah (kritikan dan penilaian) yang dilakukan oleh seorang mu’addil.[27] Menurut hemat penulis, pendapat ini sangat logis karena bagimanapun juga, seseorang tidak akan pernah terkenal sebagai pemilik sifat adil apabia sifat tersebut memang tidak terdapat pada dirinya. Oleh karena itu, dengan terkenalnya sifat tersebut pada diri seseorang, orang tersebut memang pantas diklaim bersifat adil. Dengan demikian, letak ketinggian metode tersebut adalah karena pemberitaan yang masyhur mengandung arti penilaian orang banyak, yang bersifat lebih obyektif.
Adapun keadilan seseorang berdasarkan pernyataan mu`addil, para ulama hadis sepakat bahwa pernyataan seorang mu`addil mengenai keadilan seeorang cukup untuk bisa diterima. Alasannya, karena untuk menerima berita (periwayatan seseorang) tidaklah diharuskan dari dua orang atau lebih dan cukup dari seseorang saja. Dengan analogi seperti itu, maka dalam memberikan ta`dîl seseorang juga tidak disyaratkan harus lebih dari seorang.[28]
Ulama telah mengemukakan syarat-syarat bagi seseorang yang dapat dinyatakan sebagai al-Jârih wa al-Mu`addil. Menurut Syuhudi Ismail, penjelasan para ulama dapat disimpulkan sebagai berikut:
1.    Syarat-syarat yang berhubungan dengan sikap pribadi, yakni: (a) bersifat adil; (b) tidak bersikap fanatik terhaddap aliran atau madzhab yang dianutnya; (c) tidak bersikap bermusuhan dengan periwayat yang dinilainya, termasuk terhadap periwayat yang berbeda aliran dengannya.
2.    Syarat-syarat yang berkenaan dengan penguasaan ilmu pengetahuan, dalam hal ini harus memiliki pengetahuan yang luas dan mendalam, terutama yang berkenaan dengan: (a) ajaran Islam; (b) bahasa Arab; (c) hadis dan ilmu hadis; (d) pribadi periwayat yang dikritiknya; (e) adat istiadat (al-`urf) yang berlaku; (f) sebab-sebab yang melatar belakangi sifat-sifat utama dan tercela yang dimiliki oleh periwayat.[29]
Adapun untuk mengetahui ke-dlâbith-an periwayat dapat didasarkan pada:
1.    Kesaksian para ulama hadis
2.    Kesesuaian uraian riwayatnya dengan riwayat yang disampaikan oleh perawi yang telah terkenal ke-dlâbith-annya.
3.    Sekiranya pernah terjadi kekeliruan, maka kekeliruan yang dilakukan oleh perawi itu tidaklah terlalu sering.[30]
Dengan demikian yang memegang peranan penting dalam penetapan keadilan dan ke-dlâbith-an perawi adalah kesaksian ulama ahli kritik rawi hadis. Kritikus perawi hanya yang memenuhi syarat-syarat saja yang dapat dipertimbangkan kritikannya dalam menetapkan kualitas perawi tersebut.

Shîghat dalam al-Jarh wa al-Ta`dîl (terlampir)
Dalam menentukan kapasitas potensi dan kualitas perawi dengan al-Jarh dan al-Ta`dîl, banyak lafadz yang digunakan para kritikus. Lafadz-lafadz tersebut mengandung pengertian khusus dan tertentu yang disesuaikan dengan kondisi perawi dalam penilaian kritikus.[31]
Di kalangan ulama hadis tidak ada kesepakatan tentang jumlah tingkatan al-Jarh dan al-Ta`dîl tehadap para periwayat hadis. Ibn al-Râzî, Ibnu al-Shalah, dan al-Nawâwî membagi menjadi empat peringkat untuk penilaian al-Jarh dan al-Ta`dîl. Sedangkan al-Dzahabî, al-`Irâqî, dan Abû Faidl al-Harawî membagi membagi menjadi lima tingkatan. Adapun Ibn Hajar al-`Asqalânî, dan Jalâl al-Dîn al-Suyûthî membagi menjadi enam tingkatan.[32]

Teori-teori al-Jarh wa al-Ta`dîl
Ada beberapa kaedah yang dikemukakan oleh para ulama ahli al-Jarh wa Ta`dîl, di antaranya:
1.    التعديل مقدم على الجرح
al-Ta`dîl didahulukan atas al-Jarh

Maksudnya seorang periwayat dinilai terpuji oleh seorang kritikus dan dinilai tercela oleh kritikus lainnya, maka yang didahulukan adalah kritikan pujian. Alasannya, karena sifat dasar periwayat hadis adalah terpuji, sedangkan sifat tercela merupakan sifat yang datang kemudian. Oleh karena itu, bila sifat dasar berlawanan dengan sifat yang datang kemudian, maka yang harus dimenangkan adalah sifat dasarnya.

2.    الجرح مقدم على التعديل
al-Jarh didahulukan atas al-Ta`dîl

Maksudnya bila seorang kritikus dinilai tercela oleh seorang kritikus dan dinilai terpuji oleh kritikus lainnya, maka yang didahulukan adalah kritikan yang berisi celaan. Alasannya karena kritikus yang menyatakan celaan lebih faham terhadap pribadi periwayat yang dicelanya. Selain itu, yang menjadi dasar untuk memuji seseorang periwayat adalah persangkaan baik kritikus hadis dan persangkaan baik itu harus dikalahkan bila ternyata ada bukti tentang ketercelaan yang dimiliki oleh periwayat yang bersangkutan.

3.    إذا تعارض الجارح والمعدل فالحكم للمعدل إلا إذا ثبت الجرح المفسر
“apabila terjadi pertentangan antara kritikan yang mencela dan kritikan yang memuji, maka yang dimenangkan adalah kritikan yang memuji, kecuali apabila kritikan yang mencelanya disertai penjelasan tentang sebab-sebabnya”

Maksudnya apabila seorang periwayat dipuji oleh seorang kritikus tertentu dan dicela oleh kritikus lainnya, maka pada dasarnya yang harus dimenangkan adalah kritikan yang memuji, kecuali bila kritikan yang mencelanya disertai penjelasan tentang bukti-bukti ketercelaan periwayat yang bersangkutan. Alasannya, kritikus yang mampu menjelaskan sebab-sebab ketercelaan periwayat yang dinilainya lebih mengetahui terhadap pribadi periwayat tersebut daripada kritikus yang hanya mengemukakan pujian terhadap periwayat yang sama. Kaedah ini didukung oleh jumhur ulama ahli kritik hadis.

4.    إذا كان الجارح ضعيفا فلا يقبل جرحه للثقة
“apabila kritikus yang mengemukakan ketercelaan adalah orang yang tergolong dla’îf, maka kritikannya terhadap orang yang tsiqah tidak diterima”.

Maksudnya apabila yang mengeritik adalah orang yang tidak tsiqah, sedangkan yang dikritik adalah orang yang tsiqah, maka kritikan orang yang tidak tsiqah tersebut harus ditolak. Alasannya, orang yang bersifat tsiqah lebih dikenal berhati-hati dan lebih cermat daripada orang yang tidak tsiqah.

5.    لا بقبل الجرح إلا بعد التثبت خشية الأشباه فى المجروحين
al-Jarh tidak diterima, kecuali setelah ditetapkan (diteliti secara seksama), karena adanya kekhawatiran terjadinya kesamaan tentang orang-orang yang dicelanya”.

Maksudnya apabila nama periwayat memiliki kesamaan ataupun kemiripan dengan nama periwayat lain, kemudian salah seorang dari periwayat tersebut dikritik dengan celaan, maka kritikan tersebut tidak dapat diterima, kecuali telah dapat dipastikan bahwa kritikan itu terhindar dari kekeliruan akibat adanya kesamaan atau kemiripan nama tersebut. Alasannya, suatu kritikan harus jelas sasarannya. Dalam mengeritik pribadi seseorang, maka orang yang dikritik haruslah jelas dan terhindar dari keragu-raguan atau kekacauan.

6.    الجرح الناشئ عن عداوة دنيوية لا يعتد به
al-Jarh yang dikemukakan oleh orang yang mengalami permusuhan dalam masalah keduniawiaan tidak perlu diperhatikan”
Maksudnya apabila kritikus yang mencela periwayat tertentu memiliki perasaan yang bermusuhan dalam masalah keduniawian dengan pribadi periwayat yang dikritik dengan celaan itu, maka kritikan tersebut harus ditolak. Alasannya, pertentangan pribadi dalam masalah dunia dapat menyebabkan lahirnya penilaian yang tidak jujur. Kritikus yang bermusuhan dalam masalah dunia dengan periwayat yang dikritik dengan celaan dapat berlaku tidak jujur karena didorong oleh rasa kebencian.

Dari sejumlah teori yang disertai dengan alasannya masing-masing tersebut, maka yang harus dipilih adalah teori yang mampu menghasilkan penilaian yang obyektif terhadap para periwayat hadis yang dinilai keadaan pribadinya.[33]

d.   Meneliti ketersambungan sanad
Suatu sanad hadis dapat dinyatakan bersambung apabila:
i.      Seluruh periwayat dalam sanad tersebut benar-benar tsiqah (adil dan dlâbith);
ii.    Antara masing-masing periwayat dengan periwayat terdekat sebelumnya dalam sanad tersebut benar-benar telah terjadi hubungan periwayatan hadis secara sah menurut ketentuan tahammul wa adâ’ al-hadîts.[34]
Syarat pertama dapat dilakukan dengan mengikuti langkah-langkah yang telah ditulis dalam meneliti pribadi periwayat. Sedangkan untuk syarat yang kedua, paling tidak ada dua hal yang terkait dengan syarat tersebut, yaitu;

1.    Lambang-lambang metode periwayatan
Dalam penerimaan dan penyampaian suatu hadis diperlukan lambang-lambang periwayatan hadis. Lambang-lambang ini sangat terkait dengan proses tahammul wa adâ’. Proses tahammul wa adâ’ merupakan proses transmisi hadis antara guru dengan murid. Pada umumnya ulama membagi proses tersebut menjadi delapan macam, yaitu:
·      al-Simâ`, yaitu seorang murid mendengarkan hadis dari gurunya, baik guru tersebut membaca dari tulisannya atau pun dari hafalannya, sama juga guru tersebut mendiktekannya atau tidak. Cara ini adalah cara yang paling tinggi tingkatannya dalam periwayatan hadis. Shîghat yang dipakai dalam metode ini di antaranya : سمعت, حدثنا, حدثنى, أخبرنا, قال لنا, dan ذكر لنا.[35]
·      al-Qirâ’ah `alâ al-Syaikh, yaitu pembacaan murid kepada syaikh (guru) dengan cara menghafalnya dari lubuk hatinya atau dari kitab hadis yang dibaca olehnya. Apabila murid tersebut tidak membaca lewat hafalannya atau dari kitab yang berada di tangannya akan tetapi mendengarkan dari orang lain yang membacakan kepada syaikh, maka sesungguhnya disyaratkan kepada syaikh-nya agar benar-benar hafal apa yang dibacakan olehnya atau dimungkinkan bagi syaikh tersebut agar merujuk kepada kitab yang shahih yang dipegang oleh muridnya yang lain yang tsiqah.[36]
·      al-Ijâzah, yaitu sebuah perizinan syaikh kepada muridnya untuk meriwayatkan hadis yang didengarnya atau dalam kitab hadis yang ditulisnya walaupun murid tersebut tidak pernah mendengar dari syaikh tersebut dan belum pernah membacakan hadis tersebut kepada syaikh-nya. Di antara lafadz dari al-ijâzah adalah:اجزت لك أن تروي عنى.[37]
·      al-Munâwalah, yaitu pemberian syaikh kepada muridnya sebuah kitab asli atau salinan yang sudah dikoreksinya untuk diriwayatkan. Lafadz-lafadz yang digunakan oleh periwayat dalam meriwayatkan hadis atas dasar al-munâwalah antara lain; أنبأنى, أنبأنا, ناولنى, dan ناولنا.
·      al-Mukâtabah, yaitu sebuah tulisan seorang syaikh (guru) yang menulis sendiri atau menyuruh orang lain menulis beberapa hadis kepada orang di tempat lain atau yang ada di hadapannya (korespondensi). Contoh lafadz al-mukâtabah adalah إليك كتبته ما لك أجزت.[38]
·      al-I`lâm merupakan pemberian sebuah kabar dari syaikh kepada muridnya bahwa sesungguhnya kitab ini atau hadis ini dari riwayat-riwayat syaikh tersebut atau dari hasih pendengaran (simâ`) syaikh tersebut dengan tanpa memberikan ijâzah secara langsung untuk memberikan ijin meriwayatkan hadis tersebut. Lafadz dari al-I`lâm yaitu أعلمنى فلان.[39]
·      al-Washiyyah, yaitu sebuah penjelasan syaikh kepada muridnya ketika sedang bepergian atau menjelang ajal kematiannya dengan mewasiatkan kitab kepada seseorang yang jelas atau yang dikenal untuk meriwayatkan hadis yang ada di kitab tersebut. Lafadz al-Washiyyah yaitu أوصى الي فلان.[40]
·      al-Wijâdah, yaitu penemuan murid akan sebuah hadis yang ditulis oleh syaikh yang telah dia jumpai dan dia mengetahui bahwa hadis tersebut dari syaikh-nya atau belum berjumpa dengan syaikh akan tetapi murid tersebut berkeyakinan kalau hadis yang tertulis merupakan hadis yang shahih seperti menemukan sebagian hadis dalam kitab yang terkenal yang ditulis oleh orang yang terkenal. Lafadz al-Wijâdah yakni وجدت.[41]
2.    Hubungan periwayat dengan metode periwayatannya
Keadaan periwayat dapat dibagi kepada tsiqah dan tidak tsiqah atau dha`îf. Dalam menyampaikan riwayat hadis, periwayat yang tsiqah memiliki tingkat akurasi yang tinggi dan karenanya dapat dipercaya riwayatnya. Sedangkan riwayat yang tidak tsiqah dari segi akurasinya berada di bawah riwayat yang disampaikan oleh orang yang tsiqah.
Dalam hubungannya dengan persambungan sanad, kualitas periwayat sangat menentukan. Periwayat yang tidak tsiqah yang menyatakan telah menerima riwayat dengan metode sami`nâ misalnya, walaupun metode itu diakui oleh ulama hadis memiliki tingkat akurasi yang tinggi, tetapi karena yang meyatakan lambang itu adalah orang yang tidak tsiqah, maka informasi yang dikemukakannya tetap tidak dapat dipercaya.
Dengan uraian tersebut dapatlah dinyatakan bahwa untuk mengetahui bersambung atau tidaknya suatu sanad, maka hubungan antara periwayat dan metode periwayatan yang digunakan perlu diteliti karena tadlîs masih mungkin terjadi pada sanad yang dikemukakan oleh periwayat yang tsiqah.
Selain itu untuk mengetahui ketersambungan sanad dapat dilakukan pengeceken tahun kelahiran dan tahun wafat antara periwayat satu dengan periwayat terdekat serta pengecekan terhadap adanya hubungan guru dan murid. Hal ini dapat ditempuh dengan melihat biografi para perawi melalui kitab-kitab Rijâl al-Hadîs.

e.    Meneliti Syudzûdz
Dalam aktivitas penelitian hadis, baik dari aspek sanad maupun matannya, mayoritas ulama menyatakan bahwa penelitian terhadap syâdz dan `illat relativ lebih sulit dibandingkan dengan penelitian terhadap keadilan dan ke-dlâbith-an perawi, serta ketersambungan sanad. Namun demikian, para ulama juga mengakui bahwa penelitian terhadap aspek syâdz lebih sulit jika dibandingkan dengan penelitian terhadap `illat-nya.[42]
Makna syâdz secara bahasa adalah seseorang yang memisahkan diri dari jamaah. Adapun secara istilah, ulama berbeda pendapat tentang pengertian syudzûdz sebagai hadis. Akan tetapi ada tiga pendapat yang menonjol tentang hadis syudzûdz ini, yakni bahwa yang dimaksud dengan hadis syudzûdz adalah:
·      Hadis yang diriwayatkan oleh orang yang tsiqah, tetapi riwayatnya bertentangan dengan riwayat yang dikemukakan oleh banyak periwayat tsiqah yang lainnya. Pendapat ini adalah pendapatnya Imam al-Syâfi`î (w. 204 H. / 820 M.).
·      Hadis yang diriwayatkan oleh orang yang tsiqah, tetapi orang-orang tsiqah lainnya tidak meriwayatkan hadis tersebut. Pendapat ini dikemukakan oleh al-Hâkim al-Naisâbûrî (w. 405 H. / 1014 M.).
·      Hadis yang sanadnya hanya satu buah saja, baik periwayatannya bersifat tsiqah maupun tidak. Pendapat ini dikemukakan oleh Abû Ya`lâ al-Khalîlî (w. 446 H.).[43]

Menurut Syuhudi Ismail, dari ketiga pendapat di atas, maka pendapat Imam al-Syâfi`î merupakan pendapat yang banyak diikuti oleh ulama ahli hadis sampai saat sekarang. Salah satu langkah penelitian yang sangat penting untuk meneliti kemungkinan adanya syudzûdz suatu sanad adalah dengan membanding-bandingkan semua sanad yang ada untuk matan yang topik pembahasannya sama atau memiliki segi kesamaan.[44]

f.     Meneliti `Illat
Kata `illat secara bahasa berarti sakit. Adapula yang mengartikan sebab dan kesibukan.[45] Adapun dalam terminologi ilmu hadis, `illat didefinisikan sebagai sebuah hadis yang di dalamnya terdapat sebab-sebab tersembunyi, yang dapat merusak keshahihan hadis yang secara lahir tampak shahih.[46]
`Illat yang disebutkan dalam salah satu unsur kaedah keshahihan sanad hadis adalah `illat yang untuk mengetahuinya dilakukan penelitian yang lebih cermat. Menurut Syuhudi Ismail yang mengutip pendapat Ibnu al-Madînî dan al-Khathîb al-Baghdâdî bahwa untuk meneliti `illat hadis, langkah-langkah yang perlu ditempuh adalah:
·      Seluruh sanad hadis untuk matan yang semakna dihimpun dan diteliti, bila hadis yang bersangkutan memang memiliki mutabi` atau syahid.
·      Seluruh periwayat dalam berbagai sanad diteliti berdasarkan kritik yang telah dilakukan oleh para ahli kritik hadis
·      Membandingkan sanad yang satu dengan sanad yang lain. Berdasarkan ketinggian ilmu hadis yang telah dimiliki oleh peneliti hadis, maka akan dapat ditemukan apakah sanad hadis tersebut mengandung `illat atau tidak.[47]

g.    Menyimpulkan hasil penelitian sanad
Kegiatan menyimpulkan sanad merupakan kegiatan akhir dari penelitian sanad hadis. Hasil penelitian berupa natîjah (konklusi). Dalam mengemukakan natîjah harus disertai argumen-argumen yang jelas. Isi natîjah untuk hadis yang dilihat dari segi jumlah periwayatnya mungkin berupa pernyataan bahwa hadis yang bersangkutan berstatus mutawâtir, dan bila tidak demikian maka hadis tersebut berstatus ahad. Untuk hasil penelitian hadis ahad, maka natîjah-nya mungkin berisi pernyataan bahwa hadis yang bersangkutan berkualitas shahîh atau hasan atau dla`îf sesuai dengan apa yang telah diteliti.

Kritik Matan (Naqd al-Matn) Hadis
1.    Pengertian Kritik Matan (Naqd al-Matn) Hadis
Istilah kritik matan hadis dapat dipahami sebagai upaya pengujian atas keabsahan matan hadis, yang dilakukan untuk memisahkan antara matan-matan hadis yang shahih dengan yang tidak shahih. Dengan demikian, kritik matan bukan dimaksudkan untuk mengoreksi atau menggoyahkan dasar ajaran Islam dengan mencarai kelemahan sabda Rasulullah, akan tetapi diarahkan kepada telaah redaksi dan makna guna menetapkan keabsahan suatu hadis.[48]

2.    Langkah-langkah dalam kritik matan hadis

a.    Meneliti matan dengan melihat kualitas sanadnya
Dalam kegiatan penelitian hadis, ulama hadis mendahulukan penelitian sanad atas penelitian matan. Langkah penelitian yang dilakukan oleh ulama hadis tersebut tidaklah berarti bahwa sanad lebih penting dari pada matan. Bagi ulama hadis, sanad dan matan merupakan bagian yang penting dalam penelitian hadis, hanya saja penelitian matan akan mempunyai arti apabila sanad bagi matan hadis yang bersangkutan telah jelas-jelas memenuhi syarat sebagai sanad yang shahih. Tanpa adanya sanad, maka suatu matan hadis tidak dapat dinyatakan sebagai hadis yang berasal dari Nabi.[49] Bagi sanad yang statusnya dla`îf berat, maka matan yang shahih tidak akan dapat menjadikan hadis tersebut berkualitas shahih. Tegasnya matan yang sanadnya sangat dla`îf tidak perlu diteliti sebab hasilnya tidak akan memberi manfaat bagi ke-hujjah-an hadis tersebut.[50]
b.    Kaedah keshahihan matan sebagai acuan
Unsur-unsur yang harus dipenuhi oleh suatu matan yang berkualitas shahih ada dua macam, yaitu terhindar dari syudzûdz dan terhindar dari `illat. Hal ini berarti untuk meneliti matan, kedua unsur ini harus menjadi acuan utama. Meskipun demikian ulama tidak menekankan bahwa langkah pertama meneliti haruslah meneliti syudzûdz dan langkah berikutnya adalah `illat atau sebaliknya.
Lebih lanjut, para ulama pun dalam menentukan keshahihan matan hadis menggunakan tolok ukur yang bermacam-macam. Di antaranya al-Khathîb al-Baghdâdî (w. 463 H. / 1072 M.), sebagaimana dikutip Syuhudi Ismail, bahwa suatu matan hadis dinyatakan maqbûl atau diterima apabila:
·      Tidak bertentangan dengan hukum al-Qur'an yang telah muhkam (ketentuan hukum yang telah tetap).
·      Tidak bertentangan dengan hadis mutawâtir.
·      Tidak bertentangan dengan amalan yang telah menjadi kesepakatan ulama salaf (masa lalu).
·      Tidak bertentangan dengan hadis ahad yang kualitas keshahihannya lebih kuat.[51]
Sedangkan menurut Shalâh al-Dîn al-Adlâbî, paling tidak ada empat macam tolok ukur untuk penelitian matan, yaitu:
·      Tidak bertentangan dengan petunjuk al-Qur'an.
·      Tidak bertentangan dengan hadis yang lebih kuat.
·      Tidak bertentangan dengan akal, indera, dan sejarah.
·      Susunan periwayatannya menunjukkan ciri-ciri sabda Nabi.[52]
Dari uraian di atas, dapatlah dinyatakan bahwa walaupun unsur-unsur kaedah keshahihan matan hadis hanya dua macam yakni terhindar dari syudzûdz (kejanggalan) dan terhindar dari `illat (cacat), tetapi aplikasinya dapat berkembang dan menuntut adanya pendekatan dengan tolok ukur sesuai dengan keadaan matan yang diteliti.

c.    Meneliti susunan matan yang semakna
1.    Terjadinya perbedaan lafadz
Salah satu sebab terjadinya perbedaan lafadz pada matan hadis yang semakna ialah karena dalam periwayat hadis telah terjadi periwayatan secara makna. Menurut ulama hadis, perbedaan lafadz yang tidak mengakibatkan perbedaan makna asalkan sanadnya sama-sama shahih, maka hal itu masih ditolerir.[53]
Akibat terjadinya perbedaan lafadz, maka metode muqâranah (perbandingan) menjadi sangat penting. Dengan melakukan metode muqâranah, maka akan dapat diketahui apakah terjadinya perbedaan lafadz pada matan masih dapat ditoleransi atau tidak.[54]
2.    Ziyâdah, Idrâj dan lain-lain
Dengan metode muqâranah juga, akan dapat diketahui kemungkinan adanya ziyâdah, idrâj dan lain-lain yang dapat berpengaruh terhadap kehujahan suatu matan hadis. Dalam penelitian matan hadis, ziyâdah, idrâj dan lain-lain sangat penting.
Secara bahasa, ziyâdah adalah tambahan. Menurut ilmu hadis, ziyâdah pada matan ialah tambahan lafadz atau kalimat (pernyataan) yang terdapat pada matan, tambahan tersebut dikemukakan oleh periwayat tertentu sedangkan periwayat tertentu lainnya tidak mengemukakannya.[55] Menurut Ibn Shalâh yang dikutip oleh Syuhudi Ismail, bahwa ziyâdah itu ada tiga macam yaitu:
·         Ziyâdah yang berasal dari periwayat yang tsiqah yang isinya bertentangan dengan yang dikemukakan oleh banyak periwayat yang tsiqah juga. Ziyâdah seperti ini ditolak.
·         Ziyâdah yang berasal dari periwayat yang tsiqah yang isinya tidak bertentangan dengan yang dikemukakan oleh banyak periwayat yang tsiqah juga. Ziyâdah seperti ini diterima.
·         Ziyâdah yang berasal dari periwayat yang tsiqah berupa sebuah lafadz yang mengandung arti tertentu, sedang para periwayat lainnya yang bersifat tsiqah juga tidak mengemukakannya.[56]
Adapun idrâj, secara bahasa merupakan isim mashdar dari kata adraja yang artinya: memasukkan atau menghimpunkan. Menurut pengertian secara istilah ilmu hadis, idrâj berarti memasukkan pernyataan yang berasal dari periwayat ke dalam suatu matan hadis yang diriwayatkannya sehingga menimbulkan dugaan bahwa pernyataan tersebut berasal dari Nabi karena tidak ada penjelasan dalam matan hadis tersebut.[57] Perbedaan antara ziyâdah dan idrâj yaitu idrâj berasal dari diri periwayat, sedangkan ziyâdah (yang sesuai syarat) merupakan bagian yang tak terpisahkan dari matan hadis.

d.      Meneliti kandungan matan
1.      Membandingkan kandungan matan dengan al-Qur’an
Hal ini dilakukan jika hadis yang diriwayatkan hanya berjumlah satu dan tidak hadis lain sebagai pembanding. Perbandingan ini sangat urgen, mengingat akan berdampak terhadap kualitas matan itu sendiri. Jika sesuai dengan al-Qur’an, maka kandungan matan hadis dapat bernilai shahih. Sebaliknya jika bertentangan dengan al-Qur’an, paling tidak bernilai dha`if atau bahkan palsu.
2.      Membandingkan kandungan matan yang sejalan
Setelah susunan lafadz diteliti, maka langkah berikutnya adalah meneliti kandungan matan. Dalam meneliti kandungan matan, perlu diperhatikan matan-matan dan dalil-dalil yang mempunyai topik masalah yang sama. Apabila ada matan lain yang topiknya sama, maka perlu diteliti sanadnya. Apabila sanadnya memenuhi syarat, maka kegiatan muqaranah dilakukan. Apabila kandungan matan yang diperbandingkan ternyata sama, maka dapatlah dikatakan bahwa kegiatan penelitian berakhir. Dalam prakteknya, kegiatan penelitian biasanya masih perlu dilakukan yaitu dengan memeriksa penjelasan masing-masing matan di berbagai kitab syarah hadis untuk diketahui lebih jauh tentang matan yang diteliti dan hubungannya dengan dalil-dalil lain.[58]
3.      Membandingkan kandungan matan yang tidak sejalan atau tampak bertentangan
Sesungguhnya tidak mungkin hadis Nabi bertentangan dengan hadis Nabi yang lain ataupun dengan dalil-dalil dari al-Qur'an. Sebab apa yang dikemukakan Nabi, baik berupa hadis maupun ayat al-Qur'an sama-sama dari Allah. Namun pada kenyataannya, ada sejumlah hadis Nabi yang tampak tidak sejalan dengan atau tampak bertentangan dengan hadis yang lain ataupun dengan ayat al-Qur'an.
Dalam menyelesaikan matan hadis tentang hadis-hadis yang tampak bertentangan, ulama berbeda pandangan:
a.    Ibn Hazm mengatakan bahwa matan-matan hadis harus diamalkan, karena dia menekankan perlunya penggunaan metode istisnâ’ (pengecualian) dalam penyelesaian itu.
b.   Menurut al-Syâfi`î, kemungkinan hadis-hadis yang tampak bertentangan itu mengandung petunjuk bahwa matan yang satu bersifat global (mujmal) sedang yang satunya lagi bersifat rinci (mufassar), mungkin yang satu bersifat umum (`amm) sedang yang satunya lagi bersifat khusus (khâs), mungkin yang satu bersifat penghapus (nâsikh) sedang yang satunya lagi yang dihapus (mansûkh).
c.    Shihâb al-Dîn menempuh dengan cara tarjîh (mencari argumen yang lebih kuat).
d.   Al-Thahâwanî menempuh cara al-nâsikh dan al-mansûkh.
e.    Shalâh al-Dîn ibn Ahmad al-Adlâbî menempuh cara al-jam`u, kemudian al-tarjîh.
f.    Ibn Hajar al-`Asqalânî menempuh empat tahap yakni al-jam`u, al-nâsikh dan al-mansûkh, al-tarjîh, al-tauqîf (menunggu sampai ada petunjuk atau dalil yang dapat menyelesaikan atau menjernihkannya).[59]
Dalam menyelesaikan masalah hadis yang tampak bertentangan, pendapat dari Ibn Hajar al-`Asqalânî lebih akomodatif. Hal ini karena dalam praktek penelitian matan, keempat tahap atau cara itu memang dapat memberikan alternatif yang lebih hati-hati dan relevan dalam menyelesaikan hadis yang tampak bertentangan.

e.       Menyimpulkan hasil penelitian matan 
Setelah langkah-langkah di atas selesai dilakukan, maka yang terakhir dilakukan adalah menyimpulkan hasil dari penelitian matan. Sebagaimana halnya penelitian sanad, maka dalam menyimpulkan penelitian matan juga harus didasarkan pada argument-argumen yang jelas. Argumen-argumen ini dapat dikemukakan sebelum ataupun sesudah dibuat kesimpulan.
Apabila matan yang diteliti ternyata shahih dan sanadnya juga shahih, maka dalam kesimpulan disebutkan bahwa hadis yang diteliti juga berkualitas shahih. Apabila matan dan sanad sama-sama berkualitas dla`îf, maka dalam kesimpulan disebutkan bahwa hadis yang diteliti berkualitas dla`îf. Sedangkan apabila terjadi perbedaan kualitas antara sanad dan matan, maka perbedaan tersebut harus dijelaskan.[60]

C.  Penutup
Hadis Nabi sebagai sabda, perbuatan maupun ketetapan Nabi merupakan salah satu sumber ajaran Islam. Selain itu, hadis Nabi sebagai riwayat yang memiliki beberapa latar belakang, khususnya latar belakang sejarah, perlu dilakukan penelitian dalam upaya untuk mengetahui kualitasnya dilihat dari dapat atau tidak dapatnya dipertanggungjawabkan keorisinalannya berasal dari Nabi. Berdasarkan kepada latar belakang itulah, maka suatu riwayat barulah diduga sebagai hadis Nabi bila riwayat tersebut mengandung sanad dan matan yang memberi indikasi kuat sebagai sesuatu yang berasal dari Nabi. Untuk itulah penelitian atau kritik hadis (sanad maupun matan) sangat urgen kedudukannya mengingat dari sinilah kualitas hadis dapat diketahui sehingga hadis tersebut benar-benar dapat digunakan sebagai hujjah.
Dimensi penelitian hadis tidak hanya berada dalam kawasan dunia keilmuan semata, tetapi juga dalam kawasan ajaran dan keyakinan agama. Oleh  Karena itu, dapat dipahami, bila untuk kepentingan penelitian hadis (baik sanad maupun matannya), diperlukan cukup banyak kitab rujukan dan cabang pengetahuan sebagai acuan. Beban berat yag demikian itu merupakan salah satu pertimbangan yang sah untuk dinyatakan bahwa kegiatan penelitian hadis oleh ahlinya adalah salah satu macam kegiatan ijtihad. Wallahu a`lam.



































DAFTAR PUSTAKA


Al-Adlâbî, Shalâh al-Dîn ibn Ahmad. Manhaj Naqd al-Matn. Beirut: Dâr al-Afâq al-Jadîdah, 1983.

Al-Ahdal, Hasan Muhammad Maqbûlî. Mushthalah al-Hadîts wa Rijâluh. Shana’a: Maktabah al-Jayyid al-Jadîd, 1993.

Al-Asqalani, Ibnu Hajar. Tahdzib al-Tahdzib. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1994.

Hâsyim, Ahmad `Umar. Qawâ`id Ushûl al-Hadîts. Beirut: Dâr al-Fikr, t.th.

Ibn Manzhûr, Muhammad ibn Mukrim. Lisân al-`Arab. Mesir: al-Dâr al-Mishriyyah, t.th.

Ismail, M. Syuhudi. Hadis Nabi Menurut Pembela Pengingkar dan Pemalsunya. Jakarta: Gema Insani Press, Mei 1995.

                                  . Kaidah Keshahihan Sanad Hadis( Telaah Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu Sejarah). Jakarta: Bulan Bintang, 2005.

                                 . Metodologi Penelitian Hadis Nabi. Jakarta: Bulan Bintang, 1992.

Al-Khathîb, Muhammad `Ajjâl. Ushûl al-Hadîts `Ulûmuh wa Mushthalâhuh. Beirut: Dâr al-Fikr, 1989.

Rahman, Fatchur. Ikhtisar Mushthalahul Hadits. Bandung: al-Ma’arif, 1974.

Al-Shâlih, Shubhî. `Ulûm al-Hadîts wa Mushthalahuh. Beirut: Dâr al-`Ulûm al-Malâyîn, 1988.

Al-Sijistanî, Abu Dawud Sulaiman bin al-Asy’asy. Sunan Abi Dawud. Indonesia: Maktabah Dahlan, t.th.

Sulaiman, M. Noor. Antologi Ilmu Hadits. Jakarta: GP press, 2008.

Sumbulah, Umi. Kritik Hadis Pendekatan Historis Metodologis. Malang: UIN-Malang Press, 2008.

Suryadi. Metodologi Ilmu Rijalil Hadis. Yogyakarta: Madani Pustaka Hikmah, 2003.

Al-Thahhan, Mahmûd, Taisîr Mushthalâh al-Hadîts. Beirut: Dâr al-Fikr, t.th.





[1] Muhammad `Ajjâl al-Khathîb, Ushûl al-Hadîts `Ulûmuh wa Mushthalâhuh (Beirut: Dâr al-Fikr, 1989), hlm. 32.
[2] Fatchur Rahman, Ikhtisar Mushthalahul Hadits (Bandung: al-Ma’arif, 1974), hlm. 39.
[3] Umi Sumbulah, Kritik Hadis Pendekatan Historis Metodologis (Malang: UIN-Malang Press, 2008), hlm. 13.
[4] Ibid., hlm. 26.
[5] Ibid., hlm. 31.
[6] M. Syuhudi Ismail, Kaidah Keshahihan Sanad Hadis( Telaah Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu Sejarah) (Jakarta: Bulan Bintang, 2005), hlm. 123.
[7] Hasan Muhammad Maqbûlî al-Ahdal, Mushthalah al-Hadîts wa Rijâluh (Shana’a: Maktabah al-Jayyid al-Jadîd, 1993), hlm. 103.
[8] M. Syuhudi Ismail, Hadis Nabi Menurut Pembela Pengingkar dan Pemalsunya (Jakarta: Gema Insani Press, Mei 1995), hlm. 76.
[9] M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), hlm. 52. Contoh skema ada di lampiran.
[10] Ibid., hlm. 53.
[11] Ibid.
[12] Muhammad ibn Mukrim ibn Manzhûr, Lisân al-`Arab, jilid 13 (Mesir: al-Dâr al-Mishriyyah, t.th.), hlm. 456-463.
[13] Ahmad `Umar Hâsyim, Qawâ`id Ushûl al-Hadîts (Beirut: Dâr al-Fikr, t.th.), hlm. 40.
[14] Mahmûd al-Thahhan, Taisîr Mushthalâh al-Hadîts (Beirut: Dâr al-Fikr, t.th). hlm. 30.
[15] M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, hlm. 67.
[16] Ibid., hlm. 69.
[17] Ibid., hlm. 70.
[18] M. Syuhudi Ismail, Kaedah Keshahihan Hadis (Telaah Kritis dan Tinjauan Dengan Pendekatan Ilmu Sejarah), hlm. 135.
[19] Ahmad `Umar Hâsyim, Qawâ`id Ushûl al-Hadîts, hlm. 41.
[20] Mahmûd al-Thahhan, Taisîr Mushthalâh al-Hadîts, hlm. 121.
[21] M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, hlm. 70.
[22] Ibid., hlm. 71.
[23] Muhammad `Ajjâl al-Khathîb, Ushûl al-Hadîts `Ulûmuh wa Mushthalâhuh, hlm. 260.
[24] Syarat kecakapan yang dimaksud (ahliyat al-adâ’) adalah Islam, baligh, berakal, dan memiliki intelektualitas yang tinggi (dlâbith).
[25] Ibid., hlm. 260-261.
[26] Mahmûd al-Thahhan, Taisîr Mushthalâh al-Hadîts, hlm. 121.
[27] Muhammad `Ajjâl al-Khathîb, Ushûl al-Hadîts `Ulûmuh wa Mushthalâhuh, hlm. 268.
[28] Ibid.
[29] M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, hlm. 74.
[30] M. Noor Sulaiman, Antologi Ilmu Hadits (Jakarta: GP press, 2008), hlm. 131.
[31] Suryadi, Metodologi Ilmu Rijalil Hadis (Yogyakarta: Madani Pustaka Hikmah, 2003), hlm. 43.
[32] Ibid.
[33] M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, hlm. 81.
[34] Ibid., hlm. 133.
[35] Shubhî al-Shâlih, `Ulûm al-Hadîts wa Mushthalahuh (Beirut: Dâr al-`Ulûm al-Malâyîn, 1988), hlm. 88-90.
[36]Ibid., hlm. 93.
[37] Ibid.
[38] Fatchur Rahman, Ikhtisar Mushthalahul Hadits, hlm. 247.
[39] Shubhî al-Shâlih, `Ulûm al-Hadîts wa Mushthalahuh, hlm. 99.
[40] Ibid., hlm. 100.
[41] Ibid., hlm. 101-102. Selengkapnya lihat lampiran.
[42] Umi Sumbulah, Kritik Hadis Pendekatan Historis Metodologis, hlm. 69.
[43] M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, hlm. 85-86. Lihat juga Fathur Rahman, Ikhtishar Mushthalah Hadis, hlm. 199.
[44] Ibid., hlm 86.
[45] Ibn Manzhûr, Lisân al-`Arâb, juz 9, hlm 367.
[46] Hasan Muhammad Maqbûlî al-Ahdal, Mushthalah al-Hadîts wa Rijâluh, hlm. 105.
[47] M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, hlm. 88.
[48] Umi Sumbulah, Kritik Hadis Pendekatan Historis Metodologis, hlm. 94.
[49] M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, hlm. 122.
[50] Ibid., hlm 123.
[51] Ibid., hlm. 127.
[52] Shalâh al-Dîn ibn Ahmad al-Adlâbî, Manhaj Naqd al-Matn (Beirut: Dâr al-Afâq al-Jadîdah, 1983), hlm. 238.
[53] M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, hlm. 131.
[54] Ibid., hlm. 134.
[55] Ibid, hlm. 135.
[56] Ibid., hlm. 137.
[57] Ibid., hlm. 138.
[58] Ibid., hlm. 141.
[59] Ibid. hlm. 138
[60] Ibid., hlm. 146.
[61] Abu Dawud Sulaiman bin al-Asy’asy al-Sijistanî, Sunan Abi Dawud juz 4, )Indonesia, Maktabah Dahlan, t.th(, hal. 4.
[62] Ibnu Hajar al-Asqalani, Tahdzib al-Tahdzib, Juz 1,) Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1994(, hal 342.
[63] Ibid.
[64] Ibid.
[65] Ibid., hal. 344.
[66] Ibid., hal 343.
[67] Ibid., hal 344.
[68] M. Noor Sulaiman, Antologi Ilmu Hadits  (Jakarta: Gaung Persada Press, 2008), hal. 18.
[69] Al-Asqalany, Tahdzib al-Tahdzib, juz 8, hal. 306.
[70] Ibid.
[71] Ibid., hal. 307.
[72] Ibid., hal. 308-309.
[73] Ibid., hal 307-309.
[74] Noor Sulaiman, Antologi Ilmu Hadits, hal. 18
[75] Al-Asqalany, Tahdzib al-Tahdzib, juz 3, hal. 69.
[76] Ibid.
[77] Ibid.,hal. 70.
[78] Ibid., hal. 71.
[79] Ibid.
[80] Ibid., hal. 70-71.
[81] Noor Sulaiman, Antologi Ilmu Hadits, hal. 16.
[82] Al-Asqalany, Tahdzib al-Tahdzib, juz 10, hal. 111.
[83] Ibid.
[84] Ibid.
[85] Ibid.
[86] Noor Sulaiman, Antologi Ilmu Hadits, hal. 16.
[87] Al-Asqalany, Tahdzib al-Tahdzib, juz 4, hal. 153.
[88] Ibid.
[89] Ibid., hal. 154.
[90] Ibid. hal. 155.
[91] Ibid., hal. 155-156.
[92] Noor Sulaiman, Antologi Ilmu Hadits, hal. 16.