Kritik
Sanad dan Matan Hadis
oleh Cholid Abdullah
A. Pendahuluan
Dewasa ini, seringkali
ditemukan pihak yang mengambil hadis bukan dari kitab-kitab hadis yang mu’tabarah,
dan tidak disertai pula dengan sanad, matan maupun mukharrij al-hadîts
secara lengkap. Belum lagi kualitas hadis yang
tidak diketahui secara pasti, namun banyak kalangan yang telah
menggunakannya sehingga solah-olah hadis tersebut berkualitas shahih, karena
terlanjur populer di kalangan masyarakat.
Hadis Nabi memang terdiri
atas dua unsur penting, yakni sanad dan matan. Sanad adalah jalan atau silsilah
para periwayat yang menyampaikan materi hadis (matan) dari sumber awalnya
(Nabi). Sedangkan matan adalah lafadz atau materi yang mengandung substansi
dari hadis tersebut[1],
yang disampaikan oleh sanad terakhir, baik berupa sabda Rasulullah, sahabat
maupun tabi’in ataupun materi tersebut berupa perbuatan Nabi maupun sahabat
yang tidak disanggah oleh Nabi.[2] Kedua unsur
ini tidak bisa saling berdiri sendiri jika hadis ingin diteliti kualitasnya
ataupun jika ingin menjadikan hadis sebagai hujjah.
Sebuah hadis dapat
dijadikan dalil dan argumen yang kuat apabila memenuhi syarat-syarat
keshahihan, baik dari segi aspek sanad maupun matan. Syarat-syarat terpenuhinya
keshahihan ini sangatlah diperlukan, karena penggunaan atau pengamalan hadis
yang tidak memenuhi syarat-syarat tersebut berakibat pada realisasi ajaran
Islam yang kurang relevan atau bahkan sama sekali menyimpang dari apa yang
diajarkan oleh Rasulullah.[3] Kemudian
hal inilah yang mendasari para sarjana muslim dalam bidang hadis untuk
menjadikannya sebagai sebuah metode untuk menentukan kualitas hadis yang lebih
dikenal dengan kritik hadis (naqd al-hadîs).
Dalam terminologi ilmu
hadis istilah kritik tidak berkonotasi negatif, bahkan sebaliknya berkonotasi
positif. Aktivitas kritik dalam ilmu hadis dimaksudkan untuk sebagai upaya
menyeleksi hadis, sehingga dapat diketahui mana yang shahih dan mana yang tidak
shahih.[4] Kritik
hadis ini selalu berorientasi pada dua unsur penting di atas, yaitu kritik
sanad (naqd al-sanad/kredibilitas perawi) dan kritik matan (naqd
al-matn/orisinalitas teks hadis), sebagaimana yang akan dibahas dalam bab
selanjutnya.
B. Pembahasan
Kritik Sanad Hadis
1.
Pengertian kritik sanad (naqd
al-sanad) hadis
Kritik sanad hadis adalah upaya untuk
meneliti kredibilitas seluruh jajaran perawi hadis dalam suatu jalur sanad,
yang meliputi aspek kebersambungan (muttashil), kualitas pribadi dan
kapasitas intelektual perawi, serta aspek syâdz dan `illat-nya.[5] Kritik
sanad hadis dianggap yang paling urgen dalam meneliti suatau hadis, karena
sebuah matan hadis tidak akan pernah dinyatakan berasal dari Rasulullah jika
tanpa disertai sanad. Atau dengan kata lain sangat mustahil kritik matan tanpa
didahului oleh kritik sanad dalam hal mencari kualitas hadis. Oleh karena itu
sangat masuk akal jika para ulama hadis menempuh kritik sanad hadis dahulu baru
diikuti dengan kritik matan hadis.
2.
Kaedah keshahihan sanad
hadis sebagai standar kritik sanad hadis
Mengacu pada tulisan Syuhudi Ismail,
kaedah keshahihan sanad hadis adalah segala syarat atau kriteria yang harus
dipenuhi oleh suatu sanad hadis yang berkualitas shahih.[6] Paling
tidak ada lima unsur yang dapat dijadikan standar untuk dapat menilai
keshahihan sebuah hadis. Kelima unsur tersebut meliputi:
a.
ketersambungan sanad (ittishâl
al-sanad)
b.
keadilan perawi (`adâlah
al-râwî)
c.
ke-dhâbith-an perawi (dlabth
al-râwî)
d.
terhindar dari syâdz dan
e.
terhindar dari ‘illat.[7]
3.
Langkah-langkah dalam
kritik sanad hadis
Ada beberapa langkah yang biasanya
dilakukan dalam rangka meneliti kualitas sanad dari hadis, di antaranya:
a.
Membuat al-I’tibâr
Menurut
istilah hadis, al-i`tibâr berarti menyertakan sanad yang lain
untuk suatu hadis tertentu, yang hadis itu pada bagian sanadnya tampak hanya
terdapat seorang periwayat saja, dan dengan menyertakan sanad-sanad yang lain
tersebut akan dapat diketahui apakah ada periwayat lain ataukah tidak ada untuk
bagian sanad dari sanad yang dimaksud.[8] Untuk
memperjelas dan mempermudah proses kegiatan al-i`tibâr, diperlukan
pembuatan skema untuk seluruh sanad bagi hadis yang akan diteliti. Dalam
pembuatan skema, ada tiga hal penting yang perlu mendapat perhatian yaitu: (1)
jalur seluruh sanad; (2) nama-nama periwayat seluruh sanad dan; (3) metode
periwayat yang digunakan oleh masing-masing periwayat.[9]
Nama-nama
periwayat yang ditulis dalam skema sanad meliputi seluruh nama, mulai dari
periwayat pertama yakni sahabat Nabi yang mengemukakan hadis sampai mukharrij-nya
seperti al-Bukhârî, Muslim dan sebagainya. Terkadang seorang mukharrij memiliki
lebih dari satu sanad untuk matan hadis yang sama ataupun yang semakna. Bila
itu terjadi, maka masing-masing sanad harus jelas tampak dalam skema.[10]
Adapun
lambang-lambang periwayatan masing-masing periwayat dalam sanad, penulisannya
harus sesuai dengan apa yang tercantum dalam sanad yang bersangkutan. Pembuat skema
sanad sering tidak mencantumkan lambang-lambang sanad. Pada hal, lambang-lambang itu merupakan merupakan bentuk-bentuk
metode periwayatan yang sedang ditempuh oleh periwayat hadis yang bersangkutan.
Sering kali cacat sebuah sanad berlindung di bawah lambang-lambang itu.[11]
b.
Meneliti pribadi periwayat
hadis
Ulama
hadis sepakat bahwa ada dua hal yang harus diteliti para pribadi periwayat
hadis untuk dapat diketahui apakah riwayat hadis yang dikemukakannya dapat
diterima sebagai hujjah atau alasan ataukah ditolak. Kedua hal tersebut terkait dengan keadilan dan
ke-dlâbith-an periwayat.
I. Keadilan periwayat
Kata adil berasal dari bahasa Arab yaitu `adl. `Adl secara
bahasa berarti pertengahan, lurus atau condong kepada kebenaran.[12] Adapun `adl secara istilah terdapat
berbagai macam perbedaan. Menurut Ahmad `Umar Hâsyim, keadilan perawi
adalah seorang periwayat yang harus terpercaya di dalam agamanya yakni harus
seorang muslim yang baligh, berakal, selamat dari sebab kefasikan, mempunyai
kepribadian yang baik.[13] Menurut Mahmûd al-Thahhan,
diantara kriteria adil yakni: muslim, baligh, berakal, bebas dari sebab
kefasikan, bebas dari sebab yang menjatuhkan martabat.[14] Adapun
Syuhudi Ismail mengungkapkan empat kriteria adil yang merupakan hasil
dari penghimpunan pendapat berbagai macam ulama. Keempat kriteria untuk sifat adil
tersebut antara lain:
·
Beragama Islam.
·
Mukallaf yakni
baligh dan berakal sehat.
·
Melaksanakan ketentuan
agama Islam atau teguh dalam beragama Islam.
·
Memelihara muru`ah (adab
kesopanan pribadi yang membawa pemeliharaan diri manusia kepada tegaknya
kebijakan moral dan kebiasaan-kebiasaan).[15]
Di samping kriteria yang harus dimiliki para periwayat adil tersebut,
menurut Syuhudi Ismail, mengutip pendapat Ibn Hajar al-`Asqalânî,
mengatakan bahwa perilaku atau keadaan yang merusak sifat adil para
periwayat hadis yang termasuk berat yaitu:
·
Suka berdusta.
·
Tertuduh telah berdusta.
·
Berbuat atau berkata fasik
tetapi belum menjadikannya kafir.
·
Tidak dikenal jelas pribadi
dan keadaan diri orang itu sebagai periwayat hadis.
·
Berbuat bid`ah yang
mengarah kepada fasik, tetapi belum menjadikannya kafir.[16]
II. Ke-dlâbith-an atau kapasitas intelektual periwayat
Dlâbith secara bahasa ada beberapa macam makna yakni: yang kokoh,
yang kuat, yang tepat, dan yang halal dengan sempurna.[17] Adapun dlâbith
secara istilah terdapat berbagai macam pendapat. Menurut Syuhudi Ismail,
mengutip pendapat Ibn Hajar al-`Asqalânî dan al-Sakhâwî, seseorang yang
dinyatakan dlâbith adalah orang yang kuat hafalannya kapan saja dia
menghendaki.[18]
Menurut Ahmad `Umar Hâsyim, ke-dlâbith-an seorang perawi adalah seorang
periwayat yang harus terpercaya di dalam riwayatnya, yakni harus mempunyai
hafalan yang meyakinkan setiap meriwayatkan hadis.[19] Menurut
Mahmûd al-Thahhan, diantara kriteria dlâbith antara lain
tidak betentangan dengan hadis yang diriwayatkan perawi-perawi tsiqah,
tidak susah dalam hafalan, tidak jahat, tidak pelupa, bukan orang yang suka
ragu-ragu.[20]
Adapun Syuhudi Ismail, dia mengungkap makna dlâbith dengan
mempertemukan berbagai pendapat para ulama, dan dia juga memberikan rumusan
mengenai maksud dari dlâbith secara istilah sebagai berikut:
·
Periwayat yang dlâbith adalah
periwayat yang mempunyai ciri-ciri yaitu: hafal dengan sempurna hadis yang
diterimanya, dan mampu menyampaikan dengan baik hadis yang dihafalnya itu
kepada orang lain.
·
Periwayat yang bersifat dhâbith
adalah periwayat yang memiliki ciri seperti yang tertera di atas, dan mampu
memahami dengan baik hadis yang dihafalnya.[21]
Sebagaimana sifat adil yang mempunyai kriteria yang dapat merusak
sifat adil bagi para periwayat hadis, dlâbith juga mempunyai
beberapa hal yang dapat merusak ke-dlâbith-an para periwayat hadis
seperti yang diungkapkan Syuhudi Ismail mengutip pendapat Ibn Hajar
al-`Asqalânî dan `Alî al-Qâri, yaitu:
·
Dalam meriwayatkan hadis,
lebih banyak salahnya dari pada benarnya.
·
Lebih menonjolkan sifat
lupanya dari pada hafalnya.
·
Riwayat yang disampaikan
diduga keras mengandung kekeliruan (al-wahm).
·
Riwayatnya bertentangan
dengan riwayat yang disampaikan oleh orang-orang yang tsiqah.
·
Jelek hafalannya, walaupun
ada juga sebagian riwayatnya itu yang benar.[22]
Dari berbagai penilaian tentang sifat adil dan dlâbith di
atas, penilaian yang disampaikan Syuhudi Ismail lebih akomodatif, karena dia
memberikan penilaian tersebut dari hasil rangkuman berbagai macam ulama. Di
samping itu dia (Syuhudi Ismail) juga memberikan beberapa pendapat tentang perilaku
dan keadaan yang bisa merusak kecacatan dari sifat adil dan dlâbith para
periwayat hadis yang merupakan rangkuman dari berbagai ulama.
Dalam
melakukan penilaian tentang kriteria adil dan dlâbith tersebut
diperlukan kitab-kitab yang berkenaan dengan biografi periwayat yaitu kitab al-Istî`âb
fî Ma`rifat al-Ashhâb, kitab Dzikr Asmâ’ al-Tâbi`în wa Man
Ba`dahu, kitab Tahdzîb al-Tahdzîb, dan kitab Tahdzîb al-Kamâl fî
Asmâ’ al-Rijâl, dan lain-lain. Kitab-kitab biografi periwayat tersebut
merupakan kitab yang banyak menerangkan tentang biografi periwayat terutama
dari segi al-Jarh wa al-Ta`dîl.
c.
Al-Jarh wa
al-Ta`dîl sebagai pendekatan kritik sanad hadis
Dalam
terminologi limu hadis, sebagaimana diungkapkan oleh al-Khatîb, al-Jarh
berarti menunjukkan sifat-sifat yang dapat merusak atau mencacatkan keadilan
dan ke-dlâbith-an seorang periwayat hadis. Implikasinya adalah dapat melemahkan
atau menggugurkan riwayat dari seorang perawi. Adapun al-Tajrîh adalah
upaya untuk mensifati perawi dengan sifat yang dapat menyebabkan riwayatnya
menjadi lemah atau bahkan tidak diterima sama sekali.[23]
Sedangkan
`Adl adalah seorang perawi yang dalam dirinya tidak tampak sifat-sifat
yang dapat merusak agama dan muru’ah (moralitas), sehingga dengan
sifat-sifatnya itu menyebabkan riwayatnya diterima, jika perawi tersebut
memenuhi syarat-syarat kecakapan meriwayatkan hadis (ahliyat al-adâ’)[24]. Adapun
al-Ta`dîl merupakan upaya untuk menilai bersih seorang perawi sehingga
dengan penilaian tersebut tampak keadilan dan riwayatnya diterima.[25]
Berdasarkan
batasan kedua definisi di atas maka dapat diambil kesimpulan bahwa ilmu al-Jarh
wa al-Ta`dîl adalah ilmu yang mebicarakan masalah keadaan perawi baik
dengan mengungkapkan sifat-sifat yang menunjukkan keadilannya maupun
sifat-sifat kecacatannya yang bermuara pada penerimaan atau penolakan terhadap
riwayat yang disampaikan.
Tata
kerja ilmu Al-Jarh wa Al-Ta`dîl
Keadilan
seorang perawi hadis, menurut Mahmûd al-Thahhân, dapat diketahui
melalui dua cara; pertama, pemberitaan yang masyhur bahwa perawi
tersebut telah terkenal sebagai seorang yang adil di kalangan para ulama (ahl
al-`ilm) seperti Mâlik ibn Ânas, Sufyân al-Tsaurî, dan Ahmad ibn Hanbal;
kedua, melalui pernyataan seorang mu`addil (orang yang memberikan
sifat positif) bahwa seorang perawi tersebut bersikap adil. Artinya bahwa hasil
penelitian yang dilakukan oleh seorang mu`addil melahirkan kesimpulan
bahwa seorang perawi itu layak diberi label adil.[26]
Permasalahan
yang mungkin muncul adalah mana yang lebih tinggi akurasi seorang perawi hadis
yang diketahui dengan metode pertama dibanding metode kedua. Menurut al-Khathîb,
kemasyhuran akan keadilan seorang perawi hadis dikalangan ulama lebih tinggi
bobot akurasinya dibandingkan dengan hasil tazkiyah (kritikan dan
penilaian) yang dilakukan oleh seorang mu’addil.[27] Menurut
hemat penulis, pendapat ini sangat logis karena bagimanapun juga, seseorang
tidak akan pernah terkenal sebagai pemilik sifat adil apabia sifat tersebut
memang tidak terdapat pada dirinya. Oleh karena itu, dengan terkenalnya sifat
tersebut pada diri seseorang, orang tersebut memang pantas diklaim bersifat
adil. Dengan demikian, letak ketinggian metode tersebut adalah karena
pemberitaan yang masyhur mengandung arti penilaian orang banyak, yang bersifat
lebih obyektif.
Adapun
keadilan seseorang berdasarkan pernyataan mu`addil, para ulama hadis
sepakat bahwa pernyataan seorang mu`addil mengenai keadilan seeorang
cukup untuk bisa diterima. Alasannya, karena untuk menerima berita (periwayatan
seseorang) tidaklah diharuskan dari dua orang atau lebih dan cukup dari
seseorang saja. Dengan analogi seperti itu, maka dalam memberikan ta`dîl
seseorang juga tidak disyaratkan harus lebih dari seorang.[28]
Ulama
telah mengemukakan syarat-syarat bagi seseorang yang dapat dinyatakan sebagai al-Jârih
wa al-Mu`addil. Menurut Syuhudi Ismail, penjelasan para ulama dapat
disimpulkan sebagai berikut:
1.
Syarat-syarat yang berhubungan
dengan sikap pribadi, yakni: (a) bersifat adil; (b) tidak bersikap fanatik
terhaddap aliran atau madzhab yang dianutnya; (c) tidak bersikap bermusuhan
dengan periwayat yang dinilainya, termasuk terhadap periwayat yang berbeda
aliran dengannya.
2.
Syarat-syarat yang berkenaan
dengan penguasaan ilmu pengetahuan, dalam hal ini harus memiliki pengetahuan
yang luas dan mendalam, terutama yang berkenaan dengan: (a) ajaran Islam; (b)
bahasa Arab; (c) hadis dan ilmu hadis; (d) pribadi periwayat yang dikritiknya;
(e) adat istiadat (al-`urf) yang berlaku; (f) sebab-sebab yang melatar
belakangi sifat-sifat utama dan tercela yang dimiliki oleh periwayat.[29]
Adapun
untuk mengetahui ke-dlâbith-an periwayat dapat didasarkan pada:
1.
Kesaksian para ulama hadis
2.
Kesesuaian uraian riwayatnya
dengan riwayat yang disampaikan oleh perawi yang telah terkenal ke-dlâbith-annya.
3.
Sekiranya pernah terjadi
kekeliruan, maka kekeliruan yang dilakukan oleh perawi itu tidaklah terlalu
sering.[30]
Dengan
demikian yang memegang peranan penting dalam penetapan keadilan dan ke-dlâbith-an
perawi adalah kesaksian ulama ahli kritik rawi hadis. Kritikus perawi hanya
yang memenuhi syarat-syarat saja yang dapat dipertimbangkan kritikannya dalam
menetapkan kualitas perawi tersebut.
Shîghat
dalam al-Jarh wa al-Ta`dîl (terlampir)
Dalam
menentukan kapasitas potensi dan kualitas perawi dengan al-Jarh dan
al-Ta`dîl, banyak lafadz yang digunakan para kritikus. Lafadz-lafadz
tersebut mengandung pengertian khusus dan tertentu yang disesuaikan dengan
kondisi perawi dalam penilaian kritikus.[31]
Di
kalangan ulama hadis tidak ada kesepakatan tentang jumlah tingkatan al-Jarh
dan al-Ta`dîl tehadap para periwayat hadis. Ibn al-Râzî, Ibnu
al-Shalah, dan al-Nawâwî membagi menjadi empat peringkat untuk penilaian
al-Jarh dan al-Ta`dîl. Sedangkan al-Dzahabî, al-`Irâqî,
dan Abû Faidl al-Harawî membagi membagi menjadi lima tingkatan. Adapun
Ibn Hajar al-`Asqalânî, dan Jalâl al-Dîn al-Suyûthî membagi menjadi enam
tingkatan.[32]
Teori-teori
al-Jarh wa al-Ta`dîl
Ada
beberapa kaedah yang dikemukakan oleh para ulama ahli al-Jarh wa Ta`dîl,
di antaranya:
1. التعديل مقدم على الجرح
“al-Ta`dîl
didahulukan atas al-Jarh”
Maksudnya seorang periwayat dinilai terpuji oleh seorang kritikus dan
dinilai tercela oleh kritikus lainnya, maka yang didahulukan adalah kritikan
pujian. Alasannya, karena sifat dasar periwayat hadis adalah terpuji, sedangkan
sifat tercela merupakan sifat yang datang kemudian. Oleh karena itu, bila sifat
dasar berlawanan dengan sifat yang datang kemudian, maka yang harus dimenangkan
adalah sifat dasarnya.
2. الجرح مقدم على التعديل
“al-Jarh
didahulukan atas al-Ta`dîl”
Maksudnya bila seorang kritikus dinilai tercela oleh seorang kritikus dan
dinilai terpuji oleh kritikus lainnya, maka yang didahulukan adalah kritikan
yang berisi celaan. Alasannya karena kritikus yang menyatakan celaan lebih
faham terhadap pribadi periwayat yang dicelanya. Selain itu, yang menjadi dasar
untuk memuji seseorang periwayat adalah persangkaan baik kritikus hadis dan
persangkaan baik itu harus dikalahkan bila ternyata ada bukti tentang
ketercelaan yang dimiliki oleh periwayat yang bersangkutan.
3. إذا تعارض الجارح والمعدل فالحكم للمعدل
إلا إذا ثبت الجرح المفسر
“apabila
terjadi pertentangan antara kritikan yang mencela dan kritikan yang memuji,
maka yang dimenangkan adalah kritikan yang memuji, kecuali apabila kritikan
yang mencelanya disertai penjelasan tentang sebab-sebabnya”
Maksudnya apabila seorang periwayat dipuji oleh seorang kritikus tertentu
dan dicela oleh kritikus lainnya, maka pada dasarnya yang harus dimenangkan
adalah kritikan yang memuji, kecuali bila kritikan yang mencelanya disertai
penjelasan tentang bukti-bukti ketercelaan periwayat yang bersangkutan.
Alasannya, kritikus yang mampu menjelaskan sebab-sebab ketercelaan periwayat
yang dinilainya lebih mengetahui terhadap pribadi periwayat tersebut daripada
kritikus yang hanya mengemukakan pujian terhadap periwayat yang sama. Kaedah
ini didukung oleh jumhur ulama ahli kritik hadis.
4. إذا كان الجارح ضعيفا فلا يقبل
جرحه للثقة
“apabila
kritikus yang mengemukakan ketercelaan adalah orang yang tergolong dla’îf,
maka kritikannya terhadap orang yang tsiqah tidak diterima”.
Maksudnya apabila yang mengeritik adalah orang yang tidak tsiqah,
sedangkan yang dikritik adalah orang yang tsiqah, maka kritikan orang
yang tidak tsiqah tersebut harus ditolak. Alasannya, orang yang bersifat
tsiqah lebih dikenal berhati-hati dan lebih cermat daripada orang yang
tidak tsiqah.
5. لا بقبل الجرح إلا بعد التثبت خشية
الأشباه فى المجروحين
“al-Jarh
tidak diterima, kecuali setelah ditetapkan (diteliti secara seksama), karena adanya
kekhawatiran terjadinya kesamaan tentang orang-orang yang dicelanya”.
Maksudnya apabila nama periwayat memiliki kesamaan ataupun kemiripan
dengan nama periwayat lain, kemudian salah seorang dari periwayat tersebut
dikritik dengan celaan, maka kritikan tersebut tidak dapat diterima, kecuali
telah dapat dipastikan bahwa kritikan itu terhindar dari kekeliruan akibat
adanya kesamaan atau kemiripan nama tersebut. Alasannya, suatu kritikan harus
jelas sasarannya. Dalam mengeritik pribadi seseorang, maka orang yang dikritik
haruslah jelas dan terhindar dari keragu-raguan atau kekacauan.
6. الجرح الناشئ عن عداوة دنيوية لا
يعتد به
“al-Jarh
yang dikemukakan oleh orang yang mengalami permusuhan dalam masalah
keduniawiaan tidak perlu diperhatikan”
Maksudnya apabila kritikus yang mencela periwayat tertentu memiliki
perasaan yang bermusuhan dalam masalah keduniawian dengan pribadi periwayat
yang dikritik dengan celaan itu, maka kritikan tersebut harus ditolak.
Alasannya, pertentangan pribadi dalam masalah dunia dapat menyebabkan lahirnya
penilaian yang tidak jujur. Kritikus yang bermusuhan dalam masalah dunia dengan
periwayat yang dikritik dengan celaan dapat berlaku tidak jujur karena didorong
oleh rasa kebencian.
Dari
sejumlah teori yang disertai dengan alasannya masing-masing tersebut, maka yang
harus dipilih adalah teori yang mampu menghasilkan penilaian yang obyektif
terhadap para periwayat hadis yang dinilai keadaan pribadinya.[33]
d.
Meneliti ketersambungan
sanad
Suatu
sanad hadis dapat dinyatakan bersambung apabila:
i.
Seluruh periwayat dalam sanad
tersebut benar-benar tsiqah (adil dan dlâbith);
ii.
Antara masing-masing periwayat
dengan periwayat terdekat sebelumnya dalam sanad tersebut benar-benar telah
terjadi hubungan periwayatan hadis secara sah menurut ketentuan tahammul
wa adâ’ al-hadîts.[34]
Syarat
pertama dapat dilakukan dengan mengikuti langkah-langkah yang telah ditulis
dalam meneliti pribadi periwayat. Sedangkan untuk syarat yang kedua, paling tidak
ada dua hal yang terkait dengan syarat tersebut, yaitu;
1.
Lambang-lambang metode periwayatan
Dalam penerimaan dan penyampaian suatu
hadis diperlukan lambang-lambang periwayatan hadis. Lambang-lambang ini sangat
terkait dengan proses tahammul wa adâ’. Proses tahammul
wa adâ’ merupakan proses transmisi hadis antara guru dengan murid. Pada
umumnya ulama membagi proses tersebut menjadi delapan macam, yaitu:
·
al-Simâ`, yaitu
seorang murid mendengarkan hadis dari gurunya, baik guru tersebut membaca dari tulisannya
atau pun dari hafalannya, sama juga guru tersebut mendiktekannya atau tidak.
Cara ini adalah cara yang paling tinggi tingkatannya dalam periwayatan hadis. Shîghat
yang dipakai dalam metode ini di antaranya : سمعت, حدثنا, حدثنى, أخبرنا, قال لنا, dan ذكر لنا.[35]
· al-Qirâ’ah `alâ al-Syaikh, yaitu pembacaan murid kepada syaikh
(guru) dengan cara menghafalnya dari lubuk hatinya atau dari kitab hadis yang
dibaca olehnya. Apabila murid tersebut tidak membaca lewat hafalannya atau dari
kitab yang berada di tangannya akan tetapi mendengarkan dari orang lain yang
membacakan kepada syaikh, maka sesungguhnya disyaratkan kepada syaikh-nya
agar benar-benar hafal apa yang dibacakan olehnya atau dimungkinkan bagi syaikh
tersebut agar merujuk kepada kitab yang shahih yang dipegang oleh muridnya yang
lain yang tsiqah.[36]
·
al-Ijâzah, yaitu
sebuah perizinan syaikh kepada muridnya untuk meriwayatkan hadis yang
didengarnya atau dalam kitab hadis yang ditulisnya walaupun murid tersebut
tidak pernah mendengar dari syaikh tersebut dan belum pernah membacakan
hadis tersebut kepada syaikh-nya. Di antara lafadz dari al-ijâzah
adalah:اجزت لك أن تروي عنى.[37]
·
al-Munâwalah, yaitu
pemberian syaikh kepada muridnya sebuah kitab asli atau salinan yang
sudah dikoreksinya untuk diriwayatkan. Lafadz-lafadz yang digunakan oleh
periwayat dalam meriwayatkan hadis atas dasar al-munâwalah antara lain; أنبأنى,
أنبأنا,
ناولنى,
dan ناولنا.
·
al-Mukâtabah, yaitu
sebuah tulisan seorang syaikh (guru) yang menulis sendiri atau menyuruh
orang lain menulis beberapa hadis kepada orang di tempat lain atau yang ada di
hadapannya (korespondensi). Contoh lafadz al-mukâtabah adalah إليك كتبته ما لك أجزت.[38]
·
al-I`lâm merupakan
pemberian sebuah kabar dari syaikh kepada muridnya bahwa sesungguhnya
kitab ini atau hadis ini dari riwayat-riwayat syaikh tersebut atau dari
hasih pendengaran (simâ`) syaikh tersebut dengan tanpa memberikan
ijâzah secara langsung untuk memberikan ijin meriwayatkan hadis
tersebut. Lafadz dari al-I`lâm yaitu أعلمنى فلان.[39]
·
al-Washiyyah, yaitu
sebuah penjelasan syaikh kepada muridnya ketika sedang bepergian atau
menjelang ajal kematiannya dengan mewasiatkan kitab kepada seseorang yang jelas
atau yang dikenal untuk meriwayatkan hadis yang ada di kitab tersebut. Lafadz al-Washiyyah
yaitu أوصى الي فلان.[40]
·
al-Wijâdah, yaitu
penemuan murid akan sebuah hadis yang ditulis oleh syaikh yang telah dia
jumpai dan dia mengetahui bahwa hadis tersebut dari syaikh-nya atau
belum berjumpa dengan syaikh akan tetapi murid tersebut berkeyakinan
kalau hadis yang tertulis merupakan hadis yang shahih seperti menemukan
sebagian hadis dalam kitab yang terkenal yang ditulis oleh orang yang terkenal. Lafadz al-Wijâdah yakni وجدت.[41]
2.
Hubungan periwayat dengan metode
periwayatannya
Keadaan periwayat dapat dibagi kepada tsiqah
dan tidak tsiqah atau dha`îf. Dalam menyampaikan riwayat
hadis, periwayat yang tsiqah memiliki tingkat akurasi yang tinggi dan
karenanya dapat dipercaya riwayatnya. Sedangkan riwayat yang tidak tsiqah dari
segi akurasinya berada di bawah riwayat yang disampaikan oleh orang yang tsiqah.
Dalam hubungannya dengan persambungan
sanad, kualitas periwayat sangat menentukan. Periwayat yang tidak tsiqah yang
menyatakan telah menerima riwayat dengan metode sami`nâ misalnya,
walaupun metode itu diakui oleh ulama hadis memiliki tingkat akurasi yang
tinggi, tetapi karena yang meyatakan lambang itu adalah orang yang tidak tsiqah,
maka informasi yang dikemukakannya tetap tidak dapat dipercaya.
Dengan uraian tersebut dapatlah
dinyatakan bahwa untuk mengetahui bersambung atau tidaknya suatu sanad, maka
hubungan antara periwayat dan metode periwayatan yang digunakan perlu diteliti
karena tadlîs masih mungkin terjadi
pada sanad yang dikemukakan oleh periwayat yang tsiqah.
Selain itu untuk mengetahui
ketersambungan sanad dapat dilakukan pengeceken tahun kelahiran dan tahun wafat
antara periwayat satu dengan periwayat terdekat serta pengecekan terhadap
adanya hubungan guru dan murid. Hal ini dapat ditempuh dengan melihat biografi
para perawi melalui kitab-kitab Rijâl al-Hadîs.
e.
Meneliti Syudzûdz
Dalam
aktivitas penelitian hadis, baik dari aspek sanad maupun matannya, mayoritas
ulama menyatakan bahwa penelitian terhadap syâdz dan `illat relativ
lebih sulit dibandingkan dengan penelitian terhadap keadilan dan ke-dlâbith-an perawi, serta
ketersambungan sanad. Namun demikian, para ulama juga mengakui bahwa penelitian
terhadap aspek syâdz lebih sulit jika dibandingkan dengan penelitian
terhadap `illat-nya.[42]
Makna
syâdz secara bahasa adalah seseorang yang memisahkan diri dari jamaah. Adapun
secara istilah, ulama berbeda pendapat tentang pengertian syudzûdz sebagai
hadis. Akan tetapi ada tiga pendapat yang menonjol tentang hadis syudzûdz ini,
yakni bahwa yang dimaksud dengan hadis syudzûdz adalah:
·
Hadis yang diriwayatkan
oleh orang yang tsiqah, tetapi riwayatnya bertentangan dengan riwayat
yang dikemukakan oleh banyak periwayat tsiqah yang lainnya. Pendapat ini
adalah pendapatnya Imam al-Syâfi`î (w. 204 H. / 820 M.).
·
Hadis yang diriwayatkan
oleh orang yang tsiqah, tetapi orang-orang tsiqah lainnya tidak
meriwayatkan hadis tersebut. Pendapat ini dikemukakan oleh al-Hâkim
al-Naisâbûrî (w. 405 H. / 1014 M.).
·
Hadis yang sanadnya hanya
satu buah saja, baik periwayatannya bersifat tsiqah maupun tidak.
Pendapat ini dikemukakan oleh Abû Ya`lâ
al-Khalîlî (w. 446 H.).[43]
Menurut
Syuhudi Ismail, dari ketiga pendapat di atas, maka pendapat Imam al-Syâfi`î
merupakan pendapat yang banyak diikuti oleh ulama ahli hadis sampai saat
sekarang. Salah satu langkah penelitian yang sangat penting untuk meneliti
kemungkinan adanya syudzûdz suatu sanad adalah dengan
membanding-bandingkan semua sanad yang ada untuk matan yang topik pembahasannya
sama atau memiliki segi kesamaan.[44]
f. Meneliti `Illat
Kata `illat secara bahasa berarti sakit.
Adapula yang mengartikan sebab dan kesibukan.[45] Adapun
dalam terminologi ilmu hadis, `illat didefinisikan sebagai sebuah hadis
yang di dalamnya terdapat sebab-sebab tersembunyi, yang dapat merusak
keshahihan hadis yang secara lahir tampak shahih.[46]
`Illat yang
disebutkan dalam salah satu unsur kaedah keshahihan sanad hadis adalah `illat
yang untuk mengetahuinya dilakukan penelitian yang lebih cermat. Menurut
Syuhudi Ismail yang mengutip pendapat Ibnu al-Madînî dan al-Khathîb al-Baghdâdî
bahwa untuk meneliti `illat hadis, langkah-langkah yang perlu ditempuh
adalah:
· Seluruh sanad hadis untuk matan
yang semakna dihimpun dan diteliti, bila hadis yang bersangkutan memang
memiliki mutabi` atau syahid.
· Seluruh periwayat dalam berbagai
sanad diteliti berdasarkan kritik yang telah dilakukan oleh para ahli kritik
hadis
· Membandingkan sanad yang
satu dengan sanad yang lain. Berdasarkan ketinggian ilmu hadis yang telah
dimiliki oleh peneliti hadis, maka akan dapat ditemukan apakah sanad hadis
tersebut mengandung `illat atau tidak.[47]
g. Menyimpulkan hasil
penelitian sanad
Kegiatan menyimpulkan sanad merupakan kegiatan akhir
dari penelitian sanad hadis. Hasil penelitian berupa natîjah (konklusi).
Dalam mengemukakan natîjah harus disertai argumen-argumen yang jelas.
Isi natîjah untuk hadis yang dilihat dari segi jumlah periwayatnya
mungkin berupa pernyataan bahwa hadis yang bersangkutan berstatus mutawâtir,
dan bila tidak demikian maka hadis tersebut berstatus ahad. Untuk
hasil penelitian hadis ahad, maka natîjah-nya mungkin
berisi pernyataan bahwa hadis yang bersangkutan berkualitas shahîh
atau hasan atau dla`îf sesuai dengan apa yang telah
diteliti.
Kritik Matan (Naqd
al-Matn) Hadis
1. Pengertian Kritik Matan
(Naqd al-Matn) Hadis
Istilah
kritik matan hadis dapat dipahami sebagai upaya pengujian atas keabsahan matan
hadis, yang dilakukan untuk memisahkan antara matan-matan hadis yang shahih
dengan yang tidak shahih. Dengan demikian, kritik matan bukan dimaksudkan untuk
mengoreksi atau menggoyahkan dasar ajaran Islam dengan mencarai kelemahan sabda
Rasulullah, akan tetapi diarahkan kepada telaah redaksi dan makna guna
menetapkan keabsahan suatu hadis.[48]
2. Langkah-langkah dalam
kritik matan hadis
a. Meneliti matan dengan
melihat kualitas sanadnya
Dalam kegiatan penelitian hadis, ulama
hadis mendahulukan penelitian sanad atas penelitian matan. Langkah penelitian
yang dilakukan oleh ulama hadis tersebut tidaklah berarti bahwa sanad lebih
penting dari pada matan. Bagi ulama hadis, sanad dan matan merupakan bagian
yang penting dalam penelitian hadis, hanya saja penelitian matan akan mempunyai
arti apabila sanad bagi matan hadis yang bersangkutan telah jelas-jelas
memenuhi syarat sebagai sanad yang shahih. Tanpa adanya sanad, maka suatu matan
hadis tidak dapat dinyatakan sebagai hadis yang berasal dari Nabi.[49] Bagi
sanad yang statusnya dla`îf berat, maka matan yang shahih tidak akan
dapat menjadikan hadis tersebut berkualitas shahih. Tegasnya matan yang
sanadnya sangat dla`îf tidak perlu diteliti sebab hasilnya tidak akan
memberi manfaat bagi ke-hujjah-an hadis tersebut.[50]
b.
Kaedah keshahihan matan sebagai
acuan
Unsur-unsur yang harus dipenuhi oleh
suatu matan yang berkualitas shahih ada dua macam, yaitu terhindar dari syudzûdz
dan terhindar dari `illat. Hal ini berarti untuk meneliti matan, kedua
unsur ini harus menjadi acuan utama. Meskipun demikian ulama tidak menekankan
bahwa langkah pertama meneliti haruslah meneliti syudzûdz dan langkah
berikutnya adalah `illat atau sebaliknya.
Lebih lanjut, para ulama pun dalam
menentukan keshahihan matan hadis menggunakan tolok ukur yang bermacam-macam.
Di antaranya al-Khathîb al-Baghdâdî (w. 463 H. / 1072 M.), sebagaimana dikutip
Syuhudi Ismail, bahwa suatu matan hadis dinyatakan maqbûl atau diterima
apabila:
·
Tidak bertentangan dengan
hukum al-Qur'an yang telah muhkam (ketentuan hukum yang telah tetap).
·
Tidak bertentangan dengan
hadis mutawâtir.
·
Tidak bertentangan dengan
amalan yang telah menjadi kesepakatan ulama salaf (masa lalu).
·
Tidak bertentangan dengan
hadis ahad yang kualitas keshahihannya lebih kuat.[51]
Sedangkan menurut Shalâh al-Dîn al-Adlâbî, paling tidak ada empat macam
tolok ukur untuk penelitian matan, yaitu:
·
Tidak bertentangan dengan
petunjuk al-Qur'an.
·
Tidak bertentangan dengan
hadis yang lebih kuat.
·
Tidak bertentangan dengan
akal, indera, dan sejarah.
·
Susunan periwayatannya menunjukkan
ciri-ciri sabda Nabi.[52]
Dari uraian di atas, dapatlah
dinyatakan bahwa walaupun unsur-unsur kaedah keshahihan matan hadis hanya dua
macam yakni terhindar dari syudzûdz (kejanggalan) dan terhindar dari `illat
(cacat), tetapi aplikasinya dapat berkembang dan menuntut adanya pendekatan
dengan tolok ukur sesuai dengan keadaan matan yang diteliti.
c. Meneliti susunan matan
yang semakna
1. Terjadinya perbedaan
lafadz
Salah satu sebab terjadinya perbedaan lafadz pada matan hadis yang
semakna ialah karena dalam periwayat hadis telah terjadi periwayatan secara
makna. Menurut ulama hadis, perbedaan lafadz yang tidak mengakibatkan perbedaan
makna asalkan sanadnya sama-sama shahih, maka hal itu masih ditolerir.[53]
Akibat terjadinya perbedaan lafadz, maka metode muqâranah (perbandingan)
menjadi sangat penting. Dengan melakukan metode muqâranah, maka akan
dapat diketahui apakah terjadinya perbedaan lafadz pada matan masih dapat
ditoleransi atau tidak.[54]
2.
Ziyâdah, Idrâj dan
lain-lain
Dengan metode muqâranah juga, akan dapat diketahui kemungkinan
adanya ziyâdah, idrâj dan lain-lain yang dapat berpengaruh
terhadap kehujahan suatu matan hadis. Dalam penelitian matan hadis, ziyâdah,
idrâj dan lain-lain sangat penting.
Secara bahasa, ziyâdah adalah tambahan. Menurut ilmu hadis, ziyâdah
pada matan ialah tambahan lafadz atau kalimat (pernyataan) yang
terdapat pada matan, tambahan tersebut dikemukakan oleh periwayat tertentu
sedangkan periwayat tertentu lainnya tidak mengemukakannya.[55] Menurut
Ibn Shalâh yang dikutip oleh Syuhudi Ismail, bahwa ziyâdah itu
ada tiga macam yaitu:
·
Ziyâdah yang berasal
dari periwayat yang tsiqah yang isinya bertentangan dengan yang
dikemukakan oleh banyak periwayat yang tsiqah juga. Ziyâdah seperti
ini ditolak.
·
Ziyâdah yang berasal
dari periwayat yang tsiqah yang isinya tidak bertentangan dengan yang
dikemukakan oleh banyak periwayat yang tsiqah juga. Ziyâdah seperti
ini diterima.
·
Ziyâdah yang berasal
dari periwayat yang tsiqah berupa sebuah lafadz yang mengandung arti
tertentu, sedang para periwayat lainnya yang bersifat tsiqah juga tidak
mengemukakannya.[56]
Adapun idrâj, secara bahasa merupakan isim mashdar dari
kata adraja yang artinya: memasukkan atau menghimpunkan. Menurut
pengertian secara istilah ilmu hadis, idrâj berarti memasukkan
pernyataan yang berasal dari periwayat ke dalam suatu matan hadis yang
diriwayatkannya sehingga menimbulkan dugaan bahwa pernyataan tersebut berasal
dari Nabi karena tidak ada penjelasan dalam matan hadis tersebut.[57] Perbedaan
antara ziyâdah dan idrâj yaitu idrâj berasal dari diri
periwayat, sedangkan ziyâdah (yang sesuai syarat) merupakan bagian yang
tak terpisahkan dari matan hadis.
d.
Meneliti kandungan matan
1.
Membandingkan kandungan matan
dengan al-Qur’an
Hal ini dilakukan jika hadis yang
diriwayatkan hanya berjumlah satu dan tidak hadis lain sebagai pembanding.
Perbandingan ini sangat urgen, mengingat akan berdampak terhadap kualitas matan
itu sendiri. Jika sesuai dengan al-Qur’an, maka kandungan matan hadis dapat
bernilai shahih. Sebaliknya jika bertentangan dengan al-Qur’an, paling tidak
bernilai dha`if atau bahkan palsu.
2.
Membandingkan kandungan matan yang
sejalan
Setelah susunan lafadz diteliti, maka
langkah berikutnya adalah meneliti kandungan matan. Dalam meneliti kandungan
matan, perlu diperhatikan matan-matan dan dalil-dalil yang mempunyai topik
masalah yang sama. Apabila ada matan lain yang topiknya sama, maka perlu
diteliti sanadnya. Apabila sanadnya memenuhi syarat, maka kegiatan muqaranah
dilakukan. Apabila kandungan matan yang diperbandingkan ternyata sama, maka
dapatlah dikatakan bahwa kegiatan penelitian berakhir. Dalam prakteknya,
kegiatan penelitian biasanya masih perlu dilakukan yaitu dengan memeriksa
penjelasan masing-masing matan di berbagai kitab syarah hadis untuk diketahui
lebih jauh tentang matan yang diteliti dan hubungannya dengan dalil-dalil lain.[58]
3. Membandingkan kandungan matan yang tidak sejalan atau tampak
bertentangan
Sesungguhnya tidak mungkin hadis Nabi
bertentangan dengan hadis Nabi yang lain ataupun dengan dalil-dalil dari
al-Qur'an. Sebab apa yang dikemukakan Nabi, baik berupa hadis maupun ayat
al-Qur'an sama-sama dari Allah. Namun pada kenyataannya, ada sejumlah hadis
Nabi yang tampak tidak sejalan dengan atau tampak bertentangan dengan hadis
yang lain ataupun dengan ayat al-Qur'an.
Dalam menyelesaikan matan hadis tentang
hadis-hadis yang tampak bertentangan, ulama berbeda pandangan:
a. Ibn Hazm mengatakan bahwa matan-matan hadis harus
diamalkan, karena dia menekankan perlunya penggunaan metode istisnâ’
(pengecualian) dalam penyelesaian itu.
b. Menurut al-Syâfi`î, kemungkinan hadis-hadis yang tampak
bertentangan itu mengandung petunjuk bahwa matan yang satu bersifat global (mujmal)
sedang yang satunya lagi bersifat rinci (mufassar), mungkin yang satu
bersifat umum (`amm) sedang yang satunya lagi bersifat khusus (khâs),
mungkin yang satu bersifat penghapus (nâsikh) sedang yang satunya lagi
yang dihapus (mansûkh).
c. Shihâb al-Dîn menempuh dengan cara tarjîh (mencari
argumen yang lebih kuat).
d. Al-Thahâwanî menempuh cara al-nâsikh dan al-mansûkh.
e. Shalâh al-Dîn ibn Ahmad al-Adlâbî menempuh cara al-jam`u,
kemudian al-tarjîh.
f. Ibn Hajar al-`Asqalânî menempuh empat tahap yakni al-jam`u,
al-nâsikh dan al-mansûkh, al-tarjîh, al-tauqîf (menunggu
sampai ada petunjuk atau dalil yang dapat menyelesaikan atau menjernihkannya).[59]
Dalam menyelesaikan masalah hadis yang
tampak bertentangan, pendapat dari Ibn Hajar al-`Asqalânî lebih
akomodatif. Hal ini karena dalam praktek penelitian matan, keempat tahap atau
cara itu memang dapat memberikan alternatif yang lebih hati-hati dan relevan
dalam menyelesaikan hadis yang tampak bertentangan.
e.
Menyimpulkan hasil penelitian
matan
Setelah langkah-langkah di atas selesai
dilakukan, maka yang terakhir dilakukan adalah menyimpulkan hasil dari
penelitian matan. Sebagaimana halnya penelitian sanad, maka dalam menyimpulkan
penelitian matan juga harus didasarkan pada argument-argumen yang jelas.
Argumen-argumen ini dapat dikemukakan sebelum ataupun sesudah dibuat
kesimpulan.
Apabila matan yang diteliti ternyata
shahih dan sanadnya juga shahih, maka dalam kesimpulan disebutkan bahwa hadis
yang diteliti juga berkualitas shahih. Apabila matan dan sanad sama-sama
berkualitas dla`îf, maka dalam kesimpulan disebutkan bahwa hadis yang
diteliti berkualitas dla`îf. Sedangkan apabila terjadi perbedaan
kualitas antara sanad dan matan, maka perbedaan tersebut harus dijelaskan.[60]
C. Penutup
Hadis Nabi sebagai sabda, perbuatan
maupun ketetapan Nabi merupakan salah satu sumber ajaran Islam. Selain itu,
hadis Nabi sebagai riwayat yang memiliki beberapa latar belakang, khususnya
latar belakang sejarah, perlu dilakukan penelitian dalam upaya untuk mengetahui
kualitasnya dilihat dari dapat atau tidak dapatnya dipertanggungjawabkan
keorisinalannya berasal dari Nabi. Berdasarkan kepada latar belakang itulah,
maka suatu riwayat barulah diduga sebagai hadis Nabi bila riwayat tersebut
mengandung sanad dan matan yang memberi indikasi kuat sebagai sesuatu yang
berasal dari Nabi. Untuk itulah penelitian atau kritik hadis (sanad maupun
matan) sangat urgen kedudukannya mengingat dari sinilah kualitas hadis dapat
diketahui sehingga hadis tersebut benar-benar dapat digunakan sebagai hujjah.
Dimensi penelitian hadis tidak hanya
berada dalam kawasan dunia keilmuan semata, tetapi juga dalam kawasan ajaran
dan keyakinan agama. Oleh Karena itu,
dapat dipahami, bila untuk kepentingan penelitian hadis (baik sanad maupun
matannya), diperlukan cukup banyak kitab rujukan dan cabang pengetahuan sebagai
acuan. Beban berat yag demikian itu merupakan salah satu pertimbangan yang sah
untuk dinyatakan bahwa kegiatan penelitian hadis oleh ahlinya adalah salah satu
macam kegiatan ijtihad. Wallahu a`lam.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Adlâbî,
Shalâh al-Dîn ibn Ahmad. Manhaj Naqd al-Matn. Beirut: Dâr
al-Afâq al-Jadîdah, 1983.
Al-Ahdal,
Hasan Muhammad Maqbûlî. Mushthalah al-Hadîts wa
Rijâluh. Shana’a: Maktabah al-Jayyid al-Jadîd, 1993.
Al-Asqalani,
Ibnu Hajar. Tahdzib al-Tahdzib. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1994.
Hâsyim,
Ahmad `Umar. Qawâ`id Ushûl al-Hadîts. Beirut: Dâr al-Fikr, t.th.
Ibn Manzhûr, Muhammad ibn
Mukrim. Lisân al-`Arab. Mesir: al-Dâr
al-Mishriyyah, t.th.
Ismail,
M. Syuhudi. Hadis Nabi Menurut Pembela Pengingkar dan Pemalsunya.
Jakarta: Gema Insani Press, Mei 1995.
. Kaidah
Keshahihan Sanad Hadis( Telaah Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu
Sejarah). Jakarta: Bulan Bintang, 2005.
. Metodologi
Penelitian Hadis Nabi. Jakarta: Bulan Bintang, 1992.
Al-Khathîb,
Muhammad `Ajjâl. Ushûl al-Hadîts `Ulûmuh wa Mushthalâhuh. Beirut:
Dâr al-Fikr, 1989.
Rahman,
Fatchur. Ikhtisar Mushthalahul Hadits. Bandung: al-Ma’arif, 1974.
Al-Shâlih,
Shubhî. `Ulûm al-Hadîts wa Mushthalahuh. Beirut:
Dâr al-`Ulûm al-Malâyîn, 1988.
Al-Sijistanî,
Abu Dawud Sulaiman bin al-Asy’asy. Sunan Abi Dawud. Indonesia: Maktabah
Dahlan, t.th.
Sulaiman,
M. Noor. Antologi Ilmu Hadits. Jakarta: GP press, 2008.
Sumbulah,
Umi. Kritik Hadis Pendekatan Historis Metodologis. Malang: UIN-Malang
Press, 2008.
Suryadi.
Metodologi Ilmu Rijalil Hadis. Yogyakarta: Madani Pustaka Hikmah, 2003.
Al-Thahhan,
Mahmûd, Taisîr Mushthalâh al-Hadîts. Beirut:
Dâr al-Fikr, t.th.
[1] Muhammad
`Ajjâl al-Khathîb, Ushûl al-Hadîts `Ulûmuh wa Mushthalâhuh (Beirut:
Dâr al-Fikr, 1989), hlm. 32.
[2] Fatchur
Rahman, Ikhtisar Mushthalahul Hadits (Bandung: al-Ma’arif, 1974), hlm.
39.
[3] Umi
Sumbulah, Kritik Hadis Pendekatan Historis Metodologis (Malang:
UIN-Malang Press, 2008), hlm. 13.
[4] Ibid.,
hlm. 26.
[5] Ibid.,
hlm. 31.
[6] M.
Syuhudi Ismail, Kaidah Keshahihan Sanad Hadis( Telaah Kritis dan Tinjauan
dengan Pendekatan Ilmu Sejarah) (Jakarta: Bulan Bintang, 2005), hlm. 123.
[7] Hasan
Muhammad Maqbûlî al-Ahdal, Mushthalah al-Hadîts wa
Rijâluh (Shana’a: Maktabah al-Jayyid al-Jadîd, 1993), hlm. 103.
[8] M.
Syuhudi Ismail, Hadis Nabi Menurut Pembela Pengingkar dan Pemalsunya
(Jakarta: Gema Insani Press, Mei 1995), hlm. 76.
[9] M.
Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi (Jakarta: Bulan
Bintang, 1992), hlm. 52. Contoh skema ada di lampiran.
[10] Ibid.,
hlm. 53.
[11] Ibid.
[12] Muhammad ibn Mukrim ibn
Manzhûr, Lisân al-`Arab, jilid 13 (Mesir: al-Dâr al-Mishriyyah,
t.th.), hlm. 456-463.
[13] Ahmad
`Umar Hâsyim, Qawâ`id Ushûl al-Hadîts (Beirut: Dâr al-Fikr, t.th.), hlm.
40.
[14] Mahmûd
al-Thahhan, Taisîr Mushthalâh al-Hadîts (Beirut:
Dâr al-Fikr, t.th). hlm. 30.
[15] M.
Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, hlm. 67.
[16] Ibid.,
hlm. 69.
[17] Ibid.,
hlm. 70.
[18] M.
Syuhudi Ismail, Kaedah Keshahihan Hadis (Telaah Kritis dan Tinjauan Dengan
Pendekatan Ilmu Sejarah), hlm. 135.
[20] Mahmûd
al-Thahhan, Taisîr Mushthalâh al-Hadîts, hlm.
121.
[21] M.
Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, hlm. 70.
[22] Ibid.,
hlm. 71.
[23] Muhammad
`Ajjâl al-Khathîb, Ushûl al-Hadîts `Ulûmuh wa Mushthalâhuh, hlm.
260.
[24] Syarat
kecakapan yang dimaksud (ahliyat al-adâ’) adalah Islam, baligh, berakal,
dan memiliki intelektualitas yang tinggi (dlâbith).
[25] Ibid.,
hlm. 260-261.
[26] Mahmûd
al-Thahhan, Taisîr Mushthalâh al-Hadîts,
hlm. 121.
[27]
Muhammad `Ajjâl al-Khathîb, Ushûl al-Hadîts `Ulûmuh wa Mushthalâhuh,
hlm. 268.
[28] Ibid.
[29] M.
Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, hlm. 74.
[30] M. Noor
Sulaiman, Antologi Ilmu Hadits (Jakarta: GP press, 2008), hlm. 131.
[31]
Suryadi, Metodologi Ilmu Rijalil Hadis (Yogyakarta: Madani Pustaka
Hikmah, 2003), hlm. 43.
[32] Ibid.
[33] M.
Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, hlm. 81.
[34] Ibid.,
hlm. 133.
[35] Shubhî
al-Shâlih, `Ulûm al-Hadîts wa Mushthalahuh (Beirut:
Dâr al-`Ulûm al-Malâyîn, 1988), hlm. 88-90.
[36]Ibid.,
hlm. 93.
[37] Ibid.
[38] Fatchur
Rahman, Ikhtisar Mushthalahul Hadits, hlm. 247.
[39] Shubhî
al-Shâlih, `Ulûm al-Hadîts wa Mushthalahuh, hlm.
99.
[40] Ibid.,
hlm. 100.
[41] Ibid.,
hlm. 101-102. Selengkapnya lihat lampiran.
[42] Umi
Sumbulah, Kritik Hadis Pendekatan Historis Metodologis, hlm. 69.
[43] M.
Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, hlm. 85-86. Lihat juga
Fathur Rahman, Ikhtishar Mushthalah Hadis, hlm. 199.
[44] Ibid.,
hlm 86.
[45] Ibn
Manzhûr, Lisân al-`Arâb, juz 9, hlm 367.
[46] Hasan
Muhammad Maqbûlî al-Ahdal, Mushthalah al-Hadîts wa
Rijâluh, hlm. 105.
[47] M.
Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, hlm. 88.
[48] Umi
Sumbulah, Kritik Hadis Pendekatan Historis Metodologis, hlm. 94.
[49] M.
Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, hlm. 122.
[50] Ibid.,
hlm 123.
[51] Ibid.,
hlm. 127.
[52] Shalâh
al-Dîn ibn Ahmad al-Adlâbî, Manhaj Naqd al-Matn (Beirut: Dâr
al-Afâq al-Jadîdah, 1983), hlm. 238.
[53] M.
Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, hlm. 131.
[54] Ibid.,
hlm. 134.
[55] Ibid,
hlm. 135.
[56] Ibid.,
hlm. 137.
[57] Ibid.,
hlm. 138.
[58] Ibid.,
hlm. 141.
[59] Ibid.
hlm. 138
[60] Ibid.,
hlm. 146.
[61] Abu
Dawud Sulaiman bin al-Asy’asy al-Sijistanî, Sunan Abi Dawud juz 4, )Indonesia,
Maktabah Dahlan, t.th(, hal. 4.
[62] Ibnu
Hajar al-Asqalani, Tahdzib al-Tahdzib, Juz 1,) Beirut: Dar al-Kutub
al-Ilmiyah, 1994(, hal 342.
[63] Ibid.
[64] Ibid.
[65] Ibid.,
hal. 344.
[66] Ibid.,
hal 343.
[67] Ibid.,
hal 344.
[68] M. Noor Sulaiman, Antologi Ilmu Hadits
(Jakarta: Gaung Persada Press, 2008),
hal. 18.
[69]
Al-Asqalany, Tahdzib al-Tahdzib, juz 8, hal. 306.
[70] Ibid.
[71] Ibid.,
hal. 307.
[72] Ibid.,
hal. 308-309.
[73] Ibid.,
hal 307-309.
[74] Noor
Sulaiman, Antologi Ilmu Hadits,
hal. 18
[75]
Al-Asqalany, Tahdzib al-Tahdzib, juz 3, hal. 69.
[76] Ibid.
[77] Ibid.,hal.
70.
[78] Ibid.,
hal. 71.
[79] Ibid.
[80] Ibid.,
hal. 70-71.
[81] Noor
Sulaiman, Antologi Ilmu Hadits,
hal. 16.
[82]
Al-Asqalany, Tahdzib al-Tahdzib, juz 10, hal. 111.
[83] Ibid.
[84] Ibid.
[85] Ibid.
[86] Noor
Sulaiman, Antologi Ilmu Hadits,
hal. 16.
[87]
Al-Asqalany, Tahdzib al-Tahdzib, juz 4, hal. 153.
[88] Ibid.
[89] Ibid.,
hal. 154.
[90] Ibid.
hal. 155.
[91] Ibid.,
hal. 155-156.
[92] Noor
Sulaiman, Antologi Ilmu Hadits,
hal. 16.