Sejarah Perkembangan Hadis
Oleh Cholid Abdullah
A. Pendahuluan
Hadis Nabi diyakini oleh mayoritas
umat Islam sebagi bentuk ajaran yang paling nyata dan merupakan realisasi dari
ajaran Islam yang terkandung dalam al-Qur’an. Dalam hubungan keduanya, hadis
berfungsi sebagai penjelas al-Qur’an. Interpretasi terhadap petunjuk Allah ini
diwujudkan dalam bentuk nyata dalam kehidupan Nabi. Sabda, perilaku, dan
sikapnya terhadap segala sesuatu, terkadang menjadi hukum tersendiri yang tidak
ditemukan dalam al-Qur’an. Otoritas Nabi sebagai pembawa risalah untuk
memberikan petunjuk kehidupan yang benar kepada umatnya.
Kedudukan hadis yang sedemikian
penting tersebut, dalam sejarahnya tercatat kurang menggembirakan karena tidak
terdokumentasi secara resmi resmi sejak awal peradaban muslim. Hal ini
menyebabkan hadis disikapi secara tidak utuh oleh umat Islam sendiri. Dalam
makalah ini penulis berusaha menguraikan seputar perkembangan hadis dari masa
Rasul sampai sekarang.
B. Pembahasan
1. Hadis pada masa Nabi
Data sejarah menunjukkan bahwa
jumlah orang Islam di masa Nabi terus bertambah banyak, baik di periode Makkah
maupun Madinah. Kalau perhatian umat terhadap agama “baru” yang dibawa oleh
Nabi baru amatnya amat besar, agaknya tidak berlebihan. Banyak hal baru yang
mereka dengar dari Nabi. Maka tidak mustahil kalau para sahabat Nabi kemudian
ingin tahu lebih banyak tentang ajaran Nabi dengan cara meluangkan waktu untuk
selalu menyertainya kemudian mereka sampaikan kepada orang lain.
Bahkan ada kabilah di luar Madinah yang mengirimkan beberapa orang hanya untuk
belajar hukum-hukum Islam dari Rasulullah, dan ketika kembali ke komunitasnya
mereka mengajarkan apa yang telah didapat dari Nabi.
Dari sini dapat diketahui
bagaimana para sahabat menerima hadis dari Nabi. Paling tidak ada tiga macam
cara penerimaan hadis Nabi.
Musyâfahah atau berinteraksi langsung dengan
Nabi;
musyâhadah atau menyaksikan perilaku atau ketetapan Nabi; dan
simâ’
atau mendengar dari orang yang mendengar atau menyaksikan langsung dari Nabi,
hal ini karena tidak semua sahabat selalu menghadiri majlis Nabi bersama-sama.
Antara satu dengan yang lain mempunyai hajat yang berbeda.
Boleh dikatakan bahwa pada masa
tersebut adalah masa turunnya wahyu dan pembentukan masyarakat Islam (عصرالوحي والتكوين). Jika dilihat dari data, ketika
Rasulullah masih hidup paling tidak ada tiga sikap dan kebijaksanaan beliau
terhadap hadis, yakni:
a. Rasulullah memerintahkan untuk menghapal, menyampaikan dan
menyebarkan hadis. Dalilnya adalah:
وَحَدِّثُوا
عَنِّى وَلاَ حَرَجَ وَمَنْ كَذَبَ عَلَىَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ
مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
“Dan ceritakanlah
dariku. Tidak ada keberatan bagimu (untuk menceritakan apa yang kamu dengar
dariku). Barangsiapa sengaja berdusta atasku maka hendaklah dia bersiap-siap
menempati kedudukannya di neraka”.
نَضَّرَ
اللَّهُ امْرَأً سَمِعَ مِنَّا شَيْئًا فَبَلَّغَهُ كَمَا سَمِعَ فَرُبَّ
مُبَلَّغٍ أَوْعَى مِنْ سَامِعٍ
“Mudah-mudahan
Allah menyinari sesorang yang mendengar sesuatu dariku, kemudian
menyampaikannya seperti yang ia dengar. Karena boleh jadi orang yang
disampaikan kepadanya lebih faham dari orang yang mendengarnya”.
Dari
hadis di atas, dapat dipahami bahwa Rasulullah menghendaki dan memerintahkan
agar para sahabat menghafal dan menyebarkan baik al-Qur’an maupun hadis.
Singkatnya, beliau memerintahkan untuk menyebarkan agama Islam. Sabda tersebut
dilatarbelakangi oleh keadaan para sahabat saat itu dan juga kepentingan syiar
Islam.
b. Rasulullah
melarang menulis hadis. Dalilnya adalah:
لاَ تَكْتُبُوا عَنِّى وَمَنْ كَتَبَ عَنِّى غَيْرَ الْقُرْآنِ
فَلْيَمْحُهُ
“Janganlah kamu
menulis dariku. Barangsiapa yang telah menulis dariku selain al-Qur’an, maka
hendaknya ia menghapusnya”.
Hadis di atas memberikan pemahaman bahwa apa yang boleh ditulis
dari Rasulullah hanyalah ayat-ayat al-Qur’an saja. Sedangkan yang lainnya
dianggap tidak boleh ditulis. Hal ini dimaksudkan agar ayat-ayat al-Qur’an
tidak tercampur dengan yang bukan al-Qur’an. Demikian alasan logis yang dapat
diambil darinya.
c. Rasulullah memerintahkan menulis hadis. Dalilnya adalah;
لَمَّا فُتِحَتْ مَكَّةُ قَامَ
النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم وَ خَطَبَ فىِ الناَّسِ فَقَامَ رَجُلٌ مِنْ
أَهْلِ الْيَمَنِ يُقَالُ لَهُ أَبُو شَاهٍ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ اكْتُبُوا
لِى. فَقَالَ اكْتُبُوا لأَبِى شَاهٍ
“ Ketika
fath Makkah Nabi Saw. berdiri dan berkhotbah di tengah orang banyak. Kemudian berdirilah laki-laki dari
penduduk Yaman, bernama Abû Syâh. Kemudian berkata “ya Rasulallah tuliskanlah
untukku”. Nabi berkata ”tuliskanlah untuk Abû Syâh”.
Dari
bermacam-macam dalil di atas diperoleh kesan ada pertentangan antara larangan
dan izin menulis hadis. Ada beberapa pendapat ulama yang muncul untuk
mengkompromikan hadis yang tampak bertentangan, di antaranya:
a. Bahwa
larangan menulis hadis telah di-mansûkh oleh hadis yang memerintahkan
penulisan hadis.
b. Bahwa
larangan itu bersifat umum kepada sahabat, sedangkan untuk beberapa sahabat
secara khusus ada yang diizinkan menulis.
c. Bahwa
larangan menulis hadis ditujukan untuk mereka yang dikhawatirkan
mencampuradukkan al-Qur’an dengan yang lainnya. Sedangkan izin untuk menulis
hadis hanya ditujukan kepada mereka yang dijamin tidak akan mencampuradukkan
dengan al-Qur’an.
d. Bahwa
larangan itu hanya pada pengkodifikasian secara formal seperti dalam bentuk mushhaf
al-Qur’an, sedangkan jika hanya sekedar berupa catatan-catatan untuk dipakai
sendiri tidak dilarang.
e. Bahwa
larangan itu berlaku pada saat wahyu masih turun, belum dihafal dan dicatat
oleh para sahabat, sedangkan setelah wahyu-wahyu yang turun tersebut telah
dihafal dan dicatat, maka penulisan hadis diperbolehkan.
f. Bahwa
larangan penulisan hadis terjadi pada periode permulaan Islam, sedangkan pada
periode akhir kerasulan diizinkan untuk menulis hadis.
g. Bahwa
larangan penulisan hadis berlaku apabila hal itu dilakukan dalam satu lembar
kertas bersama al-Qur’an, Karena apabila hal ini terjadi, dikhawatirkan
al-Qur’an akan tercampur dengan hadis.
2. Hadis
pada masa sahabat
Setelah
Nabi Muhammad wafat, para sahabat belum memikirkan penghimpunan dan
pengkodifikasian hadis, karena banyaknya problem yang dihadapi. Di antaranya,
timbulnya kelompok orang yang murtad, timbulnya peperangan sehingga banyak
penghafal al-Qur’an yang gugur dan konsentrasi mereka bersama Abû Bakar dalam
membukukan al-Qur’an. Demikian juga kasus lain, kondisi orang-orang asing non
Arab yang masuk Islam yang tidak faham bahasa Arab secara baik sehingga
dikhawatirkan tidak bisa membedakan antara al-Qur’an dan hadis.
Demikian
juga sahabat `Umar khawatir jika dalam pembukuan hadis menimbulkan tasyabbuh
dengan ahli kitab yakni Yahudi dan Nasrani yang meninggalkan kitab Allah dan
menggantikannya dengan kalam mereka. `Umar khawatir jika umat Islam akan
meninggalkan al-Qur’an dan hanya membaca hadis. Jadi Abû Bakar dan `Umar tidak
berarti melarang penghimpunan dan pengkodifikasian hadis, tetapi melihat
kondisi pada masanya belum memungkinkan untuk itu.
Para
sahabat sangat berhati-hati dalam periwayatan hadis dari Rasul karena takut
terjatuh dalam kesalahan dan juga khawatir adanya distorsi pada hadis. Mereka
hanya meriwayatkan hadis jika hanya diperlukan saja, sebagai bentuk
kehati-hatian mereka. Oleh sebab itu, masa tersebut dikenal sebagai
masa pembatasan riwayat (taqlîl al-riwâyah).
Gambaran
di atas hanya gambaran umum, karena pada kenyataannya sudah ada sebagian
sahabat yang membuat catatan-catatan hadis dalam bentuk shahîfah
(lembaran), bahkan ketika Rasulullah masih hidup. Selain itu, Rasulullah juga
secara khusus memberi ijin pada sahabat tertentu untuk menulis hadis di luar
larangan umum penulisan hadis. Kebanyakan shahîfah-shahîfah
ini ditulis pada tahun-tahun terakhir kehidupan Rasulullah. Di antara sahabat yang mempunyai shahîfah,
menurut Shubhi al-Shâlih, adalah Sa’ad ibn `Ubâdah, `Abdullâh ibn
Abî Aufâ, Samurah ibn Jundub, Jâbir ibn `Abdillâh, dan `Abdullâh ibn `Amr ibn
al-`Âsh. Shahîfah yang paling masyhur adalah shahifah milik
`Abdullâh ibn `Amr ibn al-`Âsh yang dikenal dengan nama shahîfah
al-shâdiqah yang memuat 1000 hadis sebagaimana yang dikatakan Ibn al-Atsîr.
Setelah
al-Qur’an terkodifikasi pada masa khalifah `Utsmân, banyak sahabat yang semula
melarang menulis hadis akhirnya memperbolehkan penulisan hadis bahkan
menganjurkannya setelah tidak ada lagi kekhawatiran tercampurnya al-Qur’an
dengan hadis. Hukum kebolehan menulis hadis terjadi secara berangsur-angsur (tadarruj).
Pada saat wahyu turun, umat Islam menghabiskan waktunya untuk menghafal dan
menulis al-Qur’an. Hadis hanya disimpan dalam dada, disampaikan dari lesan ke
lesan, dan dipraktekkan. Kemudian setelah al-Qur’an dapat terpelihara dengan
baik, penulisan dan pengkodifikasian hadis diperbolehkan.
Pada
masa `Alî, timbul perpecahan di kalangan umat Islam akibat konflik politik
antara pendukung `Alî dan Mu`awiyah, yang mengakibatkan umat Islam terpecah
menjadi tiga kelompok, yakni Khawârij, Syi`ah, dan jumhur muslimin; di mana
kelompok terakhir ini tidak ikut Khawârij maupun Syi`ah, ada yang mendukung
pemerintahan `Alî juga ada yang mendukung Mu`awiyah ada pula yang tidak mau
melibatkan diri dalam kancah politik.
Akibat
perpecahan ini, timbul fanatisme kelompok yang mengakibatkan dengan mudahnya
membuat hadis-hadis palsu (maudlû`) untuk memberikan legitimasi bahwa
kelompoknya-lah yang paling benar. Selain itu, perpecahan ini mengakibatkan
penolakan terhadap periwayatan hadis di luar golongannya. Syi`ah misalnya,
hanya menerima hadis yang perawinya dari ahli bait, sedangkan Khawârij menolak
hadis para sahabat yang terlibat dalam perdamaian antara pendukung `Alî dan
Mu`awiyah.
3. Hadis
pada masa Tabi`in
Pada
akhir periode Khulafâ’ al-Râsyidîn, para sahabat yang mengetahui dan menghapal
banyak hadis telah banyak menyebar ke beberapa wilayah yang dikuasai Islam. Ini
memudahkan para Tabi`in untuk mempelajari hadis dari mereka. Dalam perkembangan
selanjutnya, kegiatan periwayatan hadis mulai berkembang sejalan dengan
banyaknya ulama yang tertarik untuk menulis fatwa-fatwa dari para sahabat dan
tabi`in dalam memecahkan permasalahan-permasalahan yang timbul pada waktu itu.
Dan untuk mengantisipasi hilangnya hadis-hadis Nabi karena adanya hadis-hadis
palsu, ditambah dengan banyaknya para ulama dari kalangan sahabat yang wafat
dalam menegakkan agama, maka usaha penulisan hadis semakin giat dilakukan di
kalangan tabi`in.
Adalah Khalifah
`Umar ibn `Abd al-`Azîz yang mempunyai gagasan untuk mengumpulkan hadis dan membukukannya
karena takut akan tersia-sia dari hadis tersebut atau takut tercampurnya yang
haq dengan yang batil. Beliau memerintahkan kepada gubernur di seluruh wilayah
Islam agar para ulama dan ahli ilmu mengumpulkan dan membukukan hadis. Hal ini
tercermin dari surat beliau yang dikirim untuk Abû Bakar ibn Hazm,
sebagaimana dikutip oleh Muhammad ibn Muhammad Abû Syahbah, yang
diriwayatkan oleh Bukhârî secara mu`allaq:
أن انظر ما كان عندك أى فى بلدك من حديث رسول
الله صلى الله عليه وسلم فاكتبه فإنى خفت دروس العلم وذهاب العلماء.
“Lihatlah
apa yang ada di sekitarmu (di daerahmu) dari hadis Rasulullah saw. kemudian
tulislah. Sesungguhnya aku khawatir hilangnya ilmu dan lenyapnya para ulama”.
Tidak diketahui secara pasti siapa di antara
ulama yang lebih dahulu dalam melaksanakan instruksi dari khalifah tersebut.
Sebagaian pendapat mengatakan Abû Bakar ibn Hazm sebagaimana teks di
atas, sebagian lainnya mengatakan al-Rabî` ibn Shâbih, Sa`îd ibn `Arûbah, dan
Muhammad ibn Muslim ibn Syihâb al-Zuhrî. Namun pendapat yang paling
popular adalah Muhammad ibn Muslim ibn Syihâb al-Zuhrî, sedangkan Ibn Hazm
hanya menyampaikan instruksi khalifah ke seluruh negeri kekuasaan dan belum
melakukan kodifikasi. Al-Zuhrî dinilai sebagai orang pertama dalam melaksanakan
tugas pengkodifikasian hadis dari khalifah.
Kemudian
aktifitas penghimpunan dan pengkodifikasian hadis tersebar di berbagai wilayah
Islam pada abad kedua hijriyah, di antaranya Imam Mâlik (w. 179 H) di Madinah,
`Abd al-`Azîz ibn Juraij (w. 150 H) di Makkah, al-Auzâ`î (w. 156 H) di Syam,
Ma`mar ibn Râsyid (w. 153 H) di Yaman, Sa`îd ibn `Arûbah (w. 156 H) dan Hammâd
ibn Salmah (w. 176 H) di Bashrah, Sufyân al-Tsaurî (w. 161 H) di Kufah,
`Abdullâh ibn al-Mubârak (w. 181 H) di Khurasan, Hasyîm ibn Basyîr (w. 188 H)
di Wasith, Jarîr ibn `Abd al-Hamîd (w. 188 H) di Ray, dan banyak lagi
yang lain yang semuanya terjadi dalam abad kedua hijriyah. Namun ciri umum kodifikasi pada masa ini
adalah masih bercampurnya hadis dengan fatwa sahabat dan tabi`in, seperti dalam
al-Muwaththa`-nya imam Mâlik.
4. Hadis
masa Tabi` al-Tabi`in
Periode
ini, yakni abad ketiga hijriyah, disebut masa kejayaan sunnah (min `ushûr
al-izdihâr) atau disebut masa keemasan sunnah (min al-`ushûr
al-dzahabiyah), karena pada masa ini kegiatan rihlah mencari
ilmu dan sunnah serta pembukuannya mengalami puncak keberhasilan yang luar
biasa. Pada masa ini banyak ulama yang menyusun musnad
yang sudah terbebas dari fatwa-fatwa sahabat maupun tabi`in, hanya berisi hadis
Nabi saja. Orang yang pertama kali menyusun sebuah musnad adalah Abû
Dâwûd al-Thayâlisî (w. 204 H). Terhitung ada beberapa ulama yang menyusun musnad
di antaranya; musnad `Abdullâh ibn Mûsâ (w. 213 H), musnad al-Humaidî
(w. 219 H), musnad Ishâq ibn Rahawaih (w. 237 H) musnad Ahmad
ibn Hanbal (w. 241 H) dan lain-lain. Musnad yang paling lengkap adalah musnad
Ahmad ibn Hanbal.
Selain musnad,
pada periode ini juga disusun kitab-kitab hadis yang sudah dibagi-bagi menjadi
bab-bab. Ada yang disusun dengan teknik pengakumulasian sembilan masalah yaitu
akidah, hukum, perbudakaan, adab makan minum, tafsir, sejarah, sifat-sifat
akhlak, fitnah, dan manakib yang dikenal dengan al-Jâmi` seperti al-Jâmi`
al-Shahîh li al-Bukhârî, al-Jâmi` al-Shahih
li Muslim. Ada juga yang disusun
berdasarkan sistematika fikih yang dikenal dengan nama Sunan,
seperti Sunan al-Nasâ’î, Sunan al-Tirmidzî, Sunan Abû Dâwûd,
dan Sunan Ibn Mâjah. Keenam kitab tersebut dikenal dengan nama Kutub al-Sittah.
5. Hadis
pada masa sesudah Tabi` al-Tabi`in hingga sekarang
Pada
masa ini disebut masa penghimpunan dan penertiban (al-jâmi` wa al-tartîb).
Di antara kegiatan pengkodifikasian hadis pada periode ini adalah dalam bentuk mu`jam
(ensiklopedi), shahih (himpunan hadis shahih yang
penyusunannya mengikuti metode Bukhârî dan Muslim), mustadrak (susulan
shahih), sunan, al-jam`u (gabungan dua atau beberapa kitab
hadis), ikhtishâr (resume), dan syarah (ulasan).
Pada
perkembangan selanjutnya, abad ke 7-8 H dan berikutnya disebut masa
penghimpunan dan pembukuan hadis secara sistematis (al-jam`u wa al-Tanzhîm).
Jatuhnya pemerintahan Abbasiyah ke tangan bangsa Tartar mengakibatkan pindahnya
pusat pemerintahan dari Baghdad ke Kairo dan India. Pada masa ini banyak kepala
pemerintahan yang berkecimpung dalam bidang ilmu hadis seperti al-Barquq.
Namun
pada akhir abad ketujuh hijriyah, Turki dapat menguasai daerah-daerah Islam,
dan mengganti kekhalifahan Abbasiyah dengan Ottoman. Bersamaan dengan itu pula
sinar keemasan Islam mulai padam. Belum lagi imperialis Barat yang menguasai
dunia Islam dengan menjajah dan memperbudak umat Islam.
Karena
kondisi di atas, ulama hadis tidak bebas dalam menyampaikan dan menerima hadis.
Maka dilakukan secara murâsalât (korespondensi), ijâzah, dan imlâ’. Metode ijâzah artinya seorang
guru memberikan izin kepada muridnya untuk meriwayatkan hadis yang ditulis oleh
gurunya. Sedangkan metode imlâ’ artinya seorang guru hadis duduk di
masjid kemudian ia menguraikan hadis itu baik dari dari segi kualitasnya,
kandungannya dan lain-lain, sedang yang hadir mencatat, seperti yang dilakukan
oleh Zainuddîn al-`Irâqî dan Ibn Hajar al-`Asqalânî.
Perkembangan
penulisan hadis pada periode di atas adalah menyusun kembali kitab-kitab hadis
terdahulu secara sistematik, baik dari segi matan dan sanadnya untuk memudahkan
bagi umat Islam untuk mempelajarinya. Sampai abad sekarang dapat dikatakan
tidak ada kegiatan yang berarti dari para ulama dalam bidang hadis kecuali
hanya membaca, memahami, takhrîj, dan memberikan syarah hadis-hadis yang
telah terhimpun sebelumnya.
Secara
sistematis perkembangan hadis dapat dilihat dari table di bawah ini:
No
|
Periode
|
Perkembangan
|
Karakteristik Penulisan
|
Model Buku
|
1.
|
Masa Nabi Muhammad
|
Larangan penulisan secara umum
|
Hadis dihafal diluar kepala
|
Catatan pribadi bentuk shahîfah
(lembaran)
|
2.
|
Masa Sahabat
|
Penyederhanaan Riwayat (taqlîl al-riwâyah)
pada masa khulafaur rasyidin dan masa perlawatan hadis (rihlah
`ilmiyah) masa setelahnya
|
Disertai sumpah dan saksi pada masa khulafaur
rasyidin dan disertai sanad pada masa setelahnya
|
Catatan pribadi dalam bentuk shahîfah
(lembaran)
|
3.
|
Masa Tabi`in
|
Penghimpunan dan kodifikasi hadis (al-jam`u
wa al-tadwîn)
|
bercampur antara hadis Nabi dengan fatwa
sahabat dan qoul sahabat
|
Shahîfah, mushannaf, muwaththa’, musnad,
jâmi`
|
4.
|
Masa Tabi` al-Tabi`in
|
kejayaan kodifikasi hadis (azhâ al-`ushûr
al-sunnah)
|
Filterisasi dan klasifikasi (`ashr al-jam`i
wa al-tashhîh)
|
Musnad, jâmî`,
sunan
|
5.
|
Masa setelah Tabi` al-Tabi`in (abad IV H dan
seterusnya)
|
Penghimpunan dan penertiban secara sistematik
(al-jam`u wa al-tartîb wa al-tanzhîm)
|
Bereferensi (murâja`ah) pada buku-buku
sebelumnya tetapi lebih sistematik
|
Mu`jam, mustadrak,
mustakhraj, ikhtishâr, syarah, zawâ’id, jâmi`,
jawâmi`, athrâf, takhrîj, ahkâm.
|
Dalam
masa kontemporer, otentisitas hadis banyak mendapat serangan dari kaum
orientalis maupun inkarussunnah. Adalah Ignaz Goldziher seorang orientalis dari
Hungaria yang menulis buku Muhammadanische Studien, menurut perkiraan
Prof. Dr M.M. Azami adalah seorang orientalis yang pertama kali melakukan
kajian tentang hadis. Buku tersebut sampai saat ini dianggap sebagai “kitab
suci” di kalangan orientalis. Enam puluh tahun sesudah terbitnya karya
Goldziher, Joseph Schacht menrbitkan hasil penelitiannya tentang hadis dalam
sebuah buku yang berjudul The Origin of Muhammadan Jurispundence. Buku
ini juga menjadi “kitab suci” kedua di kalangan orientalis.
Baik
Goldziher maupun Schacht berpendapat bahwa hadis tidaklah berasal dari Nabi
Muhammad, melainkan sesuatuyang lahir pada abad pertama dan kedua hijriyah.
Atau dengan kata lain, hadis adalah bikinan para ulama abad pertama dan kedua
hijriyah. Goldziher berkata, “bagian terbesar dari hadis tidak lain adalah
hasil perkembangan Islam pada abad pertama dan kedua, baik dalam bidang agama,
politik, maupun sosial. Tidak lah benar pendapat yang mengatakan bahwa hadis
merupakan dokumen Islam yang sudah ada sejak masa dini (masa pertumbuhan),
melainkan adalah pengaruh perkembangan Islam pada masa kematangan”. Sementara
Schacht berkata, “bagian terbesar dari sanad hadis adalah palsu. Semua orang
mengetahui bahwa sanad pada mulanya muncul dalam bentuk yang sangat sederhana,
kemudian mencapai tingkat kesempurnaannya pada paruh kedua dari abad ketiga
hijriyah”.
Sementara
Inkarusunnah dapat dipahami sebagai suatu nama atau aliran atau paham keagamaan
dalam masyarakat Islam yang menolak atau mengingkari sunnah untuk dijadikan sumber
dan dasar syari’at Islam. Inkarussunnah sebenarnya sudah muncul pada
abad-abad klasik namun menghilang dari peredaran pada akhir abad ketiga
hijriyah. Inkarussunnah klasik kebanyakan masih merupakan pendapat perorangan
di mana hal itu muncul akibat ketidak tahuan mereka tentang fungsi dan
kedudukan sunnah dalam Islam. Karenanya, setelah diberitahu tentang urgensi
sunnah, mereka akhirnya menerimanya. Sementara inkarussunnah modern memiliki
karakteristik yang berbeda dengan inkarussunnah klasik, baik dari segi sebab-sebab
kemunculannya, lokasinya, bentuknya, maupun sikap-sikap personalnya setelah
kepada mereka diterangkan fungsi dan kedudukan sunnah.
Namun
Allah masih memberikan pertolongannya kepada umat Islam dengan mendatangkan
ulama-ulama pembela sunnah. Imam al-Syâfi`î, misalnya, diberi julukan nâshir
al-sunnah (pembela sunnah) karena pernah berdebat dengan kelompok
pengingkar sunnah yang akhirnya tunduk dan menyatakan menerima hadis. Sementara
di era modern muncullah nama-nama seperti Mushthafâ al-Sibâ`î, Muhammad
`Ajjâj al-Khathîb, Muhammad Mushthafâ al-A`zhamî, dan lain-lain untuk
membela sunnah dari serangan orientalis maupun inkarussunnah.
6. Perbedaan
Dalam Memahami Hadis
Dalam
kenyataannya, di kalangan sahabat sendiri ada yang memiliki kelebihan
pengetahuan dan pemahaman tentang hadis dibandingkan dengan sahabat lainnya. Hal
ini disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya:
a. Tempat
tinggal yang jauh
Faktor
ini mempengaruhi banyak sedikitnya hadis yang dapat didengar. Ini membawa
kepada timbulnya perbedaan dalam hal jumlah informasi yang dapat diterima dari
Nabi dan sekaligus mempengaruhi pemahamannya terhadap hadis tersebut.
b. Intelektual
dan kecakapan
Tidak
semua sahabat memiliki keilmuan dan intelektual yang sama. Begitu pula tingkat
pemahamannya antara satu sahabat dengan yang lain juga berbeda-beda. Ada yang
memiliki pemahaman yang kuat, menengah, dan ada pula yang kurang. Faktor ini
tentunya betpengaruh kepada pengetahuan yang dimilikinya tentang hadis Nabi
yang diterimanya.
c. Keintiman
/ keakraban pergaulannya dengan Nabi
Sahabat
yang lebih akrab dan intim dengan Nabi, tentunya lebih banyak menerima hadis
Nabi disbanding dengan sahabat yang karena faktor-faktor tertentu tidak dapat
begitu dekat atau akrab dengan Nabi. Hal ini tentunya juga mempengaruhi tingkat
pemahaman dan pengetahuan tentang hadis Nabi
d. Masa
cepat atau lambatnya masuk Islam
Sahabat
yang lebih dulu masuk Islam tentusaja pengetahuannya tentang hadis Nabi akan
lebih banyak dibandingkan dengan sahabat yang baru saja masuk Islam.
Karena
terjadi perbedaan-perbedaan tersebut, sebagai konsekuensinya adalah periwayatan
hadis dengan makna saja (bi al-ma`nâ), yakni hadis-hadis disampaikan
dengan mengemukakan maknanya saja, sehingga antar sahabat dapat meriwayatkan
satu hadis dengan kalimat yang berbeda-beda pula tetapi sama dalam makna.
Hal ini
tentunya juga membawa konsekuensi terhadap generasi setelah sahabat hingga
generasi sekarang. Karena banyaknya hadis yang diriwayatkan hadis bi
al-ma`nâ, maka tidak salah jika dalam satu hadis saja terjadi banyak
interpretasi antara satu orang dengan orang lain. Hal ini adalah konsekuensi
logis akibat adanya riwayat bi al-ma`nâ.
C. Penutup
Hadis
mempunyai peranan penting dalam kedudukannya sebagai sumber hukum. Karena di
samping merupakan penjelas dari kandungan al-Qur’an, hadis terkadang juga
memberikan hukum baru yang belum dijelaskan secara ekspilsit oleh al-Qur’an.
Mempelajari sejarah hadis merupakan upaya untuk mengetahui kedudukan sekaligus
keotentikan hadis itu sendiri.
DAFTAR
PUSTAKA
Abû Syahbah, Muhammad ibn Muhammad. Difâ`
`an al-Sunnah. Kairo: Maktabah al-Sunnah, 1989.
Abû Zahwa, Muhammad Muhammad. al-Hadîts
wa al-Muhadditsûn. Ttp: al-Maktabah al-Taufîqiyah, tth.
Badrân, Badrân Abû al-`Ainain. al-Hadîts
al-Nabawiyy al-Syarîf Târîkhuh wa Mushtalahâtuh.
Iskandariyah: Mu’assisah Syabâb al-Jâmi`ah, 1983.
CD Syâmilah
Khaeruman, Badri. Otentisitas Hadis Studi
Kritis Atas Kajian Hadis Kontemporer. Bandung: PT Remaja Rosdakarya: 2004.
Al-Khathîb, Muhammad `Ajâj. Ushûl al-Hadîts
`Ulûmuh wa Mushthalahuh. Beirut: Dâr al-Fikr,1989.
Khon, Abdul Majid. Ulumul Hadis. Jakarta:
Amzah, 2009.
Al-Shâlih, Shubhî. `Ulûm al-Hadîts
wa Mushthalahuh. Beirut: Dâr al-`Ilm li al-Malâyîn, 1988.
Sulaiman, M. Noor. Antologi Ilmu Hadits.
Jakarta: GP Press, 2008.
Yaqub, Ali Mustafa. Kritik Hadis. Jakarta:
Pustaka Firdaus, 2008.
Zuhri, Muh.. Hadis Nabi Telaah Historis dan
Metodologis. Yogyakarta: Tiara Wacana, 2003.