-

Rabu, 30 April 2014

Sejarah Perkembangan Hadis



Sejarah Perkembangan Hadis
Oleh Cholid Abdullah

A.  Pendahuluan
Hadis Nabi diyakini oleh mayoritas umat Islam sebagi bentuk ajaran yang paling nyata dan merupakan realisasi dari ajaran Islam yang terkandung dalam al-Qur’an. Dalam hubungan keduanya, hadis berfungsi sebagai penjelas al-Qur’an. Interpretasi terhadap petunjuk Allah ini diwujudkan dalam bentuk nyata dalam kehidupan Nabi. Sabda, perilaku, dan sikapnya terhadap segala sesuatu, terkadang menjadi hukum tersendiri yang tidak ditemukan dalam al-Qur’an. Otoritas Nabi sebagai pembawa risalah untuk memberikan petunjuk kehidupan yang benar kepada umatnya.[1]
Kedudukan hadis yang sedemikian penting tersebut, dalam sejarahnya tercatat kurang menggembirakan karena tidak terdokumentasi secara resmi resmi sejak awal peradaban muslim. Hal ini menyebabkan hadis disikapi secara tidak utuh oleh umat Islam sendiri. Dalam makalah ini penulis berusaha menguraikan seputar perkembangan hadis dari masa Rasul sampai sekarang.

B.  Pembahasan
1.    Hadis pada masa Nabi
Data sejarah menunjukkan bahwa jumlah orang Islam di masa Nabi terus bertambah banyak, baik di periode Makkah maupun Madinah. Kalau perhatian umat terhadap agama “baru” yang dibawa oleh Nabi baru amatnya amat besar, agaknya tidak berlebihan. Banyak hal baru yang mereka dengar dari Nabi. Maka tidak mustahil kalau para sahabat Nabi kemudian ingin tahu lebih banyak tentang ajaran Nabi dengan cara meluangkan waktu untuk selalu menyertainya kemudian mereka sampaikan kepada orang lain.[2] Bahkan ada kabilah di luar Madinah yang mengirimkan beberapa orang hanya untuk belajar hukum-hukum Islam dari Rasulullah, dan ketika kembali ke komunitasnya mereka mengajarkan apa yang telah didapat dari Nabi.[3]
Dari sini dapat diketahui bagaimana para sahabat menerima hadis dari Nabi. Paling tidak ada tiga macam cara penerimaan hadis Nabi. Musyâfahah atau berinteraksi langsung dengan Nabi; musyâhadah atau menyaksikan perilaku atau ketetapan Nabi; dan simâ’ atau mendengar dari orang yang mendengar atau menyaksikan langsung dari Nabi, hal ini karena tidak semua sahabat selalu menghadiri majlis Nabi bersama-sama. Antara satu dengan yang lain mempunyai hajat yang berbeda.[4]
Boleh dikatakan bahwa pada masa tersebut adalah masa turunnya wahyu dan pembentukan masyarakat Islam (عصرالوحي والتكوين). Jika dilihat dari data, ketika Rasulullah masih hidup paling tidak ada tiga sikap dan kebijaksanaan beliau terhadap hadis, yakni:
a.    Rasulullah memerintahkan untuk menghapal, menyampaikan dan menyebarkan hadis. Dalilnya adalah:
وَحَدِّثُوا عَنِّى وَلاَ حَرَجَ وَمَنْ كَذَبَ عَلَىَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ [5]
“Dan ceritakanlah dariku. Tidak ada keberatan bagimu (untuk menceritakan apa yang kamu dengar dariku). Barangsiapa sengaja berdusta atasku maka hendaklah dia bersiap-siap menempati kedudukannya di neraka”.

نَضَّرَ اللَّهُ امْرَأً سَمِعَ مِنَّا شَيْئًا فَبَلَّغَهُ كَمَا سَمِعَ فَرُبَّ مُبَلَّغٍ أَوْعَى مِنْ سَامِعٍ  [6]
“Mudah-mudahan Allah menyinari sesorang yang mendengar sesuatu dariku, kemudian menyampaikannya seperti yang ia dengar. Karena boleh jadi orang yang disampaikan kepadanya lebih faham dari orang yang mendengarnya”.

Dari hadis di atas, dapat dipahami bahwa Rasulullah menghendaki dan memerintahkan agar para sahabat menghafal dan menyebarkan baik al-Qur’an maupun hadis. Singkatnya, beliau memerintahkan untuk menyebarkan agama Islam. Sabda tersebut dilatarbelakangi oleh keadaan para sahabat saat itu dan juga kepentingan syiar Islam.[7]
b.    Rasulullah melarang menulis hadis. Dalilnya adalah:
لاَ تَكْتُبُوا عَنِّى وَمَنْ كَتَبَ عَنِّى غَيْرَ الْقُرْآنِ فَلْيَمْحُهُ[8]
Janganlah kamu menulis dariku. Barangsiapa yang telah menulis dariku selain al-Qur’an, maka hendaknya ia menghapusnya”.

Hadis di atas memberikan pemahaman bahwa apa yang boleh ditulis dari Rasulullah hanyalah ayat-ayat al-Qur’an saja. Sedangkan yang lainnya dianggap tidak boleh ditulis. Hal ini dimaksudkan agar ayat-ayat al-Qur’an tidak tercampur dengan yang bukan al-Qur’an. Demikian alasan logis yang dapat diambil darinya.[9]
c.    Rasulullah memerintahkan menulis hadis. Dalilnya adalah;

لَمَّا فُتِحَتْ مَكَّةُ قَامَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم وَ خَطَبَ فىِ الناَّسِ فَقَامَ رَجُلٌ مِنْ أَهْلِ الْيَمَنِ يُقَالُ لَهُ أَبُو شَاهٍ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ اكْتُبُوا لِى. فَقَالَ  اكْتُبُوا لأَبِى شَاهٍ [10]

“ Ketika fath Makkah Nabi Saw. berdiri dan berkhotbah di tengah orang  banyak. Kemudian berdirilah laki-laki dari penduduk Yaman, bernama Abû Syâh. Kemudian berkata “ya Rasulallah tuliskanlah untukku”. Nabi berkata ”tuliskanlah untuk Abû Syâh”.

Dari bermacam-macam dalil di atas diperoleh kesan ada pertentangan antara larangan dan izin menulis hadis. Ada beberapa pendapat ulama yang muncul untuk mengkompromikan hadis yang tampak bertentangan, di antaranya:
a.    Bahwa larangan menulis hadis telah di-mansûkh oleh hadis yang memerintahkan penulisan hadis.
b.    Bahwa larangan itu bersifat umum kepada sahabat, sedangkan untuk beberapa sahabat secara khusus ada yang diizinkan menulis.
c.    Bahwa larangan menulis hadis ditujukan untuk mereka yang dikhawatirkan mencampuradukkan al-Qur’an dengan yang lainnya. Sedangkan izin untuk menulis hadis hanya ditujukan kepada mereka yang dijamin tidak akan mencampuradukkan dengan al-Qur’an.
d.   Bahwa larangan itu hanya pada pengkodifikasian secara formal seperti dalam bentuk mushhaf al-Qur’an, sedangkan jika hanya sekedar berupa catatan-catatan untuk dipakai sendiri tidak dilarang.
e.    Bahwa larangan itu berlaku pada saat wahyu masih turun, belum dihafal dan dicatat oleh para sahabat, sedangkan setelah wahyu-wahyu yang turun tersebut telah dihafal dan dicatat, maka penulisan hadis diperbolehkan.[11]
f.     Bahwa larangan penulisan hadis terjadi pada periode permulaan Islam, sedangkan pada periode akhir kerasulan diizinkan untuk menulis hadis.[12]
g.    Bahwa larangan penulisan hadis berlaku apabila hal itu dilakukan dalam satu lembar kertas bersama al-Qur’an, Karena apabila hal ini terjadi, dikhawatirkan al-Qur’an akan tercampur dengan hadis.[13]

2.    Hadis pada masa sahabat
Setelah Nabi Muhammad wafat, para sahabat belum memikirkan penghimpunan dan pengkodifikasian hadis, karena banyaknya problem yang dihadapi. Di antaranya, timbulnya kelompok orang yang murtad, timbulnya peperangan sehingga banyak penghafal al-Qur’an yang gugur dan konsentrasi mereka bersama Abû Bakar dalam membukukan al-Qur’an. Demikian juga kasus lain, kondisi orang-orang asing non Arab yang masuk Islam yang tidak faham bahasa Arab secara baik sehingga dikhawatirkan tidak bisa membedakan antara al-Qur’an dan hadis.[14]
Demikian juga sahabat `Umar khawatir jika dalam pembukuan hadis menimbulkan tasyabbuh dengan ahli kitab yakni Yahudi dan Nasrani yang meninggalkan kitab Allah dan menggantikannya dengan kalam mereka. `Umar khawatir jika umat Islam akan meninggalkan al-Qur’an dan hanya membaca hadis. Jadi Abû Bakar dan `Umar tidak berarti melarang penghimpunan dan pengkodifikasian hadis, tetapi melihat kondisi pada masanya belum memungkinkan untuk itu.[15]
Para sahabat sangat berhati-hati dalam periwayatan hadis dari Rasul karena takut terjatuh dalam kesalahan dan juga khawatir adanya distorsi pada hadis. Mereka hanya meriwayatkan hadis jika hanya diperlukan saja, sebagai bentuk kehati-hatian mereka.[16] Oleh sebab itu, masa tersebut dikenal sebagai masa pembatasan riwayat (taqlîl al-riwâyah).
Gambaran di atas hanya gambaran umum, karena pada kenyataannya sudah ada sebagian sahabat yang membuat catatan-catatan hadis dalam bentuk shahîfah (lembaran), bahkan ketika Rasulullah masih hidup. Selain itu, Rasulullah juga secara khusus memberi ijin pada sahabat tertentu untuk menulis hadis di luar larangan umum penulisan hadis. Kebanyakan shahîfah-shahîfah ini ditulis pada tahun-tahun terakhir kehidupan Rasulullah.[17] Di antara sahabat yang mempunyai shahîfah, menurut Shubhi al-Shâlih, adalah Sa’ad ibn `Ubâdah, `Abdullâh ibn Abî Aufâ, Samurah ibn Jundub, Jâbir ibn `Abdillâh, dan `Abdullâh ibn `Amr ibn al-`Âsh. Shahîfah yang paling masyhur adalah shahifah milik `Abdullâh ibn `Amr ibn al-`Âsh yang dikenal dengan nama shahîfah al-shâdiqah yang memuat 1000 hadis sebagaimana yang dikatakan Ibn al-Atsîr.[18]
Setelah al-Qur’an terkodifikasi pada masa khalifah `Utsmân, banyak sahabat yang semula melarang menulis hadis akhirnya memperbolehkan penulisan hadis bahkan menganjurkannya setelah tidak ada lagi kekhawatiran tercampurnya al-Qur’an dengan hadis. Hukum kebolehan menulis hadis terjadi secara berangsur-angsur (tadarruj). Pada saat wahyu turun, umat Islam menghabiskan waktunya untuk menghafal dan menulis al-Qur’an. Hadis hanya disimpan dalam dada, disampaikan dari lesan ke lesan, dan dipraktekkan. Kemudian setelah al-Qur’an dapat terpelihara dengan baik, penulisan dan pengkodifikasian hadis diperbolehkan.[19]
Pada masa `Alî, timbul perpecahan di kalangan umat Islam akibat konflik politik antara pendukung `Alî dan Mu`awiyah, yang mengakibatkan umat Islam terpecah menjadi tiga kelompok, yakni Khawârij, Syi`ah, dan jumhur muslimin; di mana kelompok terakhir ini tidak ikut Khawârij maupun Syi`ah, ada yang mendukung pemerintahan `Alî juga ada yang mendukung Mu`awiyah ada pula yang tidak mau melibatkan diri dalam kancah politik.[20]
Akibat perpecahan ini, timbul fanatisme kelompok yang mengakibatkan dengan mudahnya membuat hadis-hadis palsu (maudlû`) untuk memberikan legitimasi bahwa kelompoknya-lah yang paling benar. Selain itu, perpecahan ini mengakibatkan penolakan terhadap periwayatan hadis di luar golongannya. Syi`ah misalnya, hanya menerima hadis yang perawinya dari ahli bait, sedangkan Khawârij menolak hadis para sahabat yang terlibat dalam perdamaian antara pendukung `Alî dan Mu`awiyah.[21]

3.    Hadis pada masa Tabi`in
Pada akhir periode Khulafâ’ al-Râsyidîn, para sahabat yang mengetahui dan menghapal banyak hadis telah banyak menyebar ke beberapa wilayah yang dikuasai Islam. Ini memudahkan para Tabi`in untuk mempelajari hadis dari mereka. Dalam perkembangan selanjutnya, kegiatan periwayatan hadis mulai berkembang sejalan dengan banyaknya ulama yang tertarik untuk menulis fatwa-fatwa dari para sahabat dan tabi`in dalam memecahkan permasalahan-permasalahan yang timbul pada waktu itu. Dan untuk mengantisipasi hilangnya hadis-hadis Nabi karena adanya hadis-hadis palsu, ditambah dengan banyaknya para ulama dari kalangan sahabat yang wafat dalam menegakkan agama, maka usaha penulisan hadis semakin giat dilakukan di kalangan tabi`in.[22]
Adalah Khalifah `Umar ibn `Abd al-`Azîz yang mempunyai gagasan untuk mengumpulkan hadis dan membukukannya karena takut akan tersia-sia dari hadis tersebut atau takut tercampurnya yang haq dengan yang batil. Beliau memerintahkan kepada gubernur di seluruh wilayah Islam agar para ulama dan ahli ilmu mengumpulkan dan membukukan hadis. Hal ini tercermin dari surat beliau yang dikirim untuk Abû Bakar ibn Hazm, sebagaimana dikutip oleh Muhammad ibn Muhammad Abû Syahbah, yang diriwayatkan oleh Bukhârî secara mu`allaq:
أن انظر ما كان عندك أى فى بلدك من حديث رسول الله صلى الله عليه وسلم فاكتبه فإنى خفت دروس العلم وذهاب العلماء.[23]

“Lihatlah apa yang ada di sekitarmu (di daerahmu) dari hadis Rasulullah saw. kemudian tulislah. Sesungguhnya aku khawatir hilangnya ilmu dan lenyapnya para ulama”.

   Tidak diketahui secara pasti siapa di antara ulama yang lebih dahulu dalam melaksanakan instruksi dari khalifah tersebut. Sebagaian pendapat mengatakan Abû Bakar ibn Hazm sebagaimana teks di atas, sebagian lainnya mengatakan al-Rabî` ibn Shâbih, Sa`îd ibn `Arûbah, dan Muhammad ibn Muslim ibn Syihâb al-Zuhrî. Namun pendapat yang paling popular adalah Muhammad ibn Muslim ibn Syihâb al-Zuhrî, sedangkan Ibn Hazm hanya menyampaikan instruksi khalifah ke seluruh negeri kekuasaan dan belum melakukan kodifikasi. Al-Zuhrî dinilai sebagai orang pertama dalam melaksanakan tugas pengkodifikasian hadis dari khalifah.[24]
Kemudian aktifitas penghimpunan dan pengkodifikasian hadis tersebar di berbagai wilayah Islam pada abad kedua hijriyah, di antaranya Imam Mâlik (w. 179 H) di Madinah, `Abd al-`Azîz ibn Juraij (w. 150 H) di Makkah, al-Auzâ`î (w. 156 H) di Syam, Ma`mar ibn Râsyid (w. 153 H) di Yaman, Sa`îd ibn `Arûbah (w. 156 H) dan Hammâd ibn Salmah (w. 176 H) di Bashrah, Sufyân al-Tsaurî (w. 161 H) di Kufah, `Abdullâh ibn al-Mubârak (w. 181 H) di Khurasan, Hasyîm ibn Basyîr (w. 188 H) di Wasith, Jarîr ibn `Abd al-Hamîd (w. 188 H) di Ray, dan banyak lagi yang lain yang semuanya terjadi dalam abad kedua hijriyah.[25] Namun ciri umum kodifikasi pada masa ini adalah masih bercampurnya hadis dengan fatwa sahabat dan tabi`in, seperti dalam al-Muwaththa`-nya imam Mâlik.[26]

4.    Hadis masa Tabi` al-Tabi`in
Periode ini, yakni abad ketiga hijriyah, disebut masa kejayaan sunnah (min `ushûr al-izdihâr) atau disebut masa keemasan sunnah (min al-`ushûr al-dzahabiyah), karena pada masa ini kegiatan rihlah mencari ilmu dan sunnah serta pembukuannya mengalami puncak keberhasilan yang luar biasa.[27] Pada masa ini banyak ulama yang menyusun musnad yang sudah terbebas dari fatwa-fatwa sahabat maupun tabi`in, hanya berisi hadis Nabi saja. Orang yang pertama kali menyusun sebuah musnad adalah Abû Dâwûd al-Thayâlisî (w. 204 H).[28] Terhitung ada beberapa ulama yang menyusun musnad di antaranya; musnad `Abdullâh ibn Mûsâ (w. 213 H), musnad al-Humaidî (w. 219 H), musnad Ishâq ibn Rahawaih (w. 237 H) musnad Ahmad ibn Hanbal (w. 241 H) dan lain-lain. Musnad yang paling lengkap adalah musnad Ahmad ibn Hanbal.[29]
Selain musnad, pada periode ini juga disusun kitab-kitab hadis yang sudah dibagi-bagi menjadi bab-bab. Ada yang disusun dengan teknik pengakumulasian sembilan masalah yaitu akidah, hukum, perbudakaan, adab makan minum, tafsir, sejarah, sifat-sifat akhlak, fitnah, dan manakib yang dikenal dengan al-Jâmi` seperti al-Jâmi` al-Shahîh li al-Bukhârî, al-Jâmi` al-Shahih li Muslim. Ada juga yang disusun  berdasarkan sistematika fikih yang dikenal dengan nama Sunan, seperti Sunan al-Nasâ’î, Sunan al-Tirmidzî, Sunan Abû Dâwûd, dan Sunan Ibn Mâjah. Keenam kitab tersebut dikenal dengan nama Kutub al-Sittah.

5.    Hadis pada masa sesudah Tabi` al-Tabi`in hingga sekarang
Pada masa ini disebut masa penghimpunan dan penertiban (al-jâmi` wa al-tartîb). Di antara kegiatan pengkodifikasian hadis pada periode ini adalah dalam bentuk mu`jam (ensiklopedi), shahih (himpunan hadis shahih yang penyusunannya mengikuti metode Bukhârî dan Muslim), mustadrak (susulan shahih), sunan, al-jam`u (gabungan dua atau beberapa kitab hadis), ikhtishâr (resume), dan syarah (ulasan).[30]
Pada perkembangan selanjutnya, abad ke 7-8 H dan berikutnya disebut masa penghimpunan dan pembukuan hadis secara sistematis (al-jam`u wa al-Tanzhîm). Jatuhnya pemerintahan Abbasiyah ke tangan bangsa Tartar mengakibatkan pindahnya pusat pemerintahan dari Baghdad ke Kairo dan India. Pada masa ini banyak kepala pemerintahan yang berkecimpung dalam bidang ilmu hadis seperti al-Barquq.
Namun pada akhir abad ketujuh hijriyah, Turki dapat menguasai daerah-daerah Islam, dan mengganti kekhalifahan Abbasiyah dengan Ottoman. Bersamaan dengan itu pula sinar keemasan Islam mulai padam. Belum lagi imperialis Barat yang menguasai dunia Islam dengan menjajah dan memperbudak umat Islam.
Karena kondisi di atas, ulama hadis tidak bebas dalam menyampaikan dan menerima hadis. Maka dilakukan secara murâsalât (korespondensi), ijâzah, dan imlâ’. Metode ijâzah artinya seorang guru memberikan izin kepada muridnya untuk meriwayatkan hadis yang ditulis oleh gurunya. Sedangkan metode imlâ’ artinya seorang guru hadis duduk di masjid kemudian ia menguraikan hadis itu baik dari dari segi kualitasnya, kandungannya dan lain-lain, sedang yang hadir mencatat, seperti yang dilakukan oleh Zainuddîn al-`Irâqî dan Ibn Hajar al-`Asqalânî.[31]
Perkembangan penulisan hadis pada periode di atas adalah menyusun kembali kitab-kitab hadis terdahulu secara sistematik, baik dari segi matan dan sanadnya untuk memudahkan bagi umat Islam untuk mempelajarinya. Sampai abad sekarang dapat dikatakan tidak ada kegiatan yang berarti dari para ulama dalam bidang hadis kecuali hanya membaca, memahami, takhrîj, dan memberikan syarah hadis-hadis yang telah terhimpun sebelumnya.[32]
Secara sistematis perkembangan hadis dapat dilihat dari table di bawah ini:



No
Periode
Perkembangan
Karakteristik Penulisan
Model Buku
1.
Masa Nabi Muhammad
Larangan penulisan secara umum
Hadis dihafal diluar kepala
Catatan pribadi bentuk shahîfah (lembaran)
2.
Masa Sahabat
Penyederhanaan Riwayat (taqlîl al-riwâyah) pada masa khulafaur rasyidin dan masa perlawatan hadis (rihlah `ilmiyah) masa setelahnya
Disertai sumpah dan saksi pada masa khulafaur rasyidin dan disertai sanad pada masa setelahnya
Catatan pribadi dalam bentuk shahîfah (lembaran)



3.
Masa Tabi`in
Penghimpunan dan kodifikasi hadis (al-jam`u wa al-tadwîn)
bercampur antara hadis Nabi dengan fatwa sahabat dan qoul sahabat
Shahîfah, mushannaf, muwaththa’, musnad, jâmi`
4.
Masa Tabi` al-Tabi`in
kejayaan kodifikasi hadis (azhâ al-`ushûr al-sunnah)
Filterisasi dan klasifikasi (`ashr al-jam`i wa al-tashhîh)
Musnad, jâmî`, sunan
5.
Masa setelah Tabi` al-Tabi`in (abad IV H dan seterusnya)
Penghimpunan dan penertiban secara sistematik (al-jam`u wa al-tartîb wa al-tanzhîm)
Bereferensi (murâja`ah) pada buku-buku sebelumnya tetapi lebih sistematik
Mu`jam, mustadrak, mustakhraj, ikhtishâr, syarah, zawâ’id, jâmi`, jawâmi`, athrâf, takhrîj, ahkâm.

Dalam masa kontemporer, otentisitas hadis banyak mendapat serangan dari kaum orientalis maupun inkarussunnah. Adalah Ignaz Goldziher seorang orientalis dari Hungaria yang menulis buku Muhammadanische Studien, menurut perkiraan Prof. Dr M.M. Azami adalah seorang orientalis yang pertama kali melakukan kajian tentang hadis. Buku tersebut sampai saat ini dianggap sebagai “kitab suci” di kalangan orientalis. Enam puluh tahun sesudah terbitnya karya Goldziher, Joseph Schacht menrbitkan hasil penelitiannya tentang hadis dalam sebuah buku yang berjudul The Origin of Muhammadan Jurispundence. Buku ini juga menjadi “kitab suci” kedua di kalangan orientalis.[33]
Baik Goldziher maupun Schacht berpendapat bahwa hadis tidaklah berasal dari Nabi Muhammad, melainkan sesuatuyang lahir pada abad pertama dan kedua hijriyah. Atau dengan kata lain, hadis adalah bikinan para ulama abad pertama dan kedua hijriyah. Goldziher berkata, “bagian terbesar dari hadis tidak lain adalah hasil perkembangan Islam pada abad pertama dan kedua, baik dalam bidang agama, politik, maupun sosial. Tidak lah benar pendapat yang mengatakan bahwa hadis merupakan dokumen Islam yang sudah ada sejak masa dini (masa pertumbuhan), melainkan adalah pengaruh perkembangan Islam pada masa kematangan”. Sementara Schacht berkata, “bagian terbesar dari sanad hadis adalah palsu. Semua orang mengetahui bahwa sanad pada mulanya muncul dalam bentuk yang sangat sederhana, kemudian mencapai tingkat kesempurnaannya pada paruh kedua dari abad ketiga hijriyah”.[34]
Sementara Inkarusunnah dapat dipahami sebagai suatu nama atau aliran atau paham keagamaan dalam masyarakat Islam yang menolak atau mengingkari sunnah untuk dijadikan sumber dan dasar syari’at Islam.[35] Inkarussunnah sebenarnya sudah muncul pada abad-abad klasik namun menghilang dari peredaran pada akhir abad ketiga hijriyah. Inkarussunnah klasik kebanyakan masih merupakan pendapat perorangan di mana hal itu muncul akibat ketidak tahuan mereka tentang fungsi dan kedudukan sunnah dalam Islam. Karenanya, setelah diberitahu tentang urgensi sunnah, mereka akhirnya menerimanya.[36] Sementara inkarussunnah modern memiliki karakteristik yang berbeda dengan inkarussunnah klasik, baik dari segi sebab-sebab kemunculannya, lokasinya, bentuknya, maupun sikap-sikap personalnya setelah kepada mereka diterangkan fungsi dan kedudukan sunnah.[37]
Namun Allah masih memberikan pertolongannya kepada umat Islam dengan mendatangkan ulama-ulama pembela sunnah. Imam al-Syâfi`î, misalnya, diberi julukan nâshir al-sunnah (pembela sunnah) karena pernah berdebat dengan kelompok pengingkar sunnah yang akhirnya tunduk dan menyatakan menerima hadis. Sementara di era modern muncullah nama-nama seperti Mushthafâ al-Sibâ`î, Muhammad `Ajjâj al-Khathîb, Muhammad Mushthafâ al-A`zhamî, dan lain-lain untuk membela sunnah dari serangan orientalis maupun inkarussunnah.
6.    Perbedaan Dalam Memahami Hadis
Dalam kenyataannya, di kalangan sahabat sendiri ada yang memiliki kelebihan pengetahuan dan pemahaman tentang hadis dibandingkan dengan sahabat lainnya. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya:
a.    Tempat tinggal yang jauh
Faktor ini mempengaruhi banyak sedikitnya hadis yang dapat didengar. Ini membawa kepada timbulnya perbedaan dalam hal jumlah informasi yang dapat diterima dari Nabi dan sekaligus mempengaruhi pemahamannya terhadap hadis tersebut.
b.    Intelektual dan kecakapan
Tidak semua sahabat memiliki keilmuan dan intelektual yang sama. Begitu pula tingkat pemahamannya antara satu sahabat dengan yang lain juga berbeda-beda. Ada yang memiliki pemahaman yang kuat, menengah, dan ada pula yang kurang. Faktor ini tentunya betpengaruh kepada pengetahuan yang dimilikinya tentang hadis Nabi yang diterimanya.
c.    Keintiman / keakraban pergaulannya dengan Nabi
Sahabat yang lebih akrab dan intim dengan Nabi, tentunya lebih banyak menerima hadis Nabi disbanding dengan sahabat yang karena faktor-faktor tertentu tidak dapat begitu dekat atau akrab dengan Nabi. Hal ini tentunya juga mempengaruhi tingkat pemahaman dan pengetahuan tentang hadis Nabi
d.   Masa cepat atau lambatnya masuk Islam
Sahabat yang lebih dulu masuk Islam tentusaja pengetahuannya tentang hadis Nabi akan lebih banyak dibandingkan dengan sahabat yang baru saja masuk Islam.
Karena terjadi perbedaan-perbedaan tersebut, sebagai konsekuensinya adalah periwayatan hadis dengan makna saja (bi al-ma`nâ), yakni hadis-hadis disampaikan dengan mengemukakan maknanya saja, sehingga antar sahabat dapat meriwayatkan satu hadis dengan kalimat yang berbeda-beda pula tetapi sama dalam makna.
Hal ini tentunya juga membawa konsekuensi terhadap generasi setelah sahabat hingga generasi sekarang. Karena banyaknya hadis yang diriwayatkan hadis bi al-ma`nâ, maka tidak salah jika dalam satu hadis saja terjadi banyak interpretasi antara satu orang dengan orang lain. Hal ini adalah konsekuensi logis akibat adanya riwayat bi al-ma`nâ.

C.  Penutup
Hadis mempunyai peranan penting dalam kedudukannya sebagai sumber hukum. Karena di samping merupakan penjelas dari kandungan al-Qur’an, hadis terkadang juga memberikan hukum baru yang belum dijelaskan secara ekspilsit oleh al-Qur’an. Mempelajari sejarah hadis merupakan upaya untuk mengetahui kedudukan sekaligus keotentikan hadis itu sendiri.



DAFTAR PUSTAKA

Abû Syahbah, Muhammad ibn Muhammad. Difâ` `an al-Sunnah. Kairo: Maktabah al-Sunnah, 1989.
Abû Zahwa, Muhammad Muhammad. al-Hadîts wa al-Muhadditsûn. Ttp: al-Maktabah al-Taufîqiyah, tth.
Badrân, Badrân Abû al-`Ainain. al-Hadîts al-Nabawiyy  al-Syarîf  Târîkhuh wa Mushtalahâtuh. Iskandariyah: Mu’assisah Syabâb al-Jâmi`ah, 1983.
CD Syâmilah
Khaeruman, Badri. Otentisitas Hadis Studi Kritis Atas Kajian Hadis Kontemporer. Bandung: PT Remaja Rosdakarya: 2004.
Al-Khathîb, Muhammad `Ajâj. Ushûl al-Hadîts `Ulûmuh wa Mushthalahuh. Beirut: Dâr al-Fikr,1989.
Khon, Abdul Majid. Ulumul Hadis. Jakarta: Amzah, 2009.
Al-Shâlih, Shubhî. `Ulûm al-Hadîts wa Mushthalahuh. Beirut: Dâr al-`Ilm li al-Malâyîn, 1988.
Sulaiman, M. Noor. Antologi Ilmu Hadits. Jakarta: GP Press, 2008.
Yaqub, Ali Mustafa. Kritik Hadis. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008.
Zuhri, Muh.. Hadis Nabi Telaah Historis dan Metodologis. Yogyakarta: Tiara Wacana, 2003.



[1] Badri Khaeruman, Otentisitas Hadis Studi Kritis Atas Kajian Hadis Kontemporer (Bandung: PT Remaja Rosdakarya: 2004), h. 27.
[2] Muh. Zuhri, Hadis Nabi Telaah Historis dan Metodologis (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2003), h. 28.
[3] Badrân Abû al-`Ainain Badrân, al-Hadîts al-Nabawiyy  al-Syarîf  Târîkhuh wa Mushtalahâtuh (Iskandariyah: Mu’assisah Syabâb al-Jâmi`ah, 1983), h. 14.
[4] Muhammad Muhammad Abû Zahwa, al-Hadîts wa al-Muhadditsûn (Ttp: al-Maktabah al-Taufîqiyah, tth), h. 53.
[5] HR. Bukhârî, Muslim (CD Syâmilah)
[6] HR. al-Tirmidzî, al-Dârimî (CD Syâmilah)
[7] M. Noor Sulaiman, Antologi Ilmu Hadits (Jakarta: GP Press, 2008), h. 45.
[8] HR. Muslim (CD Syâmilah)
[9] M. Noor Sulaiman, Antologi Ilmu Hadits, h. 46.
[10] HR. Bukhârî, Muslim, Abû Dâwûd, al-Tirmîdzî, Ahmad (CD Syâmilah).
[11] M. Noor Sulaiman, Antologi Ilmu Hadits, h. 49.
[12] Muh. Zuhri, Hadis Nabi Telaah Historis dan Metodologis, h. 34.
[13] Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadis (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008), h. 62.
[14] Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis (Jakarta: Amzah, 2009), h. 46-47.
[15] Ibid., h. 47.
[16] Muhammad `Ajâj al-Khathîb, Ushûl al-Hadîts `Ulûmuh wa Mushthalahuh (Beirut: Dâr al-Fikr,1989), h. 84.
[17] Shubhî al-Shâlih, `Ulûm al-Hadîts wa Mushthalahuh (Beirut: Dâr al-`Ilm li al-Malâyîn, 1988), h. 23.
[18] Ibid., h. 23-27.
[19] Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis, h. 48.
[20] Badrân Abû al-`Ainain Badrân, al-Hadîts al-Nabawiyy  al-Syarîf  Târîkhuh wa Mushtalahâtuh, h. 18.
[21] Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis, h. 50-51.
[22] M. Noor Sulaiman, Antologi Ilmu Hadits, h. 69.
[23] Muhammad ibn Muhammad Abû Syahbah, Difâ` `an al-Sunnah (Kairo: Maktabah al-Sunnah, 1989), h. 22.
[24] Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis, h. 53-54.
[25] Abû Syahbah, Difâ` `an al-Sunnah, h. 25.
[26] Shubhî al-Shâlih, `Ulûm al-Hadîts wa Mushthalahuh, h. 48.
[27] Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis, h. 56.
[28] Shubhî al-Shâlih, `Ulûm al-Hadîts wa Mushthalahuh, h. 48.
[29] Badrân Abû al-`Ainain Badrân, al-Hadîts al-Nabawiyy  al-Syarîf  Târîkhuh wa Mushtalahâtuh, h. 34.
[30] Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis, h. 58.
[31] Ibid., h. 61.
[32] Metode para ulama dalam memudahkan umat Islam untuk mempelajari hadis dilakukan berbagai macam cara, di antara: (1) al-Maudlû`ât yaitu menghimpun hadis-hadis yang maudlû` (palsu) saja ke dalam sebuah buku seperti kitab al-Maudlû`ât karya Ibn al-Jauzî; (2) al-Ahkâm, yaitu menghimpun hadis-hadis tentang hukum saja  seperti fikih, misalnya kitab Bulûgh al-Marâm karya al-Asqalânî; (3) al-Athrâf, yaitu teknik pembukuan hadis dengan menyebutkan permulaan hadisnya saja, misalnya al-Athrâf al-Kutub al-Sittah karya Ibn al-Qisrani; (4) Takhrîj, yaitu seorang muhaddits mengeluarkan beberapa hadis yang ada dalam buku hadis atau pada buku lain dengan menggunakan sanad sendiri atau ditelusuri sanad dan kualitasnya; (5) Zawâ’id, yaitu penggabungan beberapa kitab tertentu seperti musnad dan mu`jam ke beberapa buku induk hadis, seperti Majma` al-Zawâ’id wa Manba` al-Fawâ’id oleh al-Haitamî. Atau Zawâ’id dapat juga diartikan mengumpulkan hadis-hadis yang tidak terdapat dalam kitab-kitab sebelumnya ke dalam sebuah kitab tertentu, seperti Zawâ’id al-Sunan al-Kubrâ oleh al-Bashrî; (6) Jawâmi`, yaitu sebuah kitab yang menghimpun hadis-hadis Nabi secara mutlak seperti al-Jâmi` al-Kabîr dan al-Jâmi` al-Shaghîr oleh al-Suyûthî. Ibid., h. 62.
[33] Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadis, h. 8
[34] Ibid., h. 9
[35] M. Noor Sulaiman, Antologi Ilmu Hadits, h. 200.
[36] Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadis, h. 44.
[37] Ibid.