-

Rabu, 30 April 2014

Qira'at dalam al-Qur'an


Qirâ’ât Dalam al-Qur’an
Oleh Cholid Abdullah


A.  Pendahuluan
Sebagaimana diketahui, al-Qur’an merupakan kitab suci umat Islam, dan beriman kepadanya tergolong salah satu rukun iman. Al-Qur’an juga merupakan salah satu sumber hukum Islam yang menduduki peringkat teratas, dan seluruh ayatnya berstatus sebagai qath`iy al-wurûd, yang diyakini eksistensinya sebagai wahyu dari Allah Swt.
Al-Qur’an diturunkan dalam lingkup bangsa Arab, yang notabene mempunyai berbagai macam suku dan tentunya juga bermacam-macam dialek (lahjah). Perbedaan dialek itu tentunya sesuai dengan kondisi alam, seperti letak geografis dan sosio cultural pada masing-masing suku. Perbedaan-perbedaan lahjah itu membawa konsekuensi lahirnya bermacam-macam bacaan (qirâ’ah) dalam melafalkan al-Qur’an. Untuk mengetahui tentang qirâ’ât dalam al-Qur’an, makalah ini akan membahas tentang qirâ’ât dalam al-Qur’an agar diperoleh pemahaman yang komprehensif.

B.  Pembahasan
1.    Definisi Qirâ’ât
Qirâ’ât adalah jamak dari qirâ’ah, merupakan masdhar  simâ`î dari qara’a (قرأ) yang berarti bacaan. Adapun secara istilah, sebagaimana dikemukakan oleh al-Zarqânî, merupakan suatu madzhab yang dibangun oleh para imam qirâ’ah yang saling berbeda dari segi pengucapan dalam al-Qur’an dan disertai jalan dan riwayat yang telah disepakati.[1]
Hampir sama dengan definisi di atas adalah apa yang diutarakan oleh Mannâ` al-Qaththân dan al-Shâbûnî. Menurut al-Qaththân, qirâ’ât adalah suatu madzhab tertentu dalam cara pengucapan al-Qur’an yang dibangun oleh salah satu imam qirâ’ât yang berbeda dengan madzhab lainnya.[2] Sedangkan menurut al-Shâbûnî, qirâ’ât merupakan  madzhab tertentu tentang pelafalan al-Qur’an yang dibangun oleh salah satu imam qirâ’ât yang berbeda dengan madzhab lain dan mempunyai sanad yang bersambung ke Rasulullah saw.[3]
Sementara ada pendapat lain dari beberapa ulama. Al-Zarkasyî, misalnya, mengemukakan bahwa qirâ’ât adalah perbedaan lafadz-lafadz wahyu (al-Qur’an), baik menyangkut huruf-hurufnya maupun cara pengucapan huruf-huruf tersebut seperti takhfîf, tasydîd, dan lain-lain.[4] Hampir sama dengan definisi ini, al-Dimyâthî, sebagaimana dikutip oleh Dr. `Abd al-Hâdî al-Fadllî, mengemukakan bahwa qirâ’ât adalah suatu ilmu untuk mengetahui cara pengucapan lafadz-lafadz al-Qur’an, baik yang disepakati maupun yang diperselisihkan oleh para ahli qirâ’ât, seperti; hadzf (membuang huruf), itsbât (menetapkan huruf), tahrîk (memberi harakat), taskîn (memberi tanda sukun), fashl (memisahkan huruf), washl (menyambungkan huruf), ibdâl (menggantikan huruf atau lafadz tertentu), dan lain-lain yang diperoleh secara simâ`î (melalui indera pendengaran).[5]
Hemat penulis, definisi yang dikemukakan oleh al-Zarqânî, dan yang sejalan. tampak lebih lengkap, kerena pada pendapat yang lain hanya menegaskan bahwa qirâ’ât sebagai ilmu melafadzkan al-Qur’an, tanpa menyatakan qirâ’ât sebagai sebuah madzhab serta tidak menegaskan perlunya kesepakatan dalam periwayatan dan sanad yang dilaluinya.

2.    Sejarah Perkembangan Qirâ’ât
Sebagaimana diketahui bahwa al-Qur’an diwahyukan dan disampaikan kepada Nabi Muhammad melalui perantara malaikat Jibril. Hal ini berlangsung sejak turunnya wahyu pertama hingga seluruh al-Qur’an selesai diturunkan. Selanjutnya, apa yang disampaikan atau dibacakan oleh malaikat Jibril kepada Nabi saw. disampaikan serta diajarkan pula oleh beliau kepada para sahabat dan kaum muslim saat itu.[6]
Pada mulanya tidak ada qirâ’ât yang tidak sah, karena semuanya diajarkan oleh Rasul. Para sahabat berbeda-beda dalam mengambil qirâ’ât dari Nabi. Ada yang mengambil satu huruf (bacaan) saja, ada yang dua huruf, bahkan lebih. Kemudian, karena Islam sudah semakin berkembang dan menyebar, para sahabat mulai berpencar-pencar dengan membawa qirâ’ât yang mereka terima dari Nabi. Dengan sebab ini, para tabi`in yang belajar qirâ’ât kepada sahabat berbeda pula dengan tabi`in yang lain, demikian seterusnya sampai kepada masa imam-imam qirâ’ât yang akhirnya terbentuk berbagai macam madzhab qirâ’ât.[7]
Telah masyhur para qurrâ’ di kalangan sahabat, di antaranya; Ubay ibn Ka`ab, `Alî ibn Abî Thâlib, Zaid ibn Tsâbit, Ibnu Mas`ûd, Abû Mûsâ al-Asy`arî, dan lain-lain. Dari mereka ini banyak para sahabat lain dan tabi`in mengambil ilmu (qirâ’ât), di mana semua sanadnya bersambung kepada Rasulullah saw.[8]
Sedangkan di kalangan tabi`in, yang masyhur di antaranya Ibn al-Musayyab, `Urwah, Sâlim, `Umar ibn `Abd al-`Azîz, Sulaimân ibn Yasâr, al-Zuhrî (semuanya ada di Madinah). Di bagian Makkah terdapat `Athâ’, Mujâhid, Thâwus, dan lain-lain. Di Bashrah ada `Âmir ibn `Abd al-Qais, Abû al-`Âliyah, Yahyâ ibn Ya`mar, Ibnu Sîrîn, dan  lain-lain. Di Kufah ada `Alqamah, Masrûq, `Ubadah, al-Rabî` ibn Khaitsam, al-Nakhâ`î, al-Sya`bî. Sedangkan di Syam terdapat al-Mughîrah ibn Abû Syihâb, al-Makhzûmî, Khulaid ibn Sa`îd dan lain.lain.[9] Setelah masa ini barulah muncul imam-imam qirâ’ât dan terbentuk madzhab-madzhab dalam qirâ’ât.

3.    Macam-macam Qirâ’ât
Pada dasarnya qirâ’ât hanya terbagi dua macam, yakni qirâ’ât yang sah dan qirâ’ât yang tidak sah. Qirâ’ât yang sah artinya qirâ’ât yang diterima dan diakui shahih oleh para ahli qirâ’ât; artinya qirâ’ât tersebut sesuai dengan yang diajarkan oleh Rasulullah. Sebaliknya, qirâ’ât yang tidak sah adalah qirâ’ât yang tidak diakui oleh ahli qirâ’ât berasal dari Rasulullah atau disebut juga dengan qirâ’ât syâdzah.[10]
Pada akhir abad ketiga hijriyah, Ibn Mujâhid Ahmad ibn Mûsâ ibn `Abbâs menghimpun qirâ’ât-qirâ’ât yang berjumlah tujuh macam (qirâ’ât sab`ah). Sejak saat itulah qirâ’ât sab`ah menjadi populer, meskipun ada penggantian imam Ya`qûb dengan imam al-Kisâ’î.[11] Namun Ibn Mujâhid tidak memberikan alasan penggantian tersebut. Ketujuh qirâ’ât tersebut adalah;
a.    Qirâ’ât Ibn `Âmir; nama lengkapnya adalah `Abdullâh al-Yahshabî, menerima qirâ’ât dari al-Mughîrah ibn Abû Shihâb al-Makhzûmî dari `Utsmân ibn `Affân dari Rasulullah. Wafat tahun 118 H  di Damaskus.
b.    Qirâ’ât Ibn Katsîr; nama lengkapnya Abû Muhammad `Abdullâh ibn Katsîr al-Dârî al-Makkî, menerima qirâ’ât dari `Abdullâh ibn al-Sâ’ib dari Ubay ibn Ka`ab dari Rasulullah. Wafat tahun 120 H di Makkah.
c.    Qirâ’ât `Âshim; nama lengkapnya adalah `Âshim ibn Abû al-Najûd al-Asadî, menerima qirâ’ât dari Abû `Abd al-Rahmân al-Sîmî dari Ibn Mas`ûd, `Utsmân ibn `Affân, `Alî ibn Abû Thâlib dari Rasulullah. Wafat tahun 127/128 H di Kufah.
d.   Qirâ’ât Abû `Amr; nama lengkapnya adalah Abû `Amr Zabbân ibn al-`Alâ ibn `Amâr al-Bashrî, menerima qirâ’ât dari Hasan al-Bashrî dari Abû al-`Âliyah dari `Umar ibn al-Khaththâb dari Rasulullah. Wafat tahun 154 H di Kufah.
e.    Qirâ’ât Hamzah; nama lengkapnya Hamzah ibn Habîb ibn `Imârah al-Ziyyât al-Fardlî al-Taimî, menerima qirâ’ât dari `Alî Sulaimân al-A`masy, Ja`far al-Shâdiq, Hamrân ibn A`yân dan lain-lain yang sanadnya bersambung sampai Rasulullah. Wafat tahun 156 H di Halwân.
f.     Qirâ’ât Nâfi`; nama lengkapnya Abû Ruwaim Nâfi` ibn `Abd al-Rahmân ibn Abû Na`îm al-Laitsî, menerima qirâ’ât `Alî ibn Ja`far, `Abd al-Rahmân ibn al-Hurmûz, dan lain-lain yang sanadnya bersambung kepada Rasulullah. Wafat tahun 169 H di Madinah.
g.    Qirâ’ât al-Kisâ’î; nama lengkapnya adalah `Alî ibn Hamzah al-Kisâ’î, menerima qirâ’ât dari Hamzah, Syu`bah, Ismâ`îl ibn Ja`far yang sanadnya bersambung kepada Rasulullah. Wafat tahun 189 H di Ray.[12]
Dari segi sanad, Imam al-Bulqînî membagi qirâ’ât menjadi tiga macam, yakni:
a.    Qirâ’ât mutawâtir, yaitu qirâ’ât sab`ah (qirâ’ât tujuh) yang telah masyhur.
b.    Qirâ’ât ahâd, yakni tiga qirâ’ât yang melengkapi qirâ’ât sab`ah, di mana kesepuluh qirâ’ât tersebut dikenal dengan nama qirâ’ât `asyrah (qirâ’ât sepuluh).
c.    Qirâ’ât syâdz, yakni qirâ’ât tabi`in seperti A`masy, Ibn Tsâbit Yahyâ, Ibn Jubair dan sebagainya.[13]
Adapun Imam al-Suyûthî, yang menukil pendapat dari Ibn al-Jazarî, membagi qirâ’ât menjadi enam macam, yakni:
a.    Mutawâtir, yaitu qirâ’ât yang diriwayatkan oleh sekelompok orang banyak dari orang banyak sampai pada periwayat terakhir yang tidak mungkin bersekongkol untuk berdusta. Seperti qirâ’ât tujuh yang disepakati jalurnya.
b.    Masyhûr, yaitu qirâ’ât yang sanadnya sahih dan diriwayatkan oleh orang yang adil dan dlâbith dari sepadannya, yang sesuai dengan kaedah bahasa Arab, sesuai dengan salah satu mushaf utsmani, sudah masyhur di kalangan para qurrâ’ namun tidak mencapai derajat mutawâtir. Seperti periwayatan yang berbeda-beda dari qirâ’ât sab`ah.
c.    Ahâd, yaitu qirâ’ât yang sanadnya sahih tetapi menyelisihi tulisan salah satu mushaf utsmani atau kaedah bahasa Arab dan tidak mencapai derajat masyhûr sebagaimana poin (b) di atas.
d.   Syâdz, yaitu qirâ’ât yang sanadnya tidak sahih. Seperti qirâ’ât-nya Ibn al-Sumaifa`; فاليوم ننحيك ببدنك, padahal dalam qirâ’ât yang mutawâtir tertulis فاليوم ننجيك ببدنك.
e.    Maudlû`, yaitu qirâ’ât yang dinisbahkan kepada pengucapnya tanpa dasar sama sekali, seperti qirâ’ât yang dikumpulkan oleh Muhammad ibn Ja`far al-Khazâ`î dan dinisbahkan kepada imm Abû Hanîfah padahal bukan darinya.
f.     Mudrâj, yaitu qirâ’ât yang disisipkan atau ditambahkan ke dalam qirâ’ât yang sah sebagai bentuk penafsiran. Seperti qirâ’ât Sa`ad ibn Abî Waqâsh yang menambahi dengan kalimat من أم, padahal dalam qirâ’ât yang sah hanya tertulis وله أخ أو أخت tanpa ada tambahan من أم.[14]
Pembagian qirâ’ât ini sebenarnya tidak keluar dari tiga kategori sebelumnya, yaitu mutawâtir (poin a), ahâd (poin b dan c) dan syâdz (poin d, e, dan f)
Adapun indikator sah atau tidaknya suatu qirâ’ât, harus memenuhi tiga persyaratan sebagaimana di bawah ini;
a.    Sesuai dengan kaedah bahasa Arab walaupun hanya dari satu aspek (wajah). Misalnya mencocoki dalam satu aspek dari beberapa aspek Nahwu.
b.    Sesuai dengan salah satu Rasm `Utsmânî, baik kesesuaian tersebut secara eksplisit ataupun hanya secara implisit.
c.    Sanad periwayatannya shahih, yakni qirâ’ât tersebut diriwayatkan oleh orang yang adil dan dlâbîth kepada sesamanya hingga sampai akhir sanad.[15]
Ibn al-Jazarî menambahkan, apabila suatu qirâ’ât telah memenuhi tiga syarat di atas, maka qirâ’ât tersebut sah dan tidak boleh ditolak dan diinkari karena termasuk dari tujuh huruf di mana al-Qur’an diturunkan dengannya. Dan wajib bagi manusia untuk menerimanya baik qirâ’ât tersebut dari qirâ’ât sab`ah (tujuh), qirâ’ât sepuluh ataupun yang lainnya. Sebaliknya jika salah satu syarat di atas tidak terpenuhi, maka qirâ’ât tersebut dinyatakan sebagai qirâ’ât yang lemah, syâdz atau bathil.[16]

4.    Qirâ’ât Sab`ah dan Tujuh Huruf dalam al-Qur’ân
Dalam sebuah hadis dinyatakan sebagai berikut:
قَالَ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم « أَقْرَأَنِى جِبْرِيلُ عَلَيْهِ السَّلاَمُ عَلَى حَرْفٍ فَرَاجَعْتُهُ فَلَمْ أَزَلْ أَسْتَزِيدُهُ فَيَزِيدُنِى حَتَّى انْتَهَى إِلَى سَبْعَةِ أَحْرُفٍ »[17]

Rasulullah Saw bersabda: “Malaikat Jibril telah membacakan (al-Qur’an) kepadaku atas satu huruf (bacaan), lalu aku kembali kepadanya dan berulang kali memintanya agar menambahkan bacaan tersebut, maka jibril pun menambah bacaan tersebut hingga tujuh huruf (bacaan)”.

قَالَ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم إِنَّ هَذَا الْقُرْآنَ أُنْزِلَ عَلَى سَبْعَةِ أَحْرُفٍ فَاقْرَءُوا مَا تَيَسَّرَ مِنْهُ[18]

“Rasulullah Saw bersabda: “sesungguhnya al-Qur’an ini diturunkan dalam tujuh huruf (tujuh macam bacaan), maka bacalah apa saja jenis bacaan yang mudah darinya”.

Dua hadis di atas secara jelas memberitahukan bahwa al-Qur’an diturunkan dalam tujuh huruf (tujuh macam bacaan). Dispensasi yang diberikan oleh Rasulullah dalam membaca al-Qur’an lebih dari satu huruf dimaksudkan untuk memberi kemudahan kepada umat Islam pada umumnya, dan masyarakat Arab pada khususnya dalam membaca kitab suci sehingga mereka tidak terbebani oleh bacaan-bacaan yang sukar. Sebab kenyataannya, masyarakat pada saat itu banyak yang buta aksara, bersuku-suku dan berkelompok-kelompok yang mana masing-masing suku atau kelompok mempunyai bahasa dan dialek yang berbeda-beda, yang sangat sukar meniru antara dialek satu dengan yang lainnya.[19]
Namun apakah yang dimaksud dengan tujuh huruf identik dengan qirâ’ât sab`ah (qirâ’ât tujuh)? Jawabannya adalah tidak. Setidaknya hal ini dapat disanggah dengan tiga alasan, yaitu:
a.    Jika yang dimaksud dengan tujuh huruf adalah qirâ’ât sab`ah maka hadis Nabi yang berbunyi “sesungguhnya al-Qur’an ini diturunkan dalam tujuh huruf (tujuh macam bacaan)” tidak akan menghasilkan faedah sampai dilahirkan imam-imam tujuh tersebut. Sedangkan Nabi sendiri membaca al-Qur’an dengan tujuh huruf tersebut, demikian juga sahabat, sebelum timbulnya qirâ’ât sab`ah dalam bentuk madzhab.
b.    Tujuh huruf yang dimaksud cakupannya lebih luas dan lebih umum daripada qirâ’ât sab`ah, karena tujuh huruf itu sendiri selain memuat qirâ’ât sab`ah juga mencakup qirâ’ât-qirâ’ât lain yang dibaca oleh Nabi, dan juga memuat sesuatu yang asalnya termasuk al-Qur’an namun telah dihapus dan tidak sampai kepada imam-imam tersebut. Dengan demikian cakupan tujuh huruf sangat luas mencakup semua aspek-aspek qirâ’ât. Maka tidak dapat dikatakan bahwa tujuh huruf itu adalah qirâ’ât sab`ah secara mutlak.
c.    Sangat tidak masuk akal jika Rasulullah mewajibkan membaca al-Qur’an kepada para sahabat dengan qirâ’ât-qirâ’ât para imam yang belum lahir pada saat itu.[20]
Mengenai hal ini Abû Syâmah pun berkomentar, seperti yang dinukil oleh al-Suyûthî: “sebagian kaum menyangka bahwa qirâ’ât sab`ah yang beredar sekarang adalah yang dimaksud dalam hadis, padahal persangkaan ini menyalahi ijma` ahli ilmu secara bulat. Yang berpendapat seperti ini hanya sebagian mereka yang bodoh”.[21]
Maka jika dirunut dari segi sejarah, keberadaan sab`ah ahruf (tujuh huruf) lebih dahulu daripada qirâ’ât sab’ah. Tujuh huruf sudah terjadi sejak jaman Rasulullah, sedangkan qirâ’ât sab`ah baru muncul ketika Islam sudah mulai menyebar dan para sahabat mulai berpencar dengan membawa satu atau beberapa huruf yang diajarkan oleh Nabi, sehingga hal inilah yang menyebabkan timbulnya bermacam-macam qirâ’ât. Menurut penulis, qirâ’ât sab`ah adalah bagian dari tujuh huruf, namun tidak berlaku sebaliknya.

5.    Qirâ’ât dan Implikasinya terhadap Hukum
Meskipun qirâ’ât bukan satu-satunya yang dijadikan dasar dalam istinbath (penetapan hukum), namun tidak dapat dipungkiri bahwa perbedaan qirâ’ât mempunyai pengaruh besar terhadap produk hukum. Bahkan inilah salah satu sebab timbulnya berbagai madzhab dalam Islam.[22] Ada beberapa contoh sebagai bukti bahwa perbedaan qirâ’ât berimplikasi terhadap produk hukum, di antaranya;

a.    Ayat 222 surat al-Baqarah
  
Ayat di atas merupakan larangan bagi seorang suami untuk melakukan hubungan seksual dengan istrinya dalam keadaan haid. Adapun batas larangan yang disebutkan dalam ayat di atas yaitu sampai mereka (yang mengalami haid) dalam keadaan suci kembali (حَتَّى يَطْهُرْنَ). Sementara itu, kata tersebut telah terjadi perbedaan qirâ’ât yang berkisar pada dua kubu. Hamzah, al-Kisâ’î, dan `Âshim riwayat Syu`bah membaca kata tersebut dengan يَطَّهَّرْنَ, sedangkan Ibn Katsîr, Nâfi`, Abû `Amr, Ibn `Âmir, dan `Âshim riwayat Hafsh membacanya dengan يَطْهُرْنَ.[23]
Dalam menetapkan hukum ayat tersebut, para ulama terbagi ke dalam dua kelompok. Pertama cenderung kepada qirâ’ât يَطَّهَّرْنَ, yang berarti bahwa suami haram bersetubuh dengan istrinya yang sedang haid sampai sang istri berhenti dari haid dan bersuci (mandi). Pendapat ini diikuti oleh Imam Mâlik, Imam syâfi`î, al-Auza`î, dan al-Tsaurî. Sedangkan kelompok yang kedua cenderung kepada qirâ’ât يَطْهُرْنَ, yang berarti bahwa batas larangan bersetubuh sampai pada sang istri (yang sedang haid) suci, dalam arti darah haidnya telah berhenti meskipun belum bersuci (mandi). Pendapat ini diikuti oleh Imam Hanafî.
Imam Syâfi`î berpendapat bahwa apabila ada dua versi qirâ’ât mutawâtir (يَطْهُرْنَ dan يَطَّهَّرْنَ) dan keduanya dapat digabungkan dari segi kandungan hukumnya, maka wajib menggabungkannya. Qirâ’ât (حتى يَطْهُرْنَ) mengandung arti sampai mereka suci atau berhenti darah haidnya, sementara qirâ’ât (حتى يَطَّهَّرْنَ) mengandung arti sampai mereka bersuci dengan air (mandi). Kedua ketentuan hukum dalam kedua qirâ’ât tersebut dapat digabungkan, yaitu sampai terpenuhinya kedua ketentuan hukum tersebut.
Sedangkan Imam Abû Hanîfah berpendapat bahwa yang dimaksud dengan  (وَلاَ تَقْرَبُوْهُنَّ حَتىَّ يَطْهُرْنَ) dalam ayat tersebut yaitu janganlah kamu bersetubuh dengan mereka, sampai mereka suci, dalam arti, telah berhenti dari darah haid mereka. Dengan demikian, para suami dibolehkan bersetubuh dengan mereka setelah darah haid mereka berhenti.[24]
Dalam hal ini penulis cenderung berpendapat bahwa batas keharaman seorang suami untuk menggauli istrinya yang haid adalah sampai wanita tersebut suci dalam arti telah berhenti dari darah haidnya dan telah mandi dari hadas besar. Hal ini mengingat dalam ayat tersebut terdapat rangkaian (فَإِذاَ تَطَهَّرْنَ فَأْتُوْهُنَّ), maka batas keharamannya adalah apabila sudah memenuhi persyaratan (التَّطَهُّرُ) yaitu, bersuci dengan cara mandi.
b.    Ayat 6 surat al-Mâ’idah
 
Secara umum ulam terbagi ke dalam dua kelompok dalam menetapkan hukum ayat di atas. Kelompok pertama cenderung kepada qirâ’ât وَأَرْجُلِكُمْ (dengan kasrah ل) karena `athaf dengan بِرُوُءسِكُمْ yang juga berharakat kasrah, berdasarkan riwayat Ibn Katsîr, Abû `Amr, Hamzah, dan Abû Bakar. Pendapat ini dianut oleh Syi`ah Imamiyah. Dengan demikian mereka berprinsip, dalam berwudhu kaki wajib disapu tidak dicuci.
Kelompok kedua cenderung kepada qirâ’ât Nâfi`, al-Kisâ’î, Ibn `Âmir, dan Hafsh yang membaca وَأَرْجُلَكُمْ (dengan fathah ل) karena `athaf dengan وَأَيْدِيَكُمْ. Pendapat ini dianut oleh jumhur ulama fikih empat madzhab. Menurut pendapat ini wajib mencuci kaki, tidak sah wudhu hanya dengan menyapu kaki.[25]
Dua contoh di atas kiranya sudah cukup dijadikan bukti bahwa perbedaan qirâ’ât mempunyai implikasi terhadap suatu hukum. Namun sebaliknya, tidak semua perbedaan dalam qirâ’ât berimplikasi terhadap penetapan hukum sehingga menghasilkan produk hukum yang berbeda. Sebagai contohnya adalah ayat 95 surat al-Mâ’idah;
Ayat di atas menjelaskan, bahwa bila seorang yang sedang ihram dan membunuh binatang buruan dengan sengaja, maka salah satu alternatif dendanya adalah memberi makan orang-orang miskin (كفارة طعام مساكين) seimbang dengan harga binatang ternak yang akan digunakan untuk menjadi binatang ternak yang dibunuhnya.
Sehubungan dengan ayat di atas, Ibn Katsîr, `Âshim, Abû `Amr, Hamzah, dan al-Kisâ’î membaca أَوْ كَفاَّرَةٌ طَعاَمُ مَساَكِيْنَ. Sementara Nâfi` dan Ibn `Âmir membaca              أَوْكَفاَّرَةُ طَعاَمِ مَساَكِيْنَ, yakni dengan cara meng-idlafat-kan lafadz كفارة kepada lafadz طعام. Dua qirâ’ât tersebut tidak menimbulkan perbedaan maksud atau ketentuan hukum yang terkandung di dalamnya.[26]



6.    Hikmah Perbedaan Qirâ’ât dalam al-Qur’an
Adanya perbedaan qirâ’ât dalam al-Qur’an, tampaknya tidak terlepas dari adanya hikmah yang terkandung di dalamnya. Karena itu para ulama berupaya mencoba menemukan dan mengungkapkannya, di antaranya;
a.    Memberi kemudahan bagi umat Islam, khususnya bangsa Arab, dalam membaca al-Qur’an. Hal ini karena mereka terdiri atas berbagai suku bangsa yang masing-masing memiliki dialek yang berbeda-beda. Seandainya al-Qur’an diturunkan dan hanya boleh dibaca dalam dialek dari suku bangsa Arab tertentu, sudah barang tentu suku yang lainnya akan mendapat kesulitan dalam membaca al-Qur’an dengan dialek yang bukan dialek mereka.[27]
b.    Bukti keagungan al-Qur’an. Dengan diturunkannya al-Qur’an dalam bacaan yang bervariasi, beragam qirâ’ât, namun semua bukan merusak malah memperkaya dan memperjelas pengertiannya, seperti qirâ’ât Sa`ad ibn Abî Waqqâsh                          وله أخ أو أخت من أم, yakni dengan menambahkan lafadz من أم dari qirâ’ât yang biasa dijumpai dalam ayat 12 dari surat al-Nisâ’. Dengan penambahan itu, maka tampak dengan jelas bahwa yang dimaksud dengan “saudara” dalam ayat tersebut adalah saudara seibu, bukan saudara kandung dan bukan pula saudara sebapak.[28]
c.    Mempersatukan umat Islam. Dengan diturunkannya al-Qur’an dalam berbagai bacaan yang sesuai dengan kemampuan mereka, maka mereka merasakan bahwa al-Qur’an bukan milik satu golongan tertentu, melainkan untuk semua umat. Perasaan ini mendorong mereka untuk mencintai al-Qur’an sepenuh hati dan sekaligus mendorong mendalami makna yang terkandung di dalamnya.[29]
d.   Menunjukkan atau membuktikan terjaganya serta terpeliharanya al-Qur’an dari adanya tabdîl (penggantian) dan tahrîf (pengubahan), termasuk berbagai versi qirâ’ât-nya.[30]
e.    Menunjukkan kelebihan (keutamaan) umat Nabi Muhammad dari umat nabi-nabi sebelumnya, karena kitab suci yang diturunkan kepada umat sebelum Nabi Muhammad hanya terdiri atas satu versi qirâ’ât saja.[31]

C.  Penutup
Al-Qur’an dalam wujud mushhaf sebagaimana adanya sekarang merupakan hasil proses panjang dan unik dari rangkaian sejarah keberadaannya sebagai kitab suci seluruh umat Islam. Ia adalah kalam-kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad, yang wujudnya diformulasikan dalam bentuk huruf atau tulisan dalam mushhaf tersebut.
       Pada garis besarnya, perbedaan-perbedaan qirâ’ât al-Qur’an hanya menyangkut dua aspek. Aspek pertama menyangkut substansi lafadz dan aspek kedua menyangkut lahjah (dialek kebahasaan). Perbedaan substansi lafadz ada yang dapat menyebabkan perbedaan makna ada juga yang tidak. Sedangkan perbedaan yang menyangkut lahjah pada prinsipnya tidak menimbulkan adanya perbedaan makna. Wallâhu a`lam.



DAFTAR PUSTAKA

Baidan, Nashruddin. Wawasan Baru Ilmu Tafsir. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005.
CD Syâmilah
al-Fadllî, `Abd al-Hâdî. al-Qirâ’ât al-Qur’âniyyah. Beirut: Dâr al-Majma` al-`ilm, 1979.
Hasanuddin AF. Perbedaan Qira’at dan Pengaruhnya Terhadap Istinbath Hukum dalam al-Qur’an. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1995.
Mûsâ, Kâmil dan Dahrûj, `Alî. al-Tibyân fî `Ulûm al-Qur’ân. Beirut: Dâr Bairût al-Mahrûsah, 1995.
al-Qaththân, Mannâ`. Mabâhits fî `Ulûm al-Qur’ân. Kairo: Maktabah al-Wahbah, t.th.
al-Shâbûnî, Muhammad `Alî, al-Tibyân fî `Ulûm al-Qur’ân. Jakarta: Dâr al-Kutub al-Islâmiyah, 2003.
Al-Suyûthî. al-Itqân fî `Ulûm al-Qur’ân. Beirut: Mu’assisah al-Kutub al-Tsaqâfiyah, 1996.
al-Zarkasyî, Muhammad ibn `Abdillâh. al-Burhân fî `Ulûm al-Qur’ân. Kairo: Dâr al-Hadîts, 2006.
al-Zarqânî, Muhammad `Abd al-Azhîm. Manâhil al-`Urfân fî `Ulûm al-Qur’ân. Beirut: Dâr al-Fikr, 1988.



[1] Muhammad `Abd al-Azhîm al-Zarqânî, Manâhil al-`Urfân fî `Ulûm al-Qur’ân, juz 1 (Beirut: Dâr al-Fikr, 1988), h. 412.
[2] Mannâ` al-Qaththân, Mabâhits fî `Ulûm al-Qur’ân (Kairo: Maktabah al-Wahbah, t.th), h. 162.
[3] Muhammad `Alî al-Shâbûnî, al-Tibyân fî `Ulûm al-Qur’ân (Jakarta: Dâr al-Kutub al-Islâmiyah, 2003), h. 229.
[4] Muhammad ibn `Abdillâh al-Zarkasyî, al-Burhân fî `Ulûm al-Qur’ân (Kairo: Dâr al-Hadîts, 2006), h. 222.
[5] `Abd al-Hâdî al-Fadllî, al-Qirâ’ât al-Qur’âniyyah (Beirut: Dâr al-Majma` al-`ilm, 1979), h. 63.
[6] Hasanuddin AF, Perbedaan Qira’at dan Pengaruhnya Terhadap Istinbath Hukum dalam al-Qur’an (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1995), h. 121.
[7] Al-Zarqânî, Manâhil al-`Urfân fî `Ulûm al-Qur’ân, juz 1, h. 337.
[8] Mannâ` al-Qaththân, Mabâhits fî `Ulûm al-Qur’ân, h. 170.
[9] Al-Zarqânî, Manâhil al-`Urfân fî `Ulûm al-Qur’ân, juz 1, h. 338.
[10] Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), h. 102.
[11] Al-Shâbûnî, al-Tibyân fî `Ulûm al-Qur’ân, h. 233.
[12] Ibid., h. 234-237. Namun setelah diteliti oleh para ulama, masih ada sejumlah qirâ’ât yang dapat diterima dan diakui karena memenuhi kriteria qirâ’ât yang shahih meskipun derajat keshahihannya tidak sama dengan qirâ’ât sab`ah. Qirâ’ât-qirâ’ât tersebut disebut qirâ’ât sepuluh (qirâ’ât sab`ah ditambah dengan qirâ’ât Ya`qûb al-Hadlramî, qirâ’ât Khalaf ibn Hisyâm, dan qirâ’ât Yazîd ibn al-Qa`qa`)  dan qirâ’ât empat belas (qirâ’ât sepuluh ditambah dengan qirâ’ât Hasan al-Bashrî, qirâ’ât Muhammad ibn `Abd al-Rahmân, qirâ’ât Yahyâ ibn al-Mubârak dan qirâ’ât Muhammad ibn Ahmad al-Syabûdzî). Lihat Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, h. 103-104.
[13] Kâmil Mûsâ dan `Alî Dahrûj, al-Tibyân fî `Ulûm al-Qur’ân (Beirut: Dâr Bairût al-Mahrûsah, 1995), h. 350-351.
[14] Al-Suyûthî, al-Itqân fî `Ulûm al-Qur’ân, juz 1 (Beirut: Mu’assisah al-Kutub al-Tsaqâfiyah, 1996), h. 208.
[15] Kâmil Mûsâ dan `Alî Dahrûj, al-Tibyân fî `Ulûm al-Qur’ân, h. 353.
[16] Al-Suyûthî, al-Itqân fî `Ulûm al-Qur’ân, juz 1, h. 203.
[17] HR. Bukhârî Muslim (CD Syâmilah)
[18] Ibid.
[19] Al-Zarqânî, Manâhil al-`Urfân fî `Ulûm al-Qur’ân, juz 1, h. 145.
[20] Ibid., h. 191. Lihat juga Al-Shâbûnî, al-Tibyân fî `Ulûm al-Qur’ân, h. 227-228.
[21] Al-Suyûthî, al-Itqân fî `Ulûm al-Qur’ân, juz 1, h. 215.
[22] Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, h. 110.
[23] Hasanuddin AF, Perbedaan Qira’at dan Pengaruhnya Terhadap Istinbath Hukum dalam al-Qur’an, h. 203.
[24] Ibid., h. 204-205.
[25] Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, h. 111.
[26] Hasanuddin AF, Perbedaan Qira’at dan Pengaruhnya Terhadap Istinbath Hukum dalam al-Qur’an, h. 216.
[27] Al-Zarqânî, Manâhil al-`Urfân fî `Ulûm al-Qur’ân, juz 1, h. 145.
[28] Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, h. 114.
[29] Ibid.
[30] Mannâ` al-Qaththân, Mabâhits fî `Ulûm al-Qur’ân, h. 170.
[31] Hasanuddin AF, Perbedaan Qira’at dan Pengaruhnya Terhadap Istinbath Hukum dalam al-Qur’an, h. 247.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar