Qirâ’ât Dalam al-Qur’an
Oleh Cholid Abdullah
A. Pendahuluan
Sebagaimana diketahui, al-Qur’an
merupakan kitab suci umat Islam, dan beriman kepadanya tergolong salah satu
rukun iman. Al-Qur’an juga merupakan salah satu sumber hukum Islam yang
menduduki peringkat teratas, dan seluruh ayatnya berstatus sebagai qath`iy
al-wurûd, yang diyakini eksistensinya sebagai wahyu dari Allah Swt.
Al-Qur’an diturunkan dalam lingkup
bangsa Arab, yang notabene mempunyai berbagai macam suku dan tentunya juga
bermacam-macam dialek (lahjah). Perbedaan dialek itu tentunya sesuai
dengan kondisi alam, seperti letak geografis dan sosio cultural pada
masing-masing suku. Perbedaan-perbedaan lahjah itu membawa
konsekuensi lahirnya bermacam-macam bacaan (qirâ’ah) dalam melafalkan
al-Qur’an. Untuk mengetahui tentang qirâ’ât dalam al-Qur’an, makalah ini
akan membahas tentang qirâ’ât dalam al-Qur’an agar diperoleh pemahaman
yang komprehensif.
B. Pembahasan
1. Definisi Qirâ’ât
Qirâ’ât adalah jamak dari qirâ’ah,
merupakan masdhar simâ`î dari qara’a
(قرأ) yang berarti bacaan. Adapun secara istilah, sebagaimana
dikemukakan oleh al-Zarqânî, merupakan suatu madzhab yang dibangun oleh para
imam qirâ’ah yang saling berbeda dari segi pengucapan dalam al-Qur’an
dan disertai jalan dan riwayat yang telah disepakati.[1]
Hampir sama dengan definisi di
atas adalah apa yang diutarakan oleh Mannâ` al-Qaththân dan al-Shâbûnî. Menurut
al-Qaththân, qirâ’ât adalah suatu madzhab tertentu dalam cara pengucapan
al-Qur’an yang dibangun oleh salah satu imam qirâ’ât yang berbeda dengan
madzhab lainnya.[2]
Sedangkan menurut al-Shâbûnî, qirâ’ât merupakan madzhab tertentu tentang pelafalan al-Qur’an
yang dibangun oleh salah satu imam qirâ’ât yang berbeda dengan madzhab
lain dan mempunyai sanad yang bersambung ke Rasulullah saw.[3]
Sementara ada pendapat lain dari
beberapa ulama. Al-Zarkasyî, misalnya, mengemukakan bahwa qirâ’ât adalah
perbedaan lafadz-lafadz wahyu (al-Qur’an), baik menyangkut huruf-hurufnya
maupun cara pengucapan huruf-huruf tersebut seperti takhfîf, tasydîd,
dan lain-lain.[4] Hampir
sama dengan definisi ini, al-Dimyâthî, sebagaimana dikutip oleh Dr. `Abd al-Hâdî
al-Fadllî, mengemukakan bahwa qirâ’ât adalah suatu ilmu untuk mengetahui
cara pengucapan lafadz-lafadz al-Qur’an, baik yang disepakati maupun yang
diperselisihkan oleh para ahli qirâ’ât, seperti; hadzf (membuang
huruf), itsbât (menetapkan huruf), tahrîk (memberi
harakat), taskîn (memberi tanda sukun), fashl (memisahkan huruf),
washl (menyambungkan huruf), ibdâl (menggantikan huruf atau
lafadz tertentu), dan lain-lain yang diperoleh secara simâ`î (melalui
indera pendengaran).[5]
Hemat penulis, definisi yang
dikemukakan oleh al-Zarqânî, dan yang sejalan. tampak lebih lengkap, kerena pada
pendapat yang lain hanya menegaskan bahwa qirâ’ât sebagai ilmu melafadzkan
al-Qur’an, tanpa menyatakan qirâ’ât sebagai sebuah madzhab serta tidak
menegaskan perlunya kesepakatan dalam periwayatan dan sanad yang dilaluinya.
2. Sejarah Perkembangan Qirâ’ât
Sebagaimana diketahui bahwa
al-Qur’an diwahyukan dan disampaikan kepada Nabi Muhammad melalui perantara
malaikat Jibril. Hal ini berlangsung sejak turunnya wahyu pertama hingga
seluruh al-Qur’an selesai diturunkan. Selanjutnya, apa yang disampaikan atau
dibacakan oleh malaikat Jibril kepada Nabi saw. disampaikan serta diajarkan
pula oleh beliau kepada para sahabat dan kaum muslim saat itu.[6]
Pada mulanya tidak ada qirâ’ât
yang tidak sah, karena semuanya diajarkan oleh Rasul. Para sahabat berbeda-beda
dalam mengambil qirâ’ât dari Nabi. Ada yang mengambil satu huruf
(bacaan) saja, ada yang dua huruf, bahkan lebih. Kemudian, karena Islam sudah
semakin berkembang dan menyebar, para sahabat mulai berpencar-pencar dengan
membawa qirâ’ât yang mereka terima dari Nabi. Dengan sebab ini, para
tabi`in yang belajar qirâ’ât kepada sahabat berbeda pula dengan tabi`in
yang lain, demikian seterusnya sampai kepada masa imam-imam qirâ’ât yang
akhirnya terbentuk berbagai macam madzhab qirâ’ât.[7]
Telah masyhur para qurrâ’
di kalangan sahabat, di antaranya; Ubay ibn Ka`ab, `Alî ibn Abî Thâlib, Zaid
ibn Tsâbit, Ibnu Mas`ûd, Abû Mûsâ al-Asy`arî, dan lain-lain. Dari mereka ini
banyak para sahabat lain dan tabi`in mengambil ilmu (qirâ’ât), di mana
semua sanadnya bersambung kepada Rasulullah saw.[8]
Sedangkan di kalangan tabi`in,
yang masyhur di antaranya Ibn al-Musayyab, `Urwah, Sâlim, `Umar ibn `Abd
al-`Azîz, Sulaimân ibn Yasâr, al-Zuhrî (semuanya ada di Madinah). Di bagian
Makkah terdapat `Athâ’, Mujâhid, Thâwus, dan lain-lain. Di Bashrah ada `Âmir
ibn `Abd al-Qais, Abû al-`Âliyah, Yahyâ ibn Ya`mar, Ibnu Sîrîn, dan lain-lain. Di Kufah ada `Alqamah, Masrûq,
`Ubadah, al-Rabî` ibn Khaitsam, al-Nakhâ`î, al-Sya`bî. Sedangkan di Syam
terdapat al-Mughîrah ibn Abû Syihâb, al-Makhzûmî, Khulaid ibn Sa`îd dan
lain.lain.[9]
Setelah masa ini barulah muncul imam-imam qirâ’ât dan terbentuk
madzhab-madzhab dalam qirâ’ât.
3. Macam-macam Qirâ’ât
Pada dasarnya qirâ’ât hanya
terbagi dua macam, yakni qirâ’ât yang sah dan qirâ’ât yang tidak
sah. Qirâ’ât yang sah artinya qirâ’ât yang diterima dan diakui
shahih oleh para ahli qirâ’ât; artinya qirâ’ât tersebut sesuai
dengan yang diajarkan oleh Rasulullah. Sebaliknya, qirâ’ât yang tidak
sah adalah qirâ’ât yang tidak diakui oleh ahli qirâ’ât berasal
dari Rasulullah atau disebut juga dengan qirâ’ât syâdzah.[10]
Pada akhir abad ketiga hijriyah,
Ibn Mujâhid Ahmad ibn Mûsâ ibn `Abbâs menghimpun qirâ’ât-qirâ’ât
yang berjumlah tujuh macam (qirâ’ât sab`ah). Sejak saat itulah qirâ’ât
sab`ah menjadi populer, meskipun ada penggantian imam Ya`qûb dengan imam
al-Kisâ’î.[11] Namun Ibn
Mujâhid tidak memberikan alasan penggantian tersebut. Ketujuh qirâ’ât
tersebut adalah;
a. Qirâ’ât Ibn `Âmir; nama lengkapnya adalah `Abdullâh
al-Yahshabî, menerima qirâ’ât dari al-Mughîrah ibn Abû Shihâb
al-Makhzûmî dari `Utsmân ibn `Affân dari Rasulullah. Wafat tahun 118 H di Damaskus.
b. Qirâ’ât Ibn Katsîr; nama lengkapnya Abû Muhammad
`Abdullâh ibn Katsîr al-Dârî al-Makkî, menerima qirâ’ât dari `Abdullâh
ibn al-Sâ’ib dari Ubay ibn Ka`ab dari Rasulullah. Wafat tahun 120 H di Makkah.
c. Qirâ’ât `Âshim; nama lengkapnya adalah `Âshim ibn Abû
al-Najûd al-Asadî, menerima qirâ’ât dari Abû `Abd al-Rahmân
al-Sîmî dari Ibn Mas`ûd, `Utsmân ibn `Affân, `Alî ibn Abû Thâlib dari
Rasulullah. Wafat tahun 127/128 H di Kufah.
d. Qirâ’ât Abû `Amr; nama lengkapnya adalah Abû `Amr Zabbân
ibn al-`Alâ ibn `Amâr al-Bashrî, menerima qirâ’ât dari Hasan
al-Bashrî dari Abû al-`Âliyah dari `Umar ibn al-Khaththâb dari Rasulullah.
Wafat tahun 154 H di Kufah.
e. Qirâ’ât Hamzah; nama lengkapnya Hamzah ibn Habîb
ibn `Imârah al-Ziyyât al-Fardlî al-Taimî, menerima qirâ’ât dari `Alî
Sulaimân al-A`masy, Ja`far al-Shâdiq, Hamrân ibn A`yân dan lain-lain
yang sanadnya bersambung sampai Rasulullah. Wafat tahun 156 H di Halwân.
f. Qirâ’ât Nâfi`; nama lengkapnya Abû Ruwaim Nâfi` ibn `Abd
al-Rahmân ibn Abû Na`îm al-Laitsî, menerima qirâ’ât `Alî ibn
Ja`far, `Abd al-Rahmân ibn al-Hurmûz, dan lain-lain yang sanadnya
bersambung kepada Rasulullah. Wafat tahun 169 H di Madinah.
g. Qirâ’ât al-Kisâ’î; nama lengkapnya adalah `Alî ibn Hamzah
al-Kisâ’î, menerima qirâ’ât dari Hamzah, Syu`bah, Ismâ`îl ibn
Ja`far yang sanadnya bersambung kepada Rasulullah. Wafat tahun 189 H di Ray.[12]
Dari segi sanad, Imam al-Bulqînî
membagi qirâ’ât menjadi tiga macam, yakni:
a. Qirâ’ât mutawâtir, yaitu qirâ’ât sab`ah (qirâ’ât
tujuh) yang telah masyhur.
b. Qirâ’ât ahâd, yakni tiga qirâ’ât yang
melengkapi qirâ’ât sab`ah, di mana kesepuluh qirâ’ât tersebut
dikenal dengan nama qirâ’ât `asyrah (qirâ’ât sepuluh).
c. Qirâ’ât syâdz, yakni qirâ’ât tabi`in seperti
A`masy, Ibn Tsâbit Yahyâ, Ibn Jubair dan sebagainya.[13]
Adapun Imam al-Suyûthî, yang
menukil pendapat dari Ibn al-Jazarî, membagi qirâ’ât menjadi enam macam,
yakni:
a. Mutawâtir, yaitu qirâ’ât yang diriwayatkan oleh
sekelompok orang banyak dari orang banyak sampai pada periwayat terakhir yang
tidak mungkin bersekongkol untuk berdusta. Seperti qirâ’ât tujuh yang
disepakati jalurnya.
b. Masyhûr, yaitu qirâ’ât yang sanadnya sahih dan
diriwayatkan oleh orang yang adil dan dlâbith dari sepadannya, yang
sesuai dengan kaedah bahasa Arab, sesuai dengan salah satu mushaf utsmani,
sudah masyhur di kalangan para qurrâ’ namun tidak mencapai derajat mutawâtir.
Seperti periwayatan yang berbeda-beda dari qirâ’ât sab`ah.
c. Ahâd, yaitu qirâ’ât yang sanadnya sahih
tetapi menyelisihi tulisan salah satu mushaf utsmani atau kaedah bahasa Arab dan
tidak mencapai derajat masyhûr sebagaimana poin (b) di atas.
d. Syâdz, yaitu qirâ’ât yang sanadnya tidak sahih.
Seperti qirâ’ât-nya Ibn al-Sumaifa`; فاليوم
ننحيك ببدنك, padahal dalam qirâ’ât
yang mutawâtir tertulis فاليوم ننجيك ببدنك.
e. Maudlû`, yaitu qirâ’ât yang dinisbahkan kepada
pengucapnya tanpa dasar sama sekali, seperti qirâ’ât yang dikumpulkan
oleh Muhammad ibn Ja`far al-Khazâ`î dan dinisbahkan kepada imm Abû Hanîfah
padahal bukan darinya.
f. Mudrâj, yaitu qirâ’ât yang disisipkan atau
ditambahkan ke dalam qirâ’ât yang sah sebagai bentuk penafsiran. Seperti
qirâ’ât Sa`ad ibn Abî Waqâsh yang menambahi dengan kalimat من
أم, padahal dalam qirâ’ât
yang sah hanya tertulis وله أخ أو أخت tanpa ada tambahan من
أم.[14]
Pembagian qirâ’ât ini
sebenarnya tidak keluar dari tiga kategori sebelumnya, yaitu mutawâtir
(poin a), ahâd (poin b dan c) dan syâdz (poin d, e, dan f)
Adapun indikator sah atau tidaknya
suatu qirâ’ât, harus memenuhi tiga persyaratan sebagaimana di bawah ini;
a. Sesuai dengan kaedah bahasa Arab walaupun hanya dari satu aspek
(wajah). Misalnya mencocoki dalam satu aspek dari beberapa aspek Nahwu.
b. Sesuai dengan salah satu Rasm `Utsmânî, baik kesesuaian
tersebut secara eksplisit ataupun hanya secara implisit.
c. Sanad periwayatannya shahih, yakni qirâ’ât tersebut
diriwayatkan oleh orang yang adil dan dlâbîth kepada sesamanya hingga
sampai akhir sanad.[15]
Ibn al-Jazarî menambahkan, apabila
suatu qirâ’ât telah memenuhi tiga syarat di atas, maka qirâ’ât
tersebut sah dan tidak boleh ditolak dan diinkari karena termasuk dari tujuh
huruf di mana al-Qur’an diturunkan dengannya. Dan wajib bagi manusia untuk
menerimanya baik qirâ’ât tersebut dari qirâ’ât sab`ah (tujuh), qirâ’ât
sepuluh ataupun yang lainnya. Sebaliknya jika salah satu syarat di atas tidak
terpenuhi, maka qirâ’ât tersebut dinyatakan sebagai qirâ’ât yang
lemah, syâdz atau bathil.[16]
4. Qirâ’ât Sab`ah dan Tujuh Huruf dalam al-Qur’ân
Dalam sebuah hadis dinyatakan
sebagai berikut:
قَالَ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله
عليه وسلم
« أَقْرَأَنِى جِبْرِيلُ عَلَيْهِ السَّلاَمُ عَلَى حَرْفٍ فَرَاجَعْتُهُ فَلَمْ
أَزَلْ أَسْتَزِيدُهُ فَيَزِيدُنِى حَتَّى انْتَهَى إِلَى سَبْعَةِ أَحْرُفٍ »[17]
“Rasulullah Saw bersabda: “Malaikat Jibril telah
membacakan (al-Qur’an) kepadaku atas satu huruf (bacaan), lalu aku kembali
kepadanya dan berulang kali memintanya agar menambahkan bacaan tersebut, maka
jibril pun menambah bacaan tersebut hingga tujuh huruf (bacaan)”.
قَالَ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله
عليه وسلم
إِنَّ هَذَا الْقُرْآنَ أُنْزِلَ عَلَى سَبْعَةِ أَحْرُفٍ فَاقْرَءُوا مَا
تَيَسَّرَ مِنْهُ[18]
“Rasulullah
Saw bersabda: “sesungguhnya al-Qur’an ini diturunkan dalam tujuh huruf (tujuh
macam bacaan), maka bacalah apa saja jenis bacaan yang mudah darinya”.
Dua
hadis di atas secara jelas memberitahukan bahwa al-Qur’an diturunkan dalam
tujuh huruf (tujuh macam bacaan). Dispensasi yang diberikan oleh Rasulullah
dalam membaca al-Qur’an lebih dari satu huruf dimaksudkan untuk memberi
kemudahan kepada umat Islam pada umumnya, dan masyarakat Arab pada khususnya
dalam membaca kitab suci sehingga mereka tidak terbebani oleh bacaan-bacaan
yang sukar. Sebab kenyataannya, masyarakat pada saat itu banyak yang buta
aksara, bersuku-suku dan berkelompok-kelompok yang mana masing-masing suku atau
kelompok mempunyai bahasa dan dialek yang berbeda-beda, yang sangat sukar
meniru antara dialek satu dengan yang lainnya.[19]
Namun apakah
yang dimaksud dengan tujuh huruf identik dengan qirâ’ât sab`ah (qirâ’ât
tujuh)? Jawabannya adalah tidak. Setidaknya hal ini dapat disanggah dengan tiga
alasan, yaitu:
a. Jika
yang dimaksud dengan tujuh huruf adalah qirâ’ât sab`ah maka hadis Nabi
yang berbunyi “sesungguhnya al-Qur’an ini diturunkan dalam tujuh huruf (tujuh
macam bacaan)” tidak akan menghasilkan faedah sampai dilahirkan imam-imam tujuh
tersebut. Sedangkan Nabi sendiri membaca al-Qur’an dengan tujuh huruf tersebut,
demikian juga sahabat, sebelum timbulnya qirâ’ât sab`ah dalam bentuk
madzhab.
b. Tujuh
huruf yang dimaksud cakupannya lebih luas dan lebih umum daripada qirâ’ât
sab`ah, karena tujuh huruf itu sendiri selain memuat qirâ’ât sab`ah
juga mencakup qirâ’ât-qirâ’ât lain yang dibaca oleh Nabi, dan juga
memuat sesuatu yang asalnya termasuk al-Qur’an namun telah dihapus dan tidak sampai
kepada imam-imam tersebut. Dengan demikian cakupan tujuh huruf sangat luas
mencakup semua aspek-aspek qirâ’ât. Maka tidak dapat dikatakan bahwa tujuh
huruf itu adalah qirâ’ât sab`ah secara mutlak.
c. Sangat
tidak masuk akal jika Rasulullah mewajibkan membaca al-Qur’an kepada para
sahabat dengan qirâ’ât-qirâ’ât para imam yang belum lahir pada saat itu.[20]
Mengenai
hal ini Abû Syâmah pun berkomentar, seperti yang dinukil oleh al-Suyûthî:
“sebagian kaum menyangka bahwa qirâ’ât sab`ah yang beredar sekarang
adalah yang dimaksud dalam hadis, padahal persangkaan ini menyalahi ijma` ahli
ilmu secara bulat. Yang berpendapat seperti ini hanya sebagian mereka yang
bodoh”.[21]
Maka
jika dirunut dari segi sejarah, keberadaan sab`ah ahruf (tujuh
huruf) lebih dahulu daripada qirâ’ât sab’ah. Tujuh huruf sudah terjadi
sejak jaman Rasulullah, sedangkan qirâ’ât sab`ah baru muncul ketika
Islam sudah mulai menyebar dan para sahabat mulai berpencar dengan membawa satu
atau beberapa huruf yang diajarkan oleh Nabi, sehingga hal inilah yang
menyebabkan timbulnya bermacam-macam qirâ’ât. Menurut penulis, qirâ’ât
sab`ah adalah bagian dari tujuh huruf, namun tidak berlaku sebaliknya.
5. Qirâ’ât dan Implikasinya terhadap Hukum
Meskipun
qirâ’ât bukan satu-satunya yang dijadikan dasar dalam istinbath
(penetapan hukum), namun tidak dapat dipungkiri bahwa perbedaan qirâ’ât
mempunyai pengaruh besar terhadap produk hukum. Bahkan inilah salah satu sebab
timbulnya berbagai madzhab dalam Islam.[22] Ada beberapa contoh sebagai bukti bahwa
perbedaan qirâ’ât berimplikasi terhadap produk hukum, di antaranya;
a. Ayat 222
surat al-Baqarah
Ayat di
atas merupakan larangan bagi seorang suami untuk melakukan hubungan seksual
dengan istrinya dalam keadaan haid. Adapun batas larangan yang disebutkan dalam
ayat di atas yaitu sampai mereka (yang mengalami haid) dalam keadaan suci
kembali (حَتَّى يَطْهُرْنَ). Sementara itu, kata tersebut telah terjadi perbedaan qirâ’ât
yang berkisar pada dua kubu. Hamzah, al-Kisâ’î, dan `Âshim riwayat
Syu`bah membaca kata tersebut dengan يَطَّهَّرْنَ, sedangkan Ibn
Katsîr, Nâfi`, Abû `Amr, Ibn `Âmir, dan `Âshim riwayat Hafsh membacanya
dengan يَطْهُرْنَ.[23]
Dalam
menetapkan hukum ayat tersebut, para ulama terbagi ke dalam dua kelompok.
Pertama cenderung kepada qirâ’ât يَطَّهَّرْنَ, yang berarti
bahwa suami haram bersetubuh dengan istrinya yang sedang haid sampai sang istri
berhenti dari haid dan bersuci (mandi). Pendapat ini diikuti oleh Imam Mâlik,
Imam syâfi`î, al-Auza`î, dan al-Tsaurî. Sedangkan kelompok yang kedua cenderung
kepada qirâ’ât يَطْهُرْنَ, yang berarti bahwa batas larangan bersetubuh sampai pada sang
istri (yang sedang haid) suci, dalam arti darah haidnya telah berhenti meskipun
belum bersuci (mandi). Pendapat ini diikuti oleh Imam Hanafî.
Imam Syâfi`î berpendapat bahwa
apabila ada dua versi qirâ’ât mutawâtir (يَطْهُرْنَ dan يَطَّهَّرْنَ) dan keduanya dapat digabungkan dari segi kandungan hukumnya,
maka wajib menggabungkannya. Qirâ’ât (حتى
يَطْهُرْنَ) mengandung
arti sampai mereka suci atau berhenti darah haidnya, sementara qirâ’ât (حتى يَطَّهَّرْنَ) mengandung arti sampai mereka bersuci dengan air (mandi).
Kedua ketentuan hukum dalam kedua qirâ’ât tersebut dapat digabungkan, yaitu
sampai terpenuhinya kedua ketentuan hukum tersebut.
Sedangkan Imam Abû Hanîfah
berpendapat bahwa yang dimaksud dengan (وَلاَ تَقْرَبُوْهُنَّ حَتىَّ يَطْهُرْنَ) dalam ayat
tersebut yaitu janganlah kamu bersetubuh dengan mereka, sampai mereka suci,
dalam arti, telah berhenti dari darah haid mereka. Dengan demikian, para suami
dibolehkan bersetubuh dengan mereka setelah darah haid mereka berhenti.[24]
Dalam hal ini penulis cenderung
berpendapat bahwa batas keharaman seorang suami untuk menggauli istrinya yang
haid adalah sampai wanita tersebut suci dalam arti telah berhenti dari darah
haidnya dan telah mandi dari hadas besar. Hal ini mengingat dalam ayat tersebut
terdapat rangkaian (فَإِذاَ تَطَهَّرْنَ فَأْتُوْهُنَّ), maka batas
keharamannya adalah apabila sudah memenuhi persyaratan (التَّطَهُّرُ) yaitu, bersuci dengan cara mandi.
b. Ayat 6 surat al-Mâ’idah
Secara
umum ulam terbagi ke dalam dua kelompok
dalam menetapkan hukum ayat di atas. Kelompok pertama cenderung kepada qirâ’ât
وَأَرْجُلِكُمْ (dengan kasrah ل) karena `athaf dengan بِرُوُءسِكُمْ yang juga berharakat kasrah, berdasarkan riwayat Ibn
Katsîr, Abû `Amr, Hamzah, dan Abû Bakar. Pendapat ini dianut oleh Syi`ah
Imamiyah. Dengan demikian mereka berprinsip, dalam berwudhu kaki wajib disapu
tidak dicuci.
Kelompok kedua cenderung kepada qirâ’ât
Nâfi`, al-Kisâ’î, Ibn `Âmir, dan Hafsh yang membaca وَأَرْجُلَكُمْ (dengan fathah ل) karena `athaf dengan وَأَيْدِيَكُمْ. Pendapat ini dianut oleh jumhur ulama fikih empat madzhab.
Menurut pendapat ini wajib mencuci kaki, tidak sah wudhu hanya dengan menyapu
kaki.[25]
Dua contoh di atas kiranya sudah cukup dijadikan bukti
bahwa perbedaan qirâ’ât mempunyai implikasi terhadap suatu hukum. Namun
sebaliknya, tidak semua perbedaan dalam qirâ’ât berimplikasi terhadap
penetapan hukum sehingga menghasilkan produk hukum yang berbeda. Sebagai
contohnya adalah ayat 95 surat al-Mâ’idah;
Ayat di
atas menjelaskan, bahwa bila seorang yang sedang ihram dan membunuh binatang
buruan dengan sengaja, maka salah satu alternatif dendanya adalah memberi makan
orang-orang miskin (كفارة طعام مساكين) seimbang dengan harga
binatang ternak yang akan digunakan untuk menjadi binatang ternak yang
dibunuhnya.
Sehubungan
dengan ayat di atas, Ibn Katsîr, `Âshim, Abû `Amr, Hamzah, dan al-Kisâ’î
membaca أَوْ كَفاَّرَةٌ طَعاَمُ مَساَكِيْنَ. Sementara Nâfi` dan Ibn `Âmir membaca أَوْكَفاَّرَةُ طَعاَمِ
مَساَكِيْنَ, yakni dengan cara meng-idlafat-kan lafadz كفارة kepada lafadz طعام. Dua qirâ’ât
tersebut tidak menimbulkan perbedaan maksud atau ketentuan hukum yang
terkandung di dalamnya.[26]
6. Hikmah
Perbedaan Qirâ’ât dalam al-Qur’an
Adanya
perbedaan qirâ’ât dalam al-Qur’an, tampaknya tidak terlepas dari adanya
hikmah yang terkandung di dalamnya. Karena itu para ulama berupaya mencoba
menemukan dan mengungkapkannya, di antaranya;
a. Memberi
kemudahan bagi umat Islam, khususnya bangsa Arab, dalam membaca al-Qur’an. Hal
ini karena mereka terdiri atas berbagai suku bangsa yang masing-masing memiliki
dialek yang berbeda-beda. Seandainya al-Qur’an diturunkan dan hanya boleh
dibaca dalam dialek dari suku bangsa Arab tertentu, sudah barang tentu suku
yang lainnya akan mendapat kesulitan dalam membaca al-Qur’an dengan dialek yang
bukan dialek mereka.[27]
b. Bukti
keagungan al-Qur’an. Dengan diturunkannya al-Qur’an dalam bacaan yang
bervariasi, beragam qirâ’ât, namun semua bukan merusak malah memperkaya
dan memperjelas pengertiannya, seperti qirâ’ât Sa`ad ibn Abî Waqqâsh وله أخ
أو أخت من أم, yakni dengan menambahkan lafadz من أم dari qirâ’ât yang biasa dijumpai dalam ayat 12 dari
surat al-Nisâ’. Dengan penambahan itu, maka tampak dengan jelas bahwa yang
dimaksud dengan “saudara” dalam ayat tersebut adalah saudara seibu, bukan
saudara kandung dan bukan pula saudara sebapak.[28]
c. Mempersatukan
umat Islam. Dengan diturunkannya al-Qur’an dalam berbagai bacaan yang sesuai
dengan kemampuan mereka, maka mereka merasakan bahwa al-Qur’an bukan milik satu
golongan tertentu, melainkan untuk semua umat. Perasaan ini mendorong mereka
untuk mencintai al-Qur’an sepenuh hati dan sekaligus mendorong mendalami makna
yang terkandung di dalamnya.[29]
d. Menunjukkan
atau membuktikan terjaganya serta terpeliharanya al-Qur’an dari adanya tabdîl
(penggantian) dan tahrîf (pengubahan), termasuk berbagai versi qirâ’ât-nya.[30]
e. Menunjukkan
kelebihan (keutamaan) umat Nabi Muhammad dari umat nabi-nabi sebelumnya, karena
kitab suci yang diturunkan kepada umat sebelum Nabi Muhammad hanya terdiri atas
satu versi qirâ’ât saja.[31]
C. Penutup
Al-Qur’an
dalam wujud mushhaf sebagaimana adanya sekarang merupakan hasil proses
panjang dan unik dari rangkaian sejarah keberadaannya sebagai kitab suci
seluruh umat Islam. Ia adalah kalam-kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad, yang wujudnya diformulasikan dalam bentuk huruf atau tulisan dalam
mushhaf tersebut.
Pada garis besarnya, perbedaan-perbedaan qirâ’ât
al-Qur’an hanya menyangkut dua aspek. Aspek pertama menyangkut substansi lafadz
dan aspek kedua menyangkut lahjah (dialek kebahasaan). Perbedaan
substansi lafadz ada yang dapat menyebabkan perbedaan makna ada juga yang
tidak. Sedangkan perbedaan yang menyangkut lahjah pada prinsipnya tidak
menimbulkan adanya perbedaan makna. Wallâhu a`lam.
DAFTAR PUSTAKA
Baidan, Nashruddin. Wawasan Baru Ilmu Tafsir.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005.
CD Syâmilah
al-Fadllî, `Abd al-Hâdî. al-Qirâ’ât
al-Qur’âniyyah. Beirut: Dâr al-Majma` al-`ilm, 1979.
Hasanuddin AF. Perbedaan Qira’at dan
Pengaruhnya Terhadap Istinbath Hukum dalam al-Qur’an. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 1995.
Mûsâ, Kâmil dan Dahrûj, `Alî. al-Tibyân
fî `Ulûm al-Qur’ân. Beirut: Dâr Bairût al-Mahrûsah, 1995.
al-Qaththân, Mannâ`. Mabâhits fî `Ulûm
al-Qur’ân. Kairo: Maktabah al-Wahbah, t.th.
al-Shâbûnî, Muhammad `Alî, al-Tibyân fî
`Ulûm al-Qur’ân. Jakarta: Dâr al-Kutub al-Islâmiyah, 2003.
Al-Suyûthî. al-Itqân fî `Ulûm al-Qur’ân.
Beirut: Mu’assisah al-Kutub al-Tsaqâfiyah, 1996.
al-Zarkasyî, Muhammad ibn `Abdillâh. al-Burhân
fî `Ulûm al-Qur’ân. Kairo: Dâr al-Hadîts, 2006.
al-Zarqânî, Muhammad `Abd al-Azhîm. Manâhil
al-`Urfân fî `Ulûm al-Qur’ân. Beirut: Dâr al-Fikr, 1988.
[1] Muhammad
`Abd al-Azhîm al-Zarqânî, Manâhil al-`Urfân fî `Ulûm al-Qur’ân, juz 1
(Beirut: Dâr al-Fikr, 1988), h. 412.
[2]
Mannâ` al-Qaththân, Mabâhits fî `Ulûm al-Qur’ân (Kairo: Maktabah
al-Wahbah, t.th), h. 162.
[3] Muhammad
`Alî al-Shâbûnî, al-Tibyân fî `Ulûm al-Qur’ân (Jakarta: Dâr al-Kutub
al-Islâmiyah, 2003), h. 229.
[4] Muhammad
ibn `Abdillâh al-Zarkasyî, al-Burhân fî `Ulûm al-Qur’ân (Kairo: Dâr
al-Hadîts, 2006), h. 222.
[5]
`Abd al-Hâdî al-Fadllî, al-Qirâ’ât al-Qur’âniyyah (Beirut: Dâr al-Majma`
al-`ilm, 1979), h. 63.
[6]
Hasanuddin AF, Perbedaan Qira’at dan Pengaruhnya Terhadap Istinbath Hukum
dalam al-Qur’an (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1995), h. 121.
[7]
Al-Zarqânî, Manâhil al-`Urfân fî `Ulûm al-Qur’ân, juz 1, h. 337.
[8]
Mannâ` al-Qaththân, Mabâhits fî `Ulûm al-Qur’ân, h. 170.
[9]
Al-Zarqânî, Manâhil al-`Urfân fî `Ulûm al-Qur’ân, juz 1, h. 338.
[10]
Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2005), h. 102.
[11]
Al-Shâbûnî, al-Tibyân fî `Ulûm al-Qur’ân, h. 233.
[12] Ibid.,
h. 234-237. Namun setelah diteliti oleh para ulama, masih ada sejumlah qirâ’ât
yang dapat diterima dan diakui karena memenuhi kriteria qirâ’ât yang
shahih meskipun derajat keshahihannya tidak sama dengan qirâ’ât sab`ah. Qirâ’ât-qirâ’ât
tersebut disebut qirâ’ât sepuluh (qirâ’ât sab`ah ditambah dengan qirâ’ât
Ya`qûb al-Hadlramî, qirâ’ât Khalaf ibn Hisyâm, dan qirâ’ât
Yazîd ibn al-Qa`qa`) dan qirâ’ât
empat belas (qirâ’ât sepuluh ditambah dengan qirâ’ât Hasan
al-Bashrî, qirâ’ât Muhammad ibn `Abd al-Rahmân, qirâ’ât
Yahyâ ibn al-Mubârak dan qirâ’ât Muhammad ibn Ahmad
al-Syabûdzî). Lihat Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, h.
103-104.
[13]
Kâmil Mûsâ dan `Alî Dahrûj, al-Tibyân fî `Ulûm al-Qur’ân (Beirut:
Dâr Bairût al-Mahrûsah, 1995), h. 350-351.
[14]
Al-Suyûthî, al-Itqân fî `Ulûm al-Qur’ân, juz 1 (Beirut: Mu’assisah
al-Kutub al-Tsaqâfiyah, 1996), h. 208.
[15]
Kâmil Mûsâ dan `Alî Dahrûj, al-Tibyân fî `Ulûm al-Qur’ân, h. 353.
[16]
Al-Suyûthî, al-Itqân fî `Ulûm al-Qur’ân, juz 1, h. 203.
[17]
HR. Bukhârî Muslim (CD Syâmilah)
[18] Ibid.
[19]
Al-Zarqânî, Manâhil al-`Urfân fî `Ulûm al-Qur’ân, juz 1, h. 145.
[20] Ibid.,
h. 191. Lihat juga Al-Shâbûnî, al-Tibyân fî `Ulûm al-Qur’ân, h. 227-228.
[21]
Al-Suyûthî, al-Itqân fî `Ulûm al-Qur’ân, juz 1, h. 215.
[22]
Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, h. 110.
[23]
Hasanuddin AF, Perbedaan Qira’at dan Pengaruhnya Terhadap Istinbath Hukum
dalam al-Qur’an, h. 203.
[24] Ibid.,
h. 204-205.
[25]
Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, h. 111.
[26]
Hasanuddin AF, Perbedaan Qira’at dan Pengaruhnya Terhadap Istinbath Hukum
dalam al-Qur’an, h. 216.
[27]
Al-Zarqânî, Manâhil al-`Urfân fî `Ulûm al-Qur’ân, juz 1, h. 145.
[28]
Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, h. 114.
[29] Ibid.
[30]
Mannâ` al-Qaththân, Mabâhits fî `Ulûm al-Qur’ân, h. 170.
[31]
Hasanuddin AF, Perbedaan Qira’at dan Pengaruhnya Terhadap Istinbath Hukum
dalam al-Qur’an, h. 247.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar