-

Minggu, 20 Desember 2009

ijma' ahl madinah

IJMA' AHL AL-MADINAH
(DALAM PERSPEKTIF IMAM MALIK)
A. Pendahuluan
Para sahabat Nabi SAW sejak periode Khulafa' al-Rasyidin telah meletakkan dasar-dasar metodologis guna mensosialisasikan berita dengan nisbah kehadisan yang bertumpu pada prinsip menjaga keutuhan dan kesesuaian dengan faktanya. Sistem ini terus dipertahankan sampai pada generasi Tabi'in maupun Tabi' al-Tabi'in. Sehingga banyaklah muncul kitab hadis yang berbeda-beda metodologinya.
Salah satu tokoh yang membuat kitab hadis adalah Imam Malik melalui kitab al-Muwaththa'nya. Salah satu poin penting dalam metodenya menyusun al-Muwaththa' adalah mengenai kedudukan Ijma' Ahl al-Madinah dengan Hadis Ahad. Dalam makalah ini akan diuraikan tentang bagaimana perspektif beliau tentang kedua hal tersebut.
B. Pembahasan
1. Riwayat Singkat
Nama lengkapnya adalah Malik bin Anas bin Malik bin Abi Amir bin Amr bin al-Haris bin Ghaiman bin Khutsail bin Amr bin al-Haris, Abu Abdillah al-Madaniy. Beliau dilahirkan tahun 93 H menurut qoul yang lebih shahih.
Imam Malik tinggal bersama isterinya Fatimah, dan tiga orang anaknya, Yahya, Muhammad dan Hammad. Kota Madinah tidak pernah ditinggalkan olehnya kecuali jika ia pergi haji ke Makkah. Tampaknya ia yakin bahwa sudah cukup baginya Madinah sebagai pusat menimba ilmu, karena di kota inilah ajaran Islam lahir dan kemudian diikuti oleh para sahabat dan tabi'in, pengikut Nabi yang setia.
Sebagai seorang ahli hadis, beliau sangat menghormati dan menjunjung tinggi hadis Nabi SAW, sehingga bila hendak memberi pelajaran hadis, beliau berwudhu terlebih dahulu, kemudian duduk di atas alas sembahyang dengan tawadhu'. Adapun guru yang pertama dan bergaul lama serta erat adalah Imam Abd. Rahman ibn Hurmuz, salah seorang ulama' besar di Madinah. Kemudian beliau belajar fikih kepada salah seorang ulama' besar Madinah, yang bernama Rabi'ah al-Ra'yi.
Imam Malik meninggal pada hari Ahad 12 Rabiul Awal 179 H dalam usia 87 tahun. Jenazahnya dikebumikan di kuburan Baqi'. Ia berwasiat supaya dikafani dengan pakaiannya yang putih dan dishalatkan di tempat meninggalnya. Dengan meninggalnya Imam Malik berkuranglah satu ulama besar Islam di Madinah.
2. Ijma' Ahl al-Madinah
Ada yang menyamakan antara Ijma' Ahl Madinah dengan Amal Ahl Madinah. A'mal ahl Madinah adalah semua perbuatan penduduk Madinah pada zaman sahabat dan tabi'in yang dianggap warisan dari Nabi Muhammad SAW. Sebagaimana Allah SWT berfirman dalam surat Al-Taubah ayat 100: "Dan orang-orang terdahulu yang pertama kali masuk Islam di antara orang Muhajirin dan Anshar, dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah SWT ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada Allah Swt".
Sedangkan menurut Ibnu Taimiyah, yang dimaksud dengan Ijma' Ahl al-Madinah adalah Ijma' Ahl al-Madinah pada masa lampau yang menyaksikan amalan-amalan yang berasal dari Rasulullah SAW. Ijma' Ahl al-Madinah ini memiliki beberapa tingkatan, yaitu:
• kesepakatan Ahl al-Madinah yang asalnya al-Naql.
• amalan Ahl al-Madinah sebelum terbunuhnya Utsman bin Affan. Ini dijadikan sebagai Hujjah bagi madzhab Maliki. Hal ini didasarkan bahwa belum pernah diketahui ada amalan Ahl al-Madinah masa lalu itu yang bertentangan dengan sunnah Rasulullah SAW.
• amalan Ahl al-Madinah yang dijadikan pendukung atau pentarjih atas dua dalil yang saling bertentangan.
• amalan Ahl al-Madinah sesudah masa keutamaan yang menyaksikan amalan Nabi SAW. Amalan seperti ini bukan hujjah, baik menurut al-Syafi'i, Ahmad bin Hanbal, Abu Hanifah maupun menurut para ulama di kalangan madzhab Maliki.
3. Pandangan Imam Malik Terhadap Ijma' Ahl al-Madinah
Menurt Imam Malik, hadis yang dapat diterima harus memenuhi syarat sebagai berikut:
• hadis itu tidak bertentangan dengan al-Qur'an. Atas dasar ini ia menolak hadis yang menyatakan:
نَهَى رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم عَنْ أَكْلِ كُلِّ ذِىْ مِخْلَبٍ مِنَ الطَّيْرِ
(Rasulullah SAW melarang makan burung apa saja yang berkuku kuat) karena hadis ini bertentangan dengan ayat al-Qur'an :
       •          ••   ....
( Katakanlah: "Tiadalah Aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi ….").
• hadis itu masyhur atau diamalkan oleh masyarakat Madinah. Imam Malik tidak meriwayatkan hadis yang tidak terkenal. Ia meninggalkan hadis yang asing.
Dari dua syarat ini secara implisit dapat dikatakan bahwa Imam Malik begitu fanatiknya terhadap Madinah. Sehingga timbul pertanyaan apa yang melatarbelakangi sehingga beliau sampai mengambil sikap seperti itu?.
Ini bisa dimaklumi karena Imam Malik tidak pernah keluar dari Madinah. Jika dilihat dari guru-gurunya yang kesemuanya adalah ulama Madinah, bisa di ambil kesimpulan bahwa beliau belajar hanya berkutat di kawasan Madinah saja. Meskipun beliau pernah berjumpa dengan banyak orang ketika berhaji dan meriwayatkan dari mereka, tetapi itu bukan dalam rangka untuk menuntut ilmu sebagimana beliau menuntut ilmu dengan guru-gurunya di Madinah.
Selain itu pada masa beliau hidup, telah terjadi banyak perubahan-perubahan baru dengan masuknya unsur-unsur lain dari luar Arab dan Islam, yakni dengan banyaknya orang non Arab yang masuk Islam sedang mereka sebelum masuk Islam juga mempunyai pendapat dan tradisi lain yang tidak dikenal dalam Islam. Juga adanya penerjemahan-penerjemahan yang dimulai pada masa Bani Umayyah dan diteruskan oleh Bani 'Abbasiah. Maka dari sinilah mulai timbul silang pendapat, perpecahan dan pertentangan-pertentangan. Seperti apa yang terjadi pada sekte-sekte keagamaan seperti Syi'ah, Khawarij, Qadariyah, Mu'tazilah dan sebagainya.
Tetapi kawasan Madinah tidak begitu terpengaruh, bahkan Madinah dapat menjaga atau melestarikan tradisi-tradisi yang telah diwariskan oleh Rasulullah SAW sehingga tidak tampak adanya pertentangan-pertentangan dalam masalah agama. Oleh sebab inilah banyak manusia yang lebih memilih pendapat dari ulama Madinah. Sejak saat inilah, ketika beliau mengamati terhadap perpecahan-perpecahan terhadap sekte-sekte keagamaan, beliaupun mengambil sebuah manhaj dalam pengambilan sebuah hukum. Tata urutan yang ia gunakan adalah Kitabullah (al-Qur'an), Sunnah Rasul (al-Hadis), Qoul Khulafa' al-rasyidin, riwayat sahabat, riwayat ahl al-Ilmi dan ahli takwa dari ulama Madinah. Dan manhaj inilah yang beliau gunakan dalam penyusunan kitab al-Muwaththa'.
Surat pribadi Imam Malik yang dikirim kepada Laits bin Sa'ad (w. 175 H) secara eksplisit menegaskan dasar argumen atas fakta perilaku keagamaan warga Madinah untuk diakui kehujjahannya, yaitu: (a) Madinah adalah kawasan Hijrah Rasulullah SAW, sentral aktivitas keislaman, lokasi berhimpun pada sahabat Nabi SAW, maka kebenaran (ajaran) berada di pihak mereka; (b) penduduk Madinah menyaksikan langsung proses wahyu al-Qur'an, mengikuti dengan seksama pengembangan makna doktrinalnya dan mereka bertindak sebagai partisipan observasi terhadap hal ihwal kehidupan sehari-hari Rasulullah SAW; dan (c) informasi keagamaan warga Madinah lebih diprioritaskan daripada informasi serupa dari warga eks daerah yang lain.
Dengan manhaj yang beliau susun ini dapat berimplikasi terhadap kedudukan hadis ahad. Imam malik tidak mengakui hadis ahad sebagai sesuatu yang datang dari Rasulullah, jika hadis ahad itu bertentangan dengan sesuatu yang sudah dikenal oleh masyarakat Madinah, sekalipun hanya dari hasil istinbath, kecuali hadis ahad tersebut dikuatkan oleh dalil-dalil lain yang qath'iy.
Kendati demikian Imam Malik terdata menerima pola konfirmasi (mu'aradhah) hadis ahad dengan makna eksplisit yang dikandung dalam al-Qur'an. Resiko perlawanan disikapi dengan mengesampingkan hadis, kecuali diperoleh kesesuaian dengan praktek keagamaan warga Madinah atau dengan qiyas. Hadis yang bermateri keharaman mengkonsumsi daging hewan buas bertaring, sekalipun berlawanan dengan makna dhahir surat al-An'am ayat 145, Imam Malik setuju mempedomani hadis tersebut karena faham/sikap keagamaan warga Madinah sejalan dengan hadis tersebut. Dalam koleksi al-Muwaththa', Imam Malik membuat tema "bab keharaman mengkonsumsi setiap hewan buas bertaring".
Pemikiran Imam malik tentang pemberian otoritas terhadap Ijma'/'amal Ahl al-Madinah di atas hadis ahad, hingga menggugurkan validitasnya sebagai hujjah bardampak terhadap generasi setelah beliau, terutama ulama malikiyah dalam bidang fikih. Sebagai contoh adalah hadis Nabi:
إِذاَ تَباَيَعَ الرَّجُلاَنِ فَكُلُّ واَحِدٍ مِنْهُماَ باِلْخِياَرِ ماَلَمْ يَتَفَرَّقاَ
(Apabila terjadi akad jual beli antara dua orang, maka masing-masing dari keduanya mempunyai hak pilih selama keduanya belum berpisah)
Matan hadis tersebut bersanad silsilah dzahabiyah, karena Imam Malik dalam koleksi al-Muwaththa' menampilkan sanad untuknya melalui Nafi' dan Abdullah bin Umar bin Khathab. Meskipun keabsahan sanad hadis bernilai tinggi, namun deduksi fikih oleh Imam Malik dan fuqaha madzhabnya menolak keberlakuan khiyar majlis betapa sosok pembeli belum beranjak pergi meninggalkan lokasi akad. Alasan penolakan karena praktek jual beli di lingkungan warga Madinah tidak mentradisikan khiyar tersebut. Transaksi jual beli selesai dan memiliki kekuatan hukum tetap cukup melalui ijab dan qabul.
Tetapi pendapat beliau tentang Ijma' Ahl Madinah tidak begitu saja diterima oleh jumhur ulama. Jumhur ulama' memiliki beberapa sanggahan atas dalil Imam Malik dalam pengambilan a'mal ahl Madinah sebagai pijakan hukum Islam, antara lain:
1. Sesungguhnya hadits tentang keutamaan penduduk Madinah dari yang lain tidak menafikan keutamaan yang lain dan tidak berarti ijma' khusus untuk mereka, tetapi juga terbuka untuk yang lain, karena ijma' tidak terbatas pada kaum atau tempat tertentu dan hal itu ada demi kemaslahatan penduduk di tempat itu.
2. Penyaksian mereka terhadap wahyu tidak menunjukkan bahwa ahli ilmu hanya terbatas kepada penduduk Madinah, melainkan juga terdapat di kota atau negara lain.
3. Sesungguhnya a'mal ahl Madinah yang berasal dari ijtihad, antara penduduk Madinah yang lainnya sama kedudukannya, tetap tidak bisa dijadikan hujjah.
4. Hadits Rasulullah tidak hanya didengar oleh penduduk Madinah, karena tidak menutup kemungkinan orang yang mendengar itu berasal dari negara lain dan tidak menetap di Madinah ataupun dia hanya mendengar dari penduduk Madinah kemudian dia pergi ke negara lain. Sehingga, ketika muncul suatu perkara, mereka tidak bisa memberikan pendapat sesuai hadits yang didengarnya. Padahal, pendapat mujtahid tidak menjadi hujjah bagi mujtahid lain.
C. Penutup
Tidak diragukan lagi Imam Malik adalah salah satu Muhaddisin yang mempunyai karakteristik tersendiri. Bahkan dikatakan beliau adalah ulama tertua yang kitabnya masih ada di tangan kita sampai sekarang. Kesungguhannya dalam menekuni pengetahuan agama menjadikan Imam Malik sebagai seorang panutan dalam bidang hadis dan fikih. Bahkan, di bidang fikih, beliau dikenal sebagai pendiri salah satu madzhab fikih, yaitu madzhab Maliki.




DAFTAR PUSTAKA

Abbas, Hasyim, Kritik Matan Hadis Versi Muhaddisin dan Fuqaha, Yogyakarta, Teras, 2004.

Al-Asqalani, Ibnu Hajar, Tahdzib al-Tahdzib Juz 10, Beirut, Dar al-Kutub al- Ilmiyah, 1994.

Dzulmani, Mengenal Kitab-Kitab Hadis, yogyakarta, Pustaka Insan Madani, 2008.

Husain, Muhammad Kamil, dalam Muqaddimah al-Muwaththa', Beirut, Dar al- Kutub al-'Ilmiyah, t.th.

Malik bin Anas, al-Muwaththa', Beirut, Dar al-Kutub al-'Ilmiyah, t.th.

Thahhan, Mahmud, Taisir Mushthalah al-Hadis, Surabaya, al-Hidayah, t.th.

Ummi Zakiyah, A'mal Ahl Madinah, artikel diakses pada tanggal 07 Januari 2009 dari http://www.numesir.org/?pilih=news&aksi=lihat&id=142.

Yanggo, Huzaemah Tahido , Pengantar Perbandingan Mazhab, Jakarta, Logos, 1997.

Zuhri, Muh., Hadis Nabi Telaah Historis dan Metodologis, Yogyakarta, PT Tiara Wacana, 2003

Tidak ada komentar:

Posting Komentar