-

Minggu, 13 Desember 2009

PLURALISME



Teologi Pembebasan Melawan Penindasan
Kunci-kunci hermeneutika, pluralisme dan solidaritas di bawah bayang-bayang rezim Apartheid


            Sejarah tentang rezim Apartheid adalah lembaran hitam bagi dunia internasional khususnya rakyat Afrika Selatan. Deskriminasi, rasisme telah memperbudak mereka yang nota bene adalah penduduk pribumi. Tetapi mereka tersingkir dan tertindas di negeri sendiri, sehingga istilah “Dunia Keempat” semakin banyak dipakai untuk menyebut mereka.
            Di Afrika Selatan telah berkembang bermacam-macam suku dan agama, bahkan sebelum kedatangan rezim Apartheid, tak terkecuali Islam. Kaum muslim dan penganut agama lain telah bersama-sama berjuang demi kebebasan dari penindasan. Dalam konteks penindasan tampak bahwa teologi, dari agama apapun, memegang peranan penting dalam rangka perjuangan membebaskan yang tertindas. Dan tampak juga bahwa teologi memenuhi satu dari dua tugas: menyangga struktur dan lembaga penindas atau menjalani tugas dalam kaitannya dengan perjuangan demi pembebasan yang dikenal dengan Teologi Pembebasan.
            Nah, bagaimanakah Teologi Pembebasan dalam perspektif Islam? Pertanyaan inilah yang dibahas oleh Farid Esack dalam buku ini- dengan menawarkan kunci-kunci hermeneutika bagi Islam yang inklusif serta ingin mendobrak klaim kebenaran eksklusif satu agama, sembari meninjau ulang peran Islam dalam masyarakat yang majemuk (plural).
            Hermeneutika oleh Farid Esack didefinisikan secara singkat sebagai ilmu tentang penafsiran yang berkenaan dengan hubungan antara pengarang (atau pembicara), pembaca (atau pendengar) dan teks, dan kondisi bagi seseorang untuk memahami suatu teks. Sedangkan dalam hermeneutika al-Qur’an biasanya berhubungan dengan wahyu, teks al-Qur’an itu sendiri, asbaabun nuzul dan naskh.
            Kunci-Kunci Hermeneutika Pembebasan. Farid mencoba membeberkan kunci-kunci hermeneutika sebagai reaksi terhadap golongan Islam Konservatif yang menghendaki status quo. Yang pertama adalah taqwa. Dengan takwa sebagai salah satu kuncinya memastikan bahwa penafsiran tetap bebas dari obskurantisme teologis dan reaksi politis, juga dari spekulasi pribadi yang murni subjektif, meskipun itu muncul dari golongan yang tertindas dan tersisih. Yang kedua Tauhid. Memandang tauhid sebagai prinsip hermeneutika berarti bahwa berbagai pendekatan kepada al-Qur’an - baik filosofis, spiritual, hukum maupun politis - mesti dilihat sebagai komponen dari satu jalinan dan menolak wacana yang dilandasi syirk, yaitu dualisme yang memisahkan teologi dan analisis sosial. Dua kunci ini, taqwa dan tauhid, ditujukan pada pembangunan kriteria moral dan doktrinal untuk menguji kunci-kunci lain. Keduanya juga menjadi “lensa teologis” untuk membaca al-Qur’an secara umum dan, lebih spesifik lagi, teks-teks yang berkenaan dengan penganut agama lain.
            Kunci ketiga , masih menurut Farid, adalah Al-Naas (manusia). Pernyataan bahwa manusia adalah satu kunci hermeneutika menghadapkan dua masalah teologi; yang pertama  terkait dengan nilai manusia sebagai ukuran kebenaran dan yang kedua berkenaan dengan masalah autentisitas. Kunci keempat adalah Al-Mustadh’afuuna fi al-ardh (kaum tertindas atau kaum marjinal). Al-Qur’an juga memakai istilah lain ketika menunjuk kelas sosial yang rendah dan miskin, seperti araadzil (yang tersisih) (QS Hud:27), fuqara’ (fakir) (QS Al-Baqarah:271) dan masaakin (orang miskin) (QS Al-Baqarah:177).
            Perbedaan utamanya dengan istilah mustadh’afuun ialah bahwa ada suatu pihak yang bertanggung jawab terhadap kondisi mereka. Seseorang hanya menjadi mustadh’af apabila itu diakibatkan oleh perilaku atau kebijakan pihak yang berkuasa dan arogan. Perlunya penafsir menempatkan diri di antara yang tertindas maupun di dalam perjuangan mereka, serta menafsirkan teks dari bawah permukaan sejarah, dilandasi gagasan tentang keutamaan posisi kaum tertindas dalam pandangan ilahi dan kenabian. Dua kunci ini, Al-Naas dan Al-Mustadh’afuuna fi al-ardh, menetapkan lokasi aktivitas interpretasi.
            Kuci kelima adalah ‘Adl wa Qisth (keadilan dan persamaan). Di samping senjata ampuh anti-apartheid, bagi kebanyakan kelompok Islam progressif (termasuk Farid) keadilan dan persamaan juga merupakan kunci konsep sosioekonomi yang mengarah pada masyarakat yang adil dan egaliter. Sedangkan kunci yang keenam adalah Jihad. Farid menerjemahkan jihadJihad sebagai kunci hermeneutika mengasumsikan bahwa hidup manusia pada dasarnya bersifat praktis; teologi akan mengikuti. Dua kunci terakhir ini, ‘Adl wa Qisth dan Jihad, merefleksikan metode dan etos yang menghasilkan dan membentuk pemahaman kontekstual tentang firman Tuhan dalam masyarakat yang diwarnai ketidakadilan. sebagai “perjuangan dan praksis”.
            Pluralisme dan Solidaritas. Menurut Farid pluralisme dapat dijabarkan sebagai pengakuan dan penerimaan, bukan sekedar toleransi, atas keberadaan dan keragaman,baik di antara sesama maupun pada penganut agama lain.
            Lewat kajian kritis dan sangat memperhatikan latar belakang di Afrika Selatan, Farid mencoba mendefinisi ulang apa arti iman, islam dan kufr serta siapa yang disebut “kawan dan lawan” yang diperbolehkan dan ditolak untuk dijadikan wilaayah (pemimpin) menurut al-Qur’an.
            Lebih lanjut Farid menganggap bahwa solidaritas berbeda dengan kemurahan hati. Dalam konteks dengan rezim apartheid, solidaritas dengan kaum tertindas, lebih jauh berarti mengakui mereka sebagai agen pembebasan mereka sendiri dengan mengambil sumberdaya dari apa yang ada pada mereka.
            Dalam konteks pluralisme dan solidaritas, Farid, melalui buku ini, sekurang-kurangnya ada dua tujuan yang hendak ia capai. Pertama, memperlihatkan bahwa al-Qur’an tidak mencegah kaum Muslim untuk bekerja sama dengan orang lain demi menegakkan keadilan dan kebenaran. Teks-teks yang seolah melarang hal itu, bila ditinjau dari konteks historisnya, sebenarnya signifikan bagi hermeneutika al-Qur’an tentang pluralisme agama dan kebebasan. Kedua, memperlihatkan bahwa al-Qur’an dan teladan Nabi mendukung kerjasama dan solidaritas antariman untuk keadilan dan kebenaran. Solidaritas ini tidak dilandasi oleh kehendak yang samar untuk perdamaian dan ketentraman, melainkanpada perjuangan menentang ketidakadilan demi menciptakan dunia yang aman bagi umat manusia, dan membebaskan penghuninya dari perbudakan demi menjalankan ibadah kepada Tuhan dengan leluasa.
            Konteks pluralisme memang bukan suatu komitmen samar pada segala bentuk keberlainan; bahkan ,ada beberapa bentuk keberlainan yang secara tegas ditentang  dan al-Qur’an pun tak ragu-ragu mendorong oposisi yang keras terhadap mereka. Sebaliknya, al-Qur’an mengakarkan pluralismenya dalam perjuangan bersama menentang penindasan dan ketidakadilan. Orang bisa mengatakan bahwa basis pluralisme yang diajukan al-Qur’an adalah praksis liberatif.
            Walaupun buku ini hanya menyorot kondisi di Afrika Selatan pada masa rezim apartheid – yang telah dikalahkan oleh perjuangan rakyat Afrika Selatan – namun kajian-kajian yang dilontarkan Farid masih relevan dengan kondisi saat ini. Sehingga menjadi rujukan atau referensi penting untuk para pelajar, khususnya mahasiswa, yang ingin mendalami ilmu dalam bidang tafsir al-Qur’an.






Diresensi oleh Cholid Abdullah





Judul Buku: Membebaskan Yang Tertindas: Al-Qur’an, Liberalisme, Pluralisme
Karya: Farid Esack
Penerjemah: Watung A. Budiman
Penerbit Mizan, 2000
358 halaman (termasuk indeks)




Tidak ada komentar:

Posting Komentar