-

Sabtu, 26 Desember 2009

semantika al-Qur'an

Semantik al-Qur’an (Toshihiko Izutsu)
Oleh Cholid Abdullah

Kajian yang dilakukan olah T. Izutsu ini merupakan salah satu bentuk kajian terhadap al-Qur’an, di mana selain dengan menggunakan semantik al-Qur’an juga bisa didekati dari berbagai sudut pandang seperti teologi, psikologi, sosiologi dan lain sebagainya. Semantik dalam hal ini, menurut Izutsu, adalah suatu kajian analitik terhadap istilah kunci suatu bahasa dengan suatu pandangan yang bersifat metodologis sehingga dapat digali sebuah pengertian konseptual Weltanschaung atau pandangan dunia mengenai bahasa tersebut.
Salah satu kajiannya yang terkait dengan semantik al-Qur’an adalah makna “dasar” dan makna “relasional”. Makna “dasar” menurutnya adalah sesuatu yang melekat pada kata itu sendiri, yang selalu terbawa di manapun kata itu diletakkan. Sedangkan makna “relasional” adalah sesuatu yang bersifat konotatif yang ditambahkan pada makna yang sudah ada dengan meletakkan kata tersebut pada posisi khusus dalam bidang khusus, berada pada relasi yang berbeda dengan semua kata-kata penting lainnya dalam sistem tersebut.
Labih lanjut ia menggunakan contoh dengan, salah satunya, kata “yaum”. Menurutnya, kata “yaum” itu mempunyai makana dasar “hari”. Kata “yaum” ini dalam posisi netralnya, berperan sebagai atmosfir yang menyelubungi medan-medan semantik khusus. Pendek kata, “yaum” yang secara makna dasarnya adalah hari, tetapi dalam kaitannya dengan medan-medan khusus tersebut bisa bermakna hari kiamat, hari kebangkitan, hari pengadilan dan lain-lain. Tetapi yang perlu diingat bahwa makna dasar selalu terbawa di manapun kata itu berada dan selalu merupakan inti konseptual tersebut.
Menurut saya, wacana makna “dasar” dan makna “relasional” juga terjadi pada bahasa selain al-Qur’an, bahkan bahasa Indonesia. Sebagai contohnya adalah kata “rumah”. Kata “rumah” mempunyai makna dasar suatu tempat tinggal. Tetapi, makna tersebut juga mempunyai medan-medan khusus, yang dapat mengakibatkan adanya relasionalisasi makna. Rumah sakit, misalnya, mempunyai makna khusus sebuah tempat bagi orang-orang yang sakit, tetapi makna dasarnya tidak hilang.
Selain itu, kajian ini hendaknya juga diperhitungkan sehubungan dengan penafsiran dalam al-Qur’an. Karena, menurut saya, cara seperti ini merupakan salah satu cara untuk menghindarkan diri dari kesalahan penafsiran, meskipun tidak ada kebenaran mutlak dalam penafsiran. Wallahu a’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar