-

Rabu, 23 Desember 2009

tafsir Jawahir karya tantawi jauhari

Kajian Tentang Kitab Tafsir Jawahir
A. Pendahuluan
Tak diragukan lagi bahwa banyak ayat-ayat al-Qur'an yang berbicara tentang alam raya. Tetapi hanya sedikit sekali tafsir yang berbicara dengan melakukan pendekatan ilmu pengaetahuan. Salah satu tafsir yang membuat terobosan baru adalah tafsir Jawahir. Terlepas dari kontroversi boleh tidaknya tafsir bil 'ilmi, yang pasti tafsir ini memberi kontribusi penting dalam dunia penafsiran.
B. Pembahasan
Biografi Pengarang
Pada tahun 1870 M di wilayah al-Ghar, Thanthawi Jauhari dilahirkan. Ia berasal dari keluarga petani yang sederhana. Namun orang tuanya menginginkannya tumbuh sebagai orang berpredikat terpelajar. Karena itu, setelah menamatkan serangkaian pendidikan formal di kota kelahirannya, ia dikirim ke universitas al-Azhar kairo untuk mendalami ilmu-ilmu agama.
Di universitas al-Azhar, ia bertemu dengan seoragng pembaharu terkemuka, Muhammad Abduh. Baginya, Abduh bukan sekedar guru, tetapi juga mitra dialog. Pergesekan pemikiran dengan Abduh memercikkan pengaruh besar pada pemikiran dan keilmuannya terutama dalam bidang tafsir.
Sebagai akademisi, Thanthawi aktif mencermati perkembangan ilmu pengetahuan. Caranya beragam, mulai dari membaca berbagai buku, menelaah artikel di media massa, hingga menghadiri berbagai seminar keilmuan. Dari beberapa ilmu yang dipelajarinya, ia tergila-gila pada ilmu tafsir.
Di samping itu, Thanthawi juga fasih berbicara tentang fisika. Menurutnya, ilmu itu harus dikuasai oleh umat Islam. Hanya dengan cara itu maka anggapan bahwa Islam adalah agama yang menentang ilmu pengetahuan dan teknologi dapat ditepis.


Latar Balakang Penulisan
Thanthawi termasyhur karena kegigihannya dalam gerakan pembaruan membangkitkan kepedulian masyarakat terhadap penguasaan ilmu pengetahuan. Karena itu, tidak berlebihan jika sejumlah kalangan menjulukinya "mufasir ilmu" lantaran ilmu yang dikuasainya sangat luas dan mendalam.
Dalam muqaddimah kitab tafsirnya, dijelaskan bahwa sejak dulu beliau sering menyaksikan kejaiban alam, mengagumi dan merindukan keindahannya baik yang ada di langit maupun yang ada di bumi, revolusi matahari, perjalanan bulan, bintang yang bersinar, awan yang berarak, kilat yang menyambar dan listrik yang membakar serta keajaiban-keajaiban lainnya.
Selanjutnya ia menyatakan :"Ketika aku berpikir tentang keadaan umat islam dan pendidikan-pendidikan agama, maka aku menuliskan surat kepada para pemikir (al-'Uqala') dan sebagian ulama-ulama besar (Ajillah al-Ulama') tantang makna-makna alam yang sering ditinggalkan dan tentang jalan keluarnya yang masih sering dilakukan dan dilupakan. Sedangkan sedikit sekali dari mereka yang mau berpikir tentang kejadian alam dan keanehan-keanehan yang melingkupinya".
Itulah yang mendorong Thanthawi menyusun pembahasan-pembahasan yang dapat mengkompromikan pemikiran Islam dengan kemajuan Studi Ilmu Alam.
Bentuk, Metode dan Corak
Untuk mengetahui bentuk, metode dan corak sebuah kirab tafsir, perlu diadakan perbandingan kitab aslinya dengan kitab tafsir yang lain. Kali ini akan diperbandingkan antara kitab Tafsir Jawahir (kitab asli), Tafsir al-Maraghi dan Tafsir al-Wadhih (semua teks terlampir).
1. Bentuk
Dalam berbagai macam literatur, istilah bentuk penafsiran tidak dijumpai dalam kitab-kitab 'ulum al-Qur'an (ilmu tafsir) pada abad-abad yang silam bahkan sampai periode modern sekalipun tidak ada ulama tafsir yang menggunakannya. Oleh karenanya tidak aneh bila dalam kitab-kitab klasik semisal al-Burhan fi 'Ulum al-Qur'an karangan al-Zarkasyi, al-Itqan fi 'Ulum al-Qur'an karya al-Suyuthi, dan lain-lain tidak dijumpai term tersebut.
Namun dalam buku Wawasan Ilmu Tafsir yang ditulis oleh Nashruddin Baidan, dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa penafsiran yang dilakukan olah para mufasir sejak pada masa Nabi sampai dewasa ini dapat dikelompokkan menjadi dua macam, yakni tafsir bi al-ma'tsur dan bi al-ra'y.
Berangkat dari sini, tafsir Jawahir ini jika dilihat dengan apa yang telah disimpulkan oleh Nasruddin Baidan tersebut, maka dapat dikatakan bahwa tafsir ini menggunakan bentuk bi al-ra'yi. Karena dalam menafsirkan suatu ayat, Thanthawi murni menggunakan pemikirannya sesuai dengan kemampuan dia selain ahli sebagai seorang mufassir, juga ahli dalam bidang fisika dan biologi. Hal ini dapat terlihat dalam contoh (terlampir), ketika dia menafsirkan penciptaan manusia dari 'alaq (علق), beliau murni menggunakan kemampuan dia sebagai seorang yang ahli biologi di samping sebagai seorang mufasir, tanpa menyebutkan suatu riwayat yang berhubungan dengan 'alaq (علق).
Ini berbeda dengan penafsiran dengan bentuk bi al-Ma'tsur. Tafsir yang menggunakan bentuk bi al-ma'tsur sangat tergantung dengan riwayat. Tafsir ini akan tetap eksis selama masih ada riwayat. Kebalikannya jika riwayat habis, tafsir bi al-ma'tsur juga akan hilang.
2. Metode
Munculnya beragam kitab tafsir tidak dapat dipisahkan dari perbedaan metode penafsiran al-Qur'an. Metode di sini diartikan dengan cara kerja yang dilakukan secara sistematis. Jadi metode tafsir adalah cara (langkah dan prosedur) yang digunakan oleh mufasir untuk memahami al-Qur'an.
Jika diamati secara cermat metode yang digunakan oleh Thanthawi dalam tafsir ini adalah metode tahlili (analitis). Metode ini berusaha menjelaskan kandungan ayat-ayat al-Qur'an dari seluruh aspeknya. Dengan metode ini, mufasir menjelaskan al-Qur'an secara luas dan rinci. Segala hal yang bertautan dengan al-Qur'an bisa dimasukkan dalam tafsir. Kata kunci penggunaan metode ini tidak terletak pada banyak tidaknya materi penafsiran, akan tetapi pada penafsiran yang runtut dan rinci. Ruang lingkup yang luas memungkinkan tafsir dengan metode ini memuat berbagai ide.
Demikian halnya dengan metode yang dipakai dalam tafsir ini. Thanthawi dengan analisisnya sebagai seorang mufasir sekaligus seorang yang menguasai ilmu-ilmu alam memberikan penafsiran secara runtut dan terperinci dengan ruang lingkup yang amat luas. Dalam contoh (terlampir) sudah terlihat dengan jelas, bagaimana dia ketika berusaha menjelaskan apa yang dinamakan 'alaq (علق). Dapat kita lihat betapa luasnya penjabaran yang dia berikan mengenai 'alaq (علق). Bahkan sampai mencakup tiga halaman sendiri.
Ini jelas berbeda dengan apa yang ada dalam tafsir al-Maraghi maupun dalam tafsir al-Wadhih. Meskipun keduanya menggunakan metode yang sama dengan metode yang dipakai dalam tafsir Jawahir. Namun uraiannya tentang 'alaq (علق) tidak seluas dengan apa yang ada dalam tafsir. Dapat dibayangkan jika dalam tafsir Jawahir untuk menguraikan tentang 'alaq saja membutuhkan tiga halaman, sedangkan dalam tafsir al-Maraghi maupun al-Wadhih hanya berkisar dua sampai tiga baris saja sungguh perbedaan yang amat mencolok. Karena seperti telah dijelaskan di atas meskipun sama-sama menggunakan metode tahlili, tetapi kata kuncinya bukan terletak pada banyaknya materi penafsiran, akan tetapi pada penafsiran yang rinci dan runtut.
3. Corak
Corak penafsiran ialah suatu warna, arah, atau kecenderungan pemikiran atau ide tertentu yang mendominasi sebuah karya tafsir. Jadi kata kuncinya adalah terletak pada dominan atau tidaknya sebuah pemikiran ide tersebut. Tetapi bila ada satu yang dominan maka disebut corak khusus.
Sedangkan corak yang digunakan dalam tafsir ini adalah corak tafsir bil 'ilmi. Meskipun para ulama berbeda pendapat tentang atafsir bil 'ilmi, ada yang menolaknya dengan alasan bahwa teori-teori ilmiah jelas bersifat nisbi (relatif) dan tidak pernah final. Tetap ada yang mendukungnya dengan alasan bahwa al-Qur'an justru menggalakkan penafsiran ilmiah.
Tetapi jika kita lihat dalam contoh, jika kita bandingkan dengan tasir lainnya, ketika ketiga tafsir sama-sama berbicara tentang 'alaq (علق) terlihat dengan jelas bahwa tafsir Jawahir ini memang menggunakan corak tafsir bil 'ilmi.
Sebagai contoh ketika ketiga tafsir berbicara tentang 'alaq (علق). Kedua tafsir (al-Maraghi dan al-Wadhih) seperti tafsir-tafsir lainnya mengartikan makna 'alaq (علق) sebagai darah yang membeku atau sepotong darah yang beku (دم جامد/قطعة دم جامدة) yang tidak mempunyai panca indra, tidak bergerak dan tidak mempunyai rambut.
Berbeda halnya ketika Thanthawi menafsirkan tentang 'alaq (علق), dia memulai dengan perbandingan antara telur yang ada pada binatang aves (sejenis burung) dengan sel telur yang ada pada manusia. Menurutnya apa yang terjadi pada binatang tersebut sama dengan apa yang ada pada manusia. Telur pada hewan jenis burung mempunyai apa yang dinamakan putih dan kuning telur. Dan apa yang dinamakan jurtsumah (جرثومة), di mana jurtsumah ini yang menjadi dasar pembentukan manusia.
Demikian juga apa yang terjadi pada indung telur seorang wanita. Indung ini mempunyai ukuran minimal 1/120 qirath dan maksimal 1/20 qirath. Sedangkan sel kuning telur ukurannya tidak lebih dari 1/700 qirath dan setetes jurtsumah ukurannya kurang lebih 1/3000 qirath.
(ولكن بيضة المرأة صغيرة جدا, وأصغرها۱\ ۰۲۱ من القيراط, وأكبرها ۱\ ۰۲ من القيراط, والمح لا يزيد عن ۱\ ۰۰٧من القيراط, والجرثومة التى أصل الإنسان ذرة من ذلك المح, كما يشاهد نظيرها فى مح البيض, قطرها ۱\۰۰۰۳ من القيراط)

Dari contoh tersebut dapat disimpulkan bahwa ketika Thanthawi menafsirkan kata tersebut dia menggunakan ilmu biologi, berbeda jauh dengan yang dipakai oleh Maraghi maupun Hijazi. Hal ini membuktikan bahwa memang corak yang dipakai oleh Thanthawi adalah corak bil 'ilmi, menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an berdasarkan pendekatan ilmiah, atau menggali kandungannya berdasarkan teori-teori ilmu pengetahuan yang ada.
Namun yang perlu diingat adalah tidak ada ayat al-Qur'an yang bersifat ilmiah, karena al-Qur;an adalah wahyu dan kebenarannya berdifat mutlak. Sedangkan ilmu pengetahuan yang bersifat ilmiah kebenarannya bersifat relatif. Al-Qur'an bukanlah kitab ilmu melainkan kitab hudan bagi manusia. Tetapi petunjuk al-Qur'an ada yang berbentuk lafdzi, isyarat, kiasi dan yang tersurat berkenaan dengan ilmu pengetahuan guna mendukung fungsinya sebagai hudan.
KARAKTERISTIK
Kitab ini terdiri dari 13 jilid yang tersusun dari 26 juz. Kitab al-Jawahir ini ditulis berdasarkan urutan mushaf Utsmani. Sebelum menafsirkan surah al-Fatihah, Tanthawi terlebih dahulu merigutip surat Al-Nahl [16];89 dalam uraian "Kata Pendahuluan" (Mukaddimah). Berbeda dengan jilid kedua dan selanjutnya, di mana ia menjadikan ayat Al-Nahl [16]:44 sebagai 'motto' uraiannya. Hal itu sampai pada juz yang ke 25 saja, dan juz yang terakhir berisi pembahasan lain yang berisi tentang makna-makna yang terkandung dalam bismilah dan lain sebagainya.
Kitab ini memang sebuah terobosan baru dalam upaya penafsiran dengan menggunakan pendekatan ilmu pengetahuan. Jika kita lihat pada contoh, memang jauh sekali perbedaannya dengan tafsir al-Maraghi maupun tafsir al-Wadhih. Ini dikarenakan tafsir dengan pendekatan ilmu pengetahuan memang penjelasannya begitu rumit dan panjang sehingga tidak mudah untuk memahaminya, melainkan harus menguasai ilmunya.
Kitab ini juga dilengkapi gambar-gambar serta foto-foto untuk memperkuat argumentasinya dan menjadi media pelengkap ketika menjelaskan ayat-ayat al-Qur'an yang berhubungan dengan alam.



C. Penutup
Tidak ada metode tafsir yang terbaik, sebab masing-masing mempunyai karakteristik tersendiri, kekurangan dan kelebihan serta tergantung kebutuhan mufasir. Kalau kita ingin menuntaskan topik maka jawabnya ada pada metode tafsir mawdu’iy, namun bila kita ingin menerapkan kandungan suatu ayat dalam berbagai seginya maka jawabnya ada pada metode tahlily. Di samping itu, ketika kita ingin mengetahui pendapat para mufasir tentang suatu ayat atau surat sejak periode awal sampai periode moderen, maka metode yang tepat adalah muqarin, sedangkan ketika ingin mengetahui arti atau makna suatu ayat secara ringkas dan global, maka metode ijmaly-lah yang tepat.
DAFTAR PUSTAKA
Baidan, Nashruddin, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2005.

Ghofur, Saiful Amin ], Profil Para Mufasir al-Qur'an, Yogyakarta, Puataka Insan Madani, 2008.

Hijazi, Muhammad Mahmud, Tafsir al-Wadhih, jilid 3, Beirut, Dar al-Jil, 1993.

Jauhari, Thanthawi, al-Jawahir fi Tafsir al-Qur'an al-Karim, Beirut, Dar al-Fikr, t.th.

Al-Maraghi, Ahmad Mushthafa, Tafsir al-Maraghi Jilid 10, Beirut, Dar al-Fikr, t.th.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar